Satu

1.2K 239 14
                                    

Jakarta, 2019

"Eum, yang mana, ya? Yang ini bisa kali, ya? Kan nggak dibatasi kriteria," gumam Nivriti sambil mengamati beberapa foto di layar komputer.

Dua hari lagi batas akhir pengumpulan lomba karya foto dalam rangka ulang tahun ibukota. Tidak dibatasi kriteria tema tertentu membuat Nivriti mengambil gambar dari sudut lain kota dalam bentuk bangunan terbengkalai. Dia yakin akan jarang bahkan tidak ada sama sekali kandidat yang mengambil konsep sepertinya.

"Serius banget," sapa Arsen seraya menaruh kopi panas di atas meja Nivriti. Matanya tertuju ke arah layar komputer Nivriti.

"Menurut kamu bagus yang mana, Sen? Bantuin pilih, dong. Aku harus submit hari ini, nih."

"Coba lihat." Arsen mengambil alih untuk memerhatikan lebih dekat foto-foto yang tersimpan. Lalu, telunjuknya terarah kepada sebuah foto seperti gedung perkantoran. "Menurutku ini paling seram. Pencahayaannya pas dan dari sisi kisahnya juga oke. Aku yakin cuma sedikit fotografer yang kepikiran ambil sudut pandang ini."

Nivriti mengerjapkan mata. Mengamati foto yang dipilih Arsen. Sebuah gedung kosong di kawasan Salemba, terlihat sudah lama tidak berpenghuni entah sejak kapan. Yang Nivriti tahu berdasarkan informasi para pedagang kaki lima di sekitar gedung itu, kabarnya gedung itu pernah sebagai markas salah satu partasi besar pada masanya. Gedung itu ditinggalkan fungsinya karena ada seorang pria yang tewas saat peristiwa besar berlangsung.

Memang jarang bahkan tidak ada fotografer yang kepikiran memotret sudut pandang ibukota dari sini. Tetapi kalau ditujukan untuk perlombaan dalam rangka ulang tahun ibukota rasanya terlalu kelam. Itu pun Nivriti tidak sengaja mengambil gambar saat melintas di Salemba. Tiba-tiba bangunan itu menarik perhatiannya lantas Nivriti meminta abang ojol berhenti sebentar supaya dia bisa memotret bangunan itu.

"Kamu tahu gedung ini?" tanya Nivriti seraya menyeruput kopi.

Arsen menggeleng. "Kalau kamu nggak kasih nama di file-nya mana aku tahu."

"Iya, tapi kalau aku kirim ini entar kontroversi banget nggak, sih? Apa aku hunting lagi, ya? Tapi pasti nggak ada waktu kan aku tiap hari lembur mulu mana ngejar akhir bulan pula. Kasih aku cuti satu hari dong, Sen. Sehari aja please...." Nivriti mengedip-ngedipkan mata sambil menangkupkan tangan di depan Arsen.

"Nggak bisa, Sayang. Nanti aku dimarahi bos kalau bulan ini laporannya terlambat lagi. Sudah pakai foto itu saja nggak apa-apa. Nuansa kolosalnya dapet banget, kok," sahut Arsen kemudian mencubit kedua pipi Nivriti yang chubby.

"Heh, sayang-sayang. Pagi-pagi malah pacaran. Lihat situasi, dong. Tuh, nggak lihat para jomlo yang dari tadi pura-pura pasang headset biar nggak baper dengerin ocehan lo pada?" seru Dewa yang barusan datang seraya melempar tas di kursinya.

Sebagai tetangga kubikel Nivriti, Dewa sudah terbiasa menghadapi pemandangan romantis antara Nivriti dengan Arsen. Tetapi keromantisan mereka di kantor tetap profesional, kok. Masih wajarlah, tidak menye-menye. Nah, justru itu yang membuat orang-orang takjub cenderung pengin punya hubungan yang kayak begitu.

"Jangan-jangan lo yang baper, Bang?" tukas Nivriti pura-pura terkejut.

Dewa menggeleng-gelengkan kepala.

"Lo ngapain sewot, De? Kemarin sudah gajian, kan?" cetus Arsen beralih menghampiri kubikel Dewa.

"Iya kemarin sudah hari ini belum," sahut Dewa.

"Lo bilang sama bos sana. Gajian dua kali."

"Cari perkara lo, ye. Gajian dua kali itu sama aja gajian sekali, tapi dicicil dua kali."

"Daripada nggak gajian sama sekali, kan?" tawa Arsen lantas dia berbalik kembali menghampiri Nivriti yang masih berkutat dengan foto-foto. "Masih bingung?"

Nivriti mengangguk. Dia mengamati foto-foto jepretannya berulang kali. Dari puluhan yang ada, dia sudah menyortirnya menjadi lima foto yang menurutnya terbaik. Berurusan dengan foto memang membuatnya menjadi perfeksionis. Untuk sebuah event bergengsi, dia tidak bisa mengikutsertakan fotonya sembarangan. Baginya, karya yang dia tampilkan adalah representasi kepribadian yang menjadi bagian dari personal branding.

"Lanjut kerja lagi, Vi. Kalau kamu merasa harus diselesaikan hari ini, selesaikan saja. Menurutku gedung yang tadi itu paling epik," ucap Arsen sambil mengusap kepala Nivriti sebelum kembali ke ruangannya.

Dewa yang dari tadi tak melepas tatapan kepada pasangan kasmaran itu hanya mengembuskan napas kasar. Saat ini dia hanya bisa menerima nasib sebagai jomlo sejati. Dewa hanya bisa berlapang dada sebab ketika Nivriti menjalani masa probation, dia pernah menaruh kagum kepada gadis itu. Tetapi karena pamornya kurang menjulang daripada Arsen, diam-diam Dewa mengurungkan niat mendekati gadis itu. Namun kini, situasi kembali normal. Dia tidak mau baper terlalu lama.

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya diputuskan sudah foto mana yang akan diikutsertakan dalam kompetisi. Gedung ikonik cenderung misterius di kawasan Salemba itulah yang dipilih Nivriti. Dia membuka website untuk mengunggah hasil karyanya. Nivriti kembali melanjutkan pekerjaan begitu menemukan notifikasi pendaftaran peserta lomba masuk ke email-nya.

Rutinitas akhir bulan selalu memaksa Nivriti tidak bisa pulang tepat waktu. Dia memang tidak sendirian, masih ada empat orang lainnya termasuk Arsen. Namun, sejak bergabung dalam divisi accounting memang selalu dirinya dan Arsen yang pulang terakhir. Sebagai supervisor accounting, dia harus merangkum dan menyajikan laporan keuangan untuk manajemen perusahaan. Sementara Arsen bertanggung jawab mengkoordinasikan tugas – tugas anak buah divisinya. Karena intensitas pertemuan yang terbilang sering itu membuat Nivriti dan Arsen terlibat cinta lokasi.

Seperti malam ini di saat semua orang sudah pulang, Nivriti menemani Arsen menyelesaikan closing bulanan. Karena pekerjaan telah selesai, Nivriti beralih ke ruangan Arsen. Pria itu masih fokus di depan layar komputer

"Belum selesai ya, Sen?" tanya Nivriti sambil menguap.

"Dikit lagi."

Mata Nivriti tertuju ke arah pemandangan terbentang di belakang Arsen. Tirai yang disingkap membuat panorama malam hari terbentang nyata di hadapan. Beradu dengan kerlap-kerlip lampu deretan gedung perkantoran lain serta jalan raya protokol yang masih rama lancar membuat Nivriti kehilangan rasa kantuk. Nivriti menoleh, mengamati Arsen yang tetap duduk tegak di depan layar. Perlahan dia mendekat kemudian mengusap kedua pundak pria itu.

"Capek, ya? Aku pijitin, deh," celetuk Nivriti lantas memijat pundak kekasihnya.

Arsen tertawa kecil. "Terima kasih. Sudah selesai, kok."

"Akhirnya... balik, yuk," seru Nivriti seraya memeluk leher pria itu.

"Sebentar, ya. Aku beres-beres dulu," ujar Arsen seraya mematikan komputer.

Sesudah semuanya rapi dan memastikan tidak ada yang tertinggal, Arsen mematikan lampu ruangan. Nivriti sudah keluar ruangan terlebih dahulu. Ketika Arsen hendak menutup pintu, samar-samar dia merasa tengkuknya terasa dingin. Seolah ditiup angin tipis. Tidak ada siapapun saat dia menoleh, bahkan Nivriti sudah melangkah jauh. Sering terjadi berulang kali sehingga dia telah terbiasa dengan situasi ini.

Arsen hanya berdecak sembari tertawa kecil sebelum menyusul kekasihnya. Dia juga sempat melambaikan tangan ke arah ruang kerjanya. Seandainya dia tahu kalau ada sesuatu yang membalas lambaiannya dari balik kaca.





Holaa... kembali dengan couple baru Nivitri - Arsen.

Jangan lupa share cerita ini ke teman-teman kamu, yah. Biar bisa pada baca bareng2.

Dan jangan lupa juga klik bintang dan komentarnya yah....

06.07.2021

Hidden ObjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang