Esoknya, Nivriti demam. Arsen terpaksa tidak masuk kerja dan me-remote pekerjaannya untuk merawat Nivriti. Tidak ingin berprasangka buruk, tapi Arsen menduga pasti ada hubungannya dengan kejadian semalam. Berurusan dengan sesuatu yang tidak terlihat serta di luar logika memang membingungkan. Dia tidak pernah mengalami hal seaneh ini sebelumnya.
"Mau aku telpon Papi kamu biar dia ke sini, Vi?" tanya Arsen sambil memegang dahi Nivriti.
"Jangan. Jangan kasih tahu Papi apa lagi Bang Barga. Kamu nggak mau dihajar Bang Barga lagi kan Sen?" ucap Nivriti, suaranya lirih seolah tercekat.
Arsen tertawa kecil. Dia ingat Barga pernah hampir menghajarnya. Kejadiannya setahun yang lalu. Waktu itu terjadi kesalahpahaman kecil yang membuat Nivriti menangis. Kebetulan sekali saat itu Barga tengah mengunjungi adiknya dan kejadian itu terjadi di depan matanya. Nyaris Arsen kena pukulan ringan Barga kalau saja Nivriti tidak mencegah.
"Oke, tapi kamu harus makan. Belum ada makanan apa pun yang masuk ke lambung kamu, Vi. Nih, aku beli bubur ayam sama bikin teh panas," ujar Arsen.
Nivriti menggeleng. "Nggak bisa makan, perut aku nggak enak."
"Makan dikit-dikit aja, minum obat habis itu tidur. Nggak ada sakit yang enak, tapi kamu harus semangat. Kamu pasti bisa, Vi." Arsen menggenggam tangan Nivriti yang dingin.
Akhirnya Nivriti mengangguk. Dengan telaten Arsen menyuapi kekasihnya. Hanya bertahan empat suapan setelah itu Nivriti merasakan mual dan kembali memuntahkan isi perutnya. Ia menolak suapan berikutnya. Tubuhnya lemas, kepalanya pusing luar biasa. Dia tidak ingin melakukan apa pun selain tidur.
"Aku nggak bisa makan lagi, Sen," gumam Nivriti.
"Iya nggak apa-apa. Kamu tidur aja," ucap Arsen sambil mengusap kening kekasihnya.
Arsen menunggu Nivriti hingga terlelap. Sesudah itu, Arsen meninggalkan Nivriti dan membiarkan pintu kamarnya terbuka sedangkan dirinya melanjutkan pekerjaan di ruang tamu.
Sementara itu, Nivriti mengigau kecil dalam tidurnya. Antara nyata dan tidak, Nivriti melihat suasana di sekitar kamarnya. Dia juga melihat Arsen berjalan di depan kamarnya dengan segelas air di tangan. Nivriti ingin memanggil, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Jemarinya kaku, mulutnya serasa dibungkam.
Hingga dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Hatinya berangsur lega karena mengira Arsen menghampirinya. Suara langkah itu berhenti di sebelah kanan Nivriti. Namun, jantungnya berdentum kencang ketika terdengar suara wanita menyentak gendang telinganya.
"Kenapa? Nggak bisa bangun, ya?" ucap wanita itu diiringi tawa melengking.
Nivriti tidak bisa melihat dengan jelas wujud dari sumber suara. Dari ekor mata, dia hanya tahu ada sekelebat sosok berdiri di sampingnya. Cukup lama wanita itu tertawa hingga perlahan lengkingan tawa itu mereda. Namun, Nivriti tidak bisa melupakan cara tertawa wanita misterius tersebut. Lengkingannya begitu terngiang.
Ketika suasana kembali hening, barulah Nivriti dapat menggerakkan tubuhnya. Sontak dia berteriak, "Arsen!"
Dengan sigap, Arsen mendatangi. Nivriti sudah duduk di atas tempat tidur dengan air mata membasahi pipi. Wajahnya tampak ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat saat Arsen memeluknya.
"Ada apa, Vi?" tanya Arsen sambil mengelus rambut Nivriti.
"Ada yang datang. Suara cewek, Sen." Nivriti berbisik kemudian menggeleng.
"Nggak ada siapa-siapa. Cuma kita berdua." Arsen menepuk-nepuk punggung Nivriti untuk menenangkan sementara matanya memindai sekeliling. Tidak ada apa pun.
"Kamu di sini aja, Sen. Jangan jauh-jauh. Aku takut. Itu ... gordennya dibuka aja biar aku bisa lihat sinar matahari," bisik Nivriti.
"Iya, aku bakal di sini. Bentar ya aku ambil laptop."
Nivriti kembali tertidur ketika Arsen duduk di dekatnya. Pikiran pria itu justru terbelah. Mata Arsen tidak pernah luput sedikitpun dari Nivriti. Dia membagi pandangan antara laptop dengan kekasihnya. Sesekali Arsen mengusap kening Nivriti. Sudah tidak terlalu panas. Agaknya efek sinar matahari tipis-tipis yang mengintip dari luar jendela cukup membantu meningkatkan energi positif untuk Nivriti.
Hingga siang, Nivriti masih tidur. Napasnya teratur, sangat lelap. Sama sekali tidak terjaga sedikitpun. Arsen malah khawatir sebab perut Nivriti belum terisi lagi sejak ia memuntahkan makanannya tadi pagi. Sambil menggenggam tangan wanita itu, Arsen berdoa dalam hati. Tak berapa lama kemudian, Arsen merasakan jari-jari Nivriti bergerak dalam genggamannya.
"Vi?" panggil Arsen.
Perlahan kelopak mata Nivriti terbuka membuat Arsen bernapas lega.
"Akhirnya kamu bangun juga. Mau makan apa?"
Mendengar pertanyaan Arsen, Nivriti tertawa kecil. Tidak dipungkiri perutnya telah bernyanyi dari tadi. Dia merasa tubuhnya agak ringan kali ini.
"Aku pengin makan yang berkuah, tapi kamu yang masak. Nggak tahu di kulkas ada apaan, tapi aku ingat masih ada bahan makanan," ucap Nivriti.
"Oke. Tunggu bentar, ya. Kamu istirahat aja." Arsen hendak beranjak, tapi Nivriti menarik lengan kaosnya.
"Aku ikut. Mau lihatin kamu masak."
Arsen terkekeh. Sepertinya berangsur-angsur Nivriti telah kembali seperti semula. Walaupun tubuhnya tampak lemas, wanita itu sudah bisa tersenyum. Arsen menggandeng Nivriti berjalan menuju dapur.
Selama Arsen memasak, Nivriti duduk di kursi sambil memerhatikan. Sudah lama lidahnya tidak menyentuh masakan Arsen. Lagipula masakan Arsen selalu juara. Siapa yang menyangka kalau Arsen pernah bekerja di restoran sebagai chef ketika kuliah di luar negeri. Makanya Nivriti tidak meragukan kemampuan memasak pria itu.
"Ini obat sama vitaminnya diminum habis makan," ujar Arsen seraya menaruh obat di dekat piring Nivriti.
"Terima kasih, Sen. Apa jadinya kalau nggak ada kamu. Aku pasti terlunta-lunta," gumam Nivriti.
"Yang penting kamu sehat, Vi," sahut Arsen.
"Tadi aku nggak salah dengar, kan? Di sini ada orang selain kita. Soalnya ada suara cewek. Bertahun-tahun aku tinggal di apartemen baru kali ini dengar suara aneh," ungkap Nivriti di tengah suapan.
"Paling kamu mimpi, Vi. Aku juga di sini kan, tapi nggak dengar apa-apa. Udahlah nggak usah dipikirin," sahut Arsen.
Sebenarnya Arsen mencurigai keberadaan elemen misterius yang dimaksud Nivriti. Tetapi dia bersikap seolah tidak terjadi apa pun.
"Iya, ya. Mungkin aku terlalu lelah." Nivriti manggut-manggut.
Kondisi Nivriti sudah membaik. Namun, Arsen belum rela meninggalkan wanita itu sendirian di apartemen. Dia akan tinggal satu malam lagi untuk menguji situasi sudah aman terkendali sekaligus mencari tahu penyebab kejadian yang bertubi-tubi menerpanya.
Malamnya, Arsen baru tidur sesudah memastikan Nivriti terlelap terlebih dahulu. Dia berkiling ke segala sudut apartemen. Sejauh ini tidak ada kondisi abnormal yang menyertai. Arsen bernapas lega, tapi tetap waspada.
"Vi, bangun," bisik Arsen di dekat telinga Nivriti.
Pukul sepuluh pagi. Arsen sudah membuka gorden lebar-lebar agar cahaya matahari menyentuh tubuh Nivriti secara alami. Namun, kekasihnya itu tidak berubah posisi. Tertidur nyenyak, berbaring sempurna dengan kedua tangan menyilang di dada. Napasnya teratur.
"Nivriti." Arsen mengulang, kali ini dengan mengguncang pundaknya.
"Vi! Nivriti!"
Arsen mulai panik. Dia tidak mengira efeknya bakal begini. Berteriak sekencang apa pun, diulang-ulang sebanyak apa pun, Nivriti tidak berkutik. Wanita itu tidak tidur senormal seharusnya.
Arsen mengatur emosi, dia segera mencari cara untuk mendapatkan Nivriti kembali.
190822
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Object
Mystery / ThrillerNivriti memiliki hobi memotret tempat-tempat yang sudah lama terbengkalai. Suatu hari dia mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sudah tidak berfungsi. Nivriti sempat memotret coretan tak beraturan yang tertulis di dinding. Kombina...