Jarak tempuh selama tiga jam membuat Nivriti tertidur sepanjang perjalanan. Bepergian menggunakan kereta malam selalu sukses melemahkan keterjagaan matanya. Nivriti memiringkan kepala dan tidur di bahu Arsen. Merasakan tepukan-tepukan lembut di kepala justru semakin menyenyakkan tidurnya. Tas kamera siap, izin dari pihak penjaga mess pabrik pun sudah dikantongi, akses menuju lokasi bisa dikondisikan, paling tidak poin utama sudah aman terkendali. Sehingga malam ini Nivriti dapat saving energi untuk perbekalan esok hari.
"Makasih ya, Kang Deden. Nanti aku kabari kalau sudah selesai," ujar Nivriti saat proses serah terima perpinjaman motor dari salah satu teman fotografinya.
"Ulah kitu atuh*. Santai saja. Ada dua pasang jas hujan di jok. Cuaca sini mah nggak tentu. Kadang panas, hujan juga sering. Makanya kalian jaga kesehatan. Kalau capek, berhenti istirahat dulu. Perjalanan kalian butuh stamina kuat. Sudah pada sarapan, kan?" tanya kang Deden.
"Sudah, dong. Kita juga bawa bekal, kok. Kalau kurang ya entar mampir dulu," jawab Nivriti sambil menunjuk ranselnya yang gemuk.
"Jangan sungkan, kalau perlu apa-apa berkabar saja. Ya sudah, saya permisi. Hati-hati, ya," sahut Kang Deden setelah menyerahkan kunci motor kepada Arsen.
Kang Deden berlalu bersama seorang kawannya. Nivriti melirik arloji di pergelangan tangannya. Tepat pukul delapan mereka siap bertolak dari hotel menuju Cikalongwetan. Menyambangi sebuah tempat yang pernah menjadi pusat diklat sekaligus mess karyawan pabrik karet. Tidak banyak sumber informasi yang diperoleh melalui mesin pencari. Berkat bantuan Kang Deden lah dia bisa memperoleh izin dari pengelola sekaligus akses ke lokasi.
Jika keadaan dan waktu memungkinkan, Nivriti bermaksud mampir ke tempat lain. Perkiraan lokasi tujuan keduanya masih bisa terjangkau. Sebuah benteng peninggalan Belanda yang berada di kawasan perkebunan karet Nyalindung. Jadi, Nivriti menginginkan sekalian berkunjung ke dua tempat sekaligus mumpung lagi di Bandung. Untuk lokasi satu ini baru ditemukan Nivriti pagi hari sebelum berangkat. Sistemnya memang serba mendadak, tapi berharap kesampaian tiba di sana.
"Paling cepat sejam sih, Sen. Di maps bilangnya gitu. Terus entar ke bentengnya setengah jam kayaknya. Kamu beneran nggak apa-apa?" celetuk Nivriti saat Arsen memanasi motor.
"Nggak masalah. Daripada kamu sendirian, Vi. Lagian kamu lucu banget hobi cari spot foto yang nggak wajar. Refreshing sekalian berpetualang, Vi. Aku jarang banget dapat dua hal menantang secara bersamaan," sahut Arsen.
"Entar kalau kamu capek aku pijatin, deh. Tapi pijat biasa saja nggak pakai plus-plus!"
Arsen tertawa. "Iya, plus-plus itu kan bonus. Kalau kamu mau, aku sih, yes."
"Yey, maunya. Yok, berangkat. Aku pegang maps, nih. Sudah siap, kan?"
"Siap." Arsen mengacungkan jempol kemudian mulai memacu kendaraan.
Cuaca hari itu cukup terik. Belum lagi jumlah kendaraan yang berpacu di jalan raya ternyata ramai juga. Daerah persimpangan dipenuhi kendaraan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas. Harus mengantre serta bergantian dengan kendaraan lain. Setelah melewati tititik kemacetan di persimpangan, tak lama berselang motor Arsen mengarah ke jalan yang banyak berkelok-kelok. Angin berembus sejuk, pemandangan kebun karet serta perkebunan teh tampak di depan mata. Menandakan tujuan semakin dekat.
Motor yang mereka tumpangi tampaknya tidak bisa ikut ke lokasi karena akses jalan tidak memungkinkan. Arsen menitipkan motor ke salah satu rumah penduduk kemudian dia dan Nivriti harus berjalan kaki. Cuaca sedikit mendung, tapi semoga tidak turun hujan.
"Berasa mendaki gunung, Sen. Ternyata jauh banget," keluh Nivriti dengan napas terengah-engah.
"Semangat, Vi. Demi konten!" seru Arsen seraya mengepalkan tangan di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Object
Mystery / ThrillerNivriti memiliki hobi memotret tempat-tempat yang sudah lama terbengkalai. Suatu hari dia mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sudah tidak berfungsi. Nivriti sempat memotret coretan tak beraturan yang tertulis di dinding. Kombina...