Enam Belas

370 46 5
                                    


"Vi? Kamu nangis?" Arsen mengguncang pundak Nivriti membuat wanita itu tersentak lantas menoleh.

Nivriti menatap Arsen dengan air mata mengucur. Tangannya menggenggam kalung yang melingkari lehernya. Arsen bingung karena Nivriti menangis di tempat umum. Melihat situasi seperti itu, orang bakal mengira Arsen berbuat kurang ajar pada Nivriti.

"Kenapa? Aku bikin salah, ya?" tanya Arsen lembut, padahal dalam hati khawatir. Khawatir dihakimi massa.

"Tiba-tiba aku ingat, mimpi seram banget. Kayaknya aku nggak bisa pakai ini lagi," ucap Nivriti sambil melepas kalung dari lehernya. "Ini terlalu tragis. Kayaknya aku mulai paham kenapa Artini selalu menghantuiku. Ini terlalu berat buatku."

Setelah melepas kalungnya, Nivriti menyerahkannya pada Arsen. Pria itu bingung, tapi tetap menerimanya. Nivriti mengusap air matanya kemudian mereda. Pembicaraan dengan ayahnya di telepon semalam rupanya telah membuka pikiran Nivriti. Walalupun tidak langsung percaya, selama ini keanehan yang terjadi seakan memiliki benang merah.

"Kayaknya Artini nggak suka aku pakai kalung itu. Sebaiknya kalung itu kamu simpan aja atau kuburin aja di dekat makam kakekmu. Lagipula aku nggak berhak pakai itu. Kurasa kalung itu adalah sumber keanehan yang terjadi selama ini," ujar Nivriti.

"Kenapa tiba-tiba kamu berpikir begitu? Kalung ini sudah merdeka, Vi. Ini warisan turun temurun kerluargaku. Kebetulan aku dapat bagian kalung ini, jadi aku bebas mau kasih ke siapapun. Makanya aku kasih buat kamu karena kamu spesial buatku."

Nivriti menggeleng. Lantas berucap dengan nada bercanda, "Aku nggak mau kalung itu. Aku maunya perhiasan model baru dan mahal. Masa liontinnya doang. Diejekin Bang Dewa pula, tuh. Gajimu gede masa nggak sanggup beli kalung baru, sih."

"Astaga. Kenapa nggak bilang kalau kamu maunya yang baru. Padahal tinggal bilang aja ntar aku beliin, kok," tawa Arsen.

"Ya enggak enaklah, Sen. Masa minta-minta gitu. Udah nggak usah, deh. Lagian aku cuma bercanda. Pokoknya aku nggak mau pakai kalung itu lagi. Serem tahu. Buang jauh-jauh. Aku nggak mau lihat lagi."

"Yah, gimana dong."

"Terserah itu hak kamu mau diapain, Sen. Pokoknya aku nggak mau lihat benda itu lagi." Nivriti begidik.

Arsen merenung. Rasanya sayang banget menghilangkan bagian dari sejarah keluarganya. Tetapi dia juga tidak rela Nivriti sengsara. Dia sendiri menjadi saksi dari serangkaian rentetan peristiwa ini. Baiklah, Arsen harus memutuskan.

Tapi memang efeknya sangat terasa. Setelah melepaskan kalung itu, Nivriti merasa bebannya berkurang. Dirinya tidak lagi merasakan kesedihan ataupun duka mendalam. Kali ini dia merasa beruntung telah mendengarkan saran ayahnya. Ternyata ikatan batinnya dengan sang ayah memang masih terasa.

Berharap sesudah itu kehidupan kembali berjalan normal. Tak ada lagi sosok Artini yang bergentayangan di sekitar Nivriti. Tak ada lagi kejadian aneh yang terjadi di kantor maupun apartemen. Namun, harapan tersebut rupanya tidak berjalan. Justru yang berikutnya terjadi semakin tak beraturan dan menjerat tanya. Sebab masih ada teka-teki yang belum menemukan jawaban.

***

Sekali lagi Arsen menatap kalung yang ia genggam sebelum menguburnya di samping pusara sang kakek. Sebenarnya dengan berat hati saat dia harus melenyapkan peninggalan bersejarah milik keluarganya. Dia sempat minta izin kepada orangtuanya sebelum mengambil keputusan ini. Yang penting kehidupannya bersama Nivriti kembali normal karena apapun yang mengusik wanita itu membuat Arsen merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Hidden ObjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang