Sudah dua hari Nivriti tinggal di rumah, tapi dia belum bertemu dengan ayahnya. Padahal ayahnya yang menyuruh pulang, tapi dia sendiri susah ditemui. Ditelepon juga tidak diangkat. Setidaknya pesannya masih berbalas. Ayahnya bilang lusa baru tiba. Itu berarti Nivriti harus tinggal lebih lama di rumah ini.
Sebelum berangkat ke kantor, Nivriti memastikan penampilannya paripurna. Mulai dari riasan, pakaian, hingga asesoris yang dikenakan. Saat mematut diri di depan kaca, Nivriti meraba kalung yang menjuntai di lehernya.
Ia mengamati detailnya dari pantulan kaca. Sebuah perhiasan biasa dengan liontin berinisial N dan A. Warnanya telah memudar. Kata Arsen, kalung ini adalah warisan makanya Nivriti sempat menolak ketika pria itu memberikan padanya. Ia merasa tidak berhak menerima hadiah yang berasal dari peninggalan keluarga.
Nivriti terbawa lamunan sambil memilin kalung itu. Tiba-tiba dia merasa kesedihan teramat dalam. Batinnya mendadak emosional. Sebulir dua bulir air mata menetes. Namun, dia tersentak saat pintu diketuk berulang kali. Lebih tepatnya, digedor.
"Apa, sih?" bentak Nivriti.
"Arsen udah dateng," ucap Estu.
Nivriti berdecak sambil menatap Estu dengan wajah masam. Dia sudah muak berlama-lama tinggal di rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman. Nivriti tidak peduli sekalipun belum bertemu ayahnya, dia segera berkemas.
"Kenapa bawa koper?" tanya Estu.
Nivriti menyeret koper tanpa memedulikan Estu dan ibu sambungnya yang rupanya telah berdiri di belakangnya. Kekonyolan ini harus diakhiri. Lagipula dia cukup merasa aman tanpa harus tinggal di rumah ini. Keberadaan Arsen yang selalu di sampingnya cukup dirasa mampu menangkal segala kekhawatiran.
"Lho, kok bawa koper?" tanya Arsen heran. Pria itu langsung tangkas mengambil alih koper dari tangan Nivriti.
Namun, Nivriti tidak menanggapi. Dia masuk ke dalam mobil tanpa berkata. Tangannya sambil menggenggam kalung yang melingkari lehernya. Tatapannya lurus ke depan, Arsen tidak tahu apa yang terjadi. Dia melambaikan tangan pada Estu dan mamanya yang berdiri di teras sebelum menyusul Nivriti.
"Aku titip koper di mobilu dulu ya, Sen. Aku mau balik ke apartemen," ucap Nivriti.
"Oke."
Arsen hanya mengiyakan. Bukannya tidak peka, tapi dia melihat Nivriti sedang dalam situasi tidak ingin diinterogasi. Kalaupun sudah saatnya mengungkapkan, Wanita itu pasti akan memberitahunya. Arsen menarik napas panjang seraya membanting setir ke kiri untuk menghindari melewati jalur jalan tol dalam kota.
"Entar lo ikut selebrasi nggak?" tanya Dewa sambil berdiri di dekat kubikel Nivriti.
"Selebrasi apaan?"
"Binsar abis dapet promosi jadi senior marketing. Yah, cuma kita-kita aja. Paling anak-anak marketing, gue, elo, sama Suci."
Nivriti mengerutkan dahi. Sebenarnya dia tidak terlalu dekat dengan si Binsar-Binsar itu. Kalau bukan karena Dewa, mana ada Nivriti memiliki relasi pertemanan hingga lintas divisi.
"Lo boleh ajak Arsen, kok. Gue udah bilang kalau lo nggak bisa jauh dari cowok lo," tambah Dewa lagi.
"Hm, gue lagi nggak minat. Bilangin Binsar gue nggak bisa ikut. Sorry, ya,"
"Oh, oke," sahut Dewa terdengar kecewa. Pria itu berlalu sambil sesekali melirik Nivriti yang tampak sedang berpikir. Ia pun mengedikkan bahu lantas kembali ke kubikelnya.
Keputusan Nivriti kembali ke apartemen sepertinya adalah pilihan tepat. Kenyataannya hingga sore menjelang, ayahnya sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Nivriti tidak mengerti apa yang ayahnya rencanakan. Menyuruhnya pulang, tapi diabaikan. Padahal dia paling tidak suka dengan situasi semacam ini. Nivriti menggelengkan kepala. Apalah itu, dia harus fokus membereskan pekerjaannya. Deadline sudah di depan mata.
Terlalu asyik bekerja, Nivriti sampai tidak menyadari bahwa hanya dirinya yang tersisa di ruangan ini. Bercak sinar matahari memancar oranye pucat. Giliran malam akan merajai semesta. Nivriti melongok ke arah ruangan Arsen. Tentu saja pria itu pasti masih berada di sana. Tanpa ragu, Nivriti melangkahkan kakinya.
"Arsen, kamu balik kapan?" sapa Nivriti usai mengetuk pintu.
Namun, dia tidak mendapati pria itu di dalam ruangan. Mungkin Arsen ke toilet, tapi kenapa Nivriti tidak mendengar pergerakan sama sekali? Aneh, kalaupun Arsen ada acara di luar pasti dia akan berkabar. Arsen belum pulang, ponselnya masih ada di atas meja. Tidak mungkin pria itu lupa membawa benda sepenting itu.
Nivriti membiarkan pintu terbuka. Dia berkeliling ruangan, mengintip layar laptop yang masih menyala. Rupanya Arsen masih bekerja. Nivriti duduk di sofa, menunggu Arsen sembari bermain ponsel. Seharusnya ruangan ini terasa paans karena AC sentral sudah mati, tapi Nivriti merasa udara di sekitarnya cukup dingin.
"Hai, kamu di sini? Aku cari-cari, lho." Suara berat Arsen membuat Nivriti terhenyak.
"Kamu dari mana?" tanya Nivriti.
"Toilet. Kamu masih mau lanjut atau gimana? Mau balik sekarang?"
"Ayo." Nivriti mengangguk seraya menarik tangan Arsen.
Papi : Kamu kabur?
Nivriti hanya menatap pesan yang terlampir di layar ponselnya. Dia tidak berniat kabur, hanya saja dia tidak nyaman tinggal di rumah itu meskipun suasananya tenang. Namun, dia berjanji akan menjelaskan pada ayahnya suatu hari nanti.
Tangan Nivriti mencengkeram kalung pemberian Arsen. Mendadak kepalanya sedikit pusing, mengantuk. Perlahan mata Nivriti memejam. Terlelap.
***
"Kau tidak usah mimpi. Menikah dengan tentara Belanda itu hanya angan-angan. Ketahuilah, selama berkelana di negara kita, dia kawin tidak hanya dengan satu wanita. Kau tahu sendiri bagaimana orang-orang itu menjadikan kita sebagai budak nafsu mereka? Kukira kedatangan Nippon akan menjadi penyelamat, ternyata semua pria sama saja. Kita, kaum wanita tetap saja dipandang rendah. Melayani nafsu orang-orang itu sangat melelahkan," ucap seorang wanita paruh baya sambil mengusap perut Artini.
"Bahkan kamu yang hamil besar saja masih digunakan sama mereka, kan? Memang tidak sering, tapi tetap saja menyakitkan. Karena aku pernah merasakannya. Tapi kau harus kuat. Kau tidak ingin selamanya hidup seperti ini, kan?"
Artini menggigit bibir. Bulir-bulir bening menetesi pipinya. Perutnya semakin membesar sedangkan nasibnya semakin memprihatinkan. Sejak Nippon mengambilalih, dia tidak pernah melihat bahkan mendengar kabar tentang kekasihnya lagi. Semua lenyap, tak berbekas, tinggal kenangan pahit yang tersisa. Pemberian dari Houvell masih Artini simpan. Keberadaan benda itu, tidak ada yang tahu selain dirinya.
"Sebenarnya aku tidak pernah merekomendasikanmu karena kau sedang hamil. Tapi tantara-tentara pendek itu ingin bersamamu malam ini. Kau tidak punya pilihan lain kalau kau ingin tetap hidup. Jadi, kau harus bersiap untuk menjamu tamu kita malam ini."
Wanita itu mengecup dahi Artini lantas meninggalkannya. Sementara Artini tidak sanggup menahan lagi, air matanya bercucuran. Isakannya semakin kencang, menggema, seolah ingin memberi tahu alam semesta bahwa dirinya terluka.
Tiba-tiba ekor matanya mendeteksi sebuah benda tajam di atas meja. Seluruh tubuhnya bergetar saat tangannya mencoba meraih sebilah pisau kecil. Dia memandangi benda itu sangat lama. Pikirannya berkelana, berandai-andai segala macam kemungkinan. Hingga dia memantapkan hati bahwa mengakhiri segalanya adalah keputusan paling baik.
Ketika benda tajam itu bergesekan dengan urat nadi, Artini menggigit bibir. Namun, ia membiarkan air matanya terus mengalir. Seiring dengan genangan cairan merah pekat yang mengucur deras.
03072023
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Object
Mystery / ThrillerNivriti memiliki hobi memotret tempat-tempat yang sudah lama terbengkalai. Suatu hari dia mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sudah tidak berfungsi. Nivriti sempat memotret coretan tak beraturan yang tertulis di dinding. Kombina...