Delapan

382 117 5
                                    

Kangen nggak?

Semoga masih ada yang baca ya 😄

"Jadi konsepnya jalan kaki, blusukan, kayak walking tour gitu. Targetnya distrik pinggiran Jakarta, deh. Kita mau tahu kehidupan masyarakat dari sisi yang jarang tersentuh."

"Emang sisi yang jarang tersentuh itu apa?"

"Makanya kita cari tahu dengan blusukan ke sana. Nggak cuma ada gedung tinggi tapi kita juga pengin lihat aktivitas masyarakat di luar lingkungan jalan protokol."

Nivriti hanya bermain ponsel saat teman-teman komunitasnya membicarakan lokasi hunting foto untuk agenda selanjutnya. Sebenarnya dia sudah lama tidak terlibat aktif dengan kegiatan ini. Gara-gara bosan di akhir pekan tidak ada salahnya ikut bergabung lagi.

"Lo ikut kan, Vi?" tanya Vasya, wanita berkacamata yang sejak tadi mendominasi percakapan. Dia adalah leader kelompok ini.

"Hm, lihat entar, deh. Gue sebenarnya kurang tertarik dengan temanya, tapi ... nggak apa-apa, sih," jawab Nivriti mengedikkan bahu.

Semua tahu kalau Nivriti hanya menyukai aktivitas fotografi dengan latar bangunan atau tempat kuno, terbengkalai, bahkan cenderung mistis. Untuk kegiatan di luar itu, Nivriti tidak pernah terlibat sama sekali. Seolah dia memang sudah menentukan jalan hidupnya sendiri.

"Sekali-kali deh, Vi. Biar lo tahu seni memotret itu banyak macamnya. Setidaknya objek lo nggak itu-itu aja. Biar ada variasinya, Siapa yang tahu kalau di tengah kampung ada rumah tua, kan?" timpal yang lain.

"Gimana ya, gue udah telanjur cinta. Kalau disuruh berpindah hati itu susah. Gue bisa aja, tapi entar hasil fotonya itu berasa nggak ada jiwanya. Ngerti nggak? Semakin dipaksa hasilnya malah nggak jelas." Nivriti beralasan.

"Itu emang dasarnya lo aja yang cari-cari alasan. Terserah lo, deh."

Nivriti mengedikkan bahu. Bukannya tidak pernah, sebenarnya Nivriti pernah mencoba memotret objek selain bangunan terbengkalai tetapi menurutnya hasilnya tidak memuaskan. Padahal sama-sama mengambil gambar sebuah objek, tapi bagian ini dia merasa fotonya tidak bernyawa. Sejak saat itu Nivriti memutuskan untuk memotret seputar bangunan tua dan sejenisnya saja.

Setelah pertemuan tersebut, Nivriti langsung kembali ke apartemen. Pertemuan yang tidak menghasilkan apa-apa, menurutnya. Karena teman-temannya tidak ada yang berpihak padanya. Itulah salah satu sebab kenapa Nivriti jarang ikut berkumpul. Tidak banyak yang yang setuju mereka mengunjungi tempat-tempat terabaikan karena terlalu ekstrim dan menyeramkan.

Setiap pergi ke mana pun, Nivriti selalu menyimpan kamera di tasnya. Ketika menemukan sesuatu yang menarik perhatian, kameranya siap membidik.

"Kayak ada yang aneh," gumam Nivriti begitu masuk ke dalam unitnya. Dia merasakan kehadiran seseorang.

"Arsen?" panggil Nivriti.

Kekasihnya itu tahu kode pintu unitnya dan sering memberikan kejutan tiba-tiba. Mungkin kali ini Arsen ingin memberikannya kejutan lagi. Tapi kan sekarang Arsen sedang di luar kota.

Nivriti mengendap-endap menuju dapur. Benar saja, di sana dia mendapati seorang pria memunggunginya. Nivriti menarik napas lega, tapi ... postur tubuh Arsen tidak sejangkung itu. Jangan-jangan....

"Ih, Abang ngagetin aja!" teriak Nivriti begitu sang pria membalik badan.

Pria itu tertawa, mendekati Nivriti lantas mengacak rambut wanita itu. Agak kecewa bahwa penyusup di unitnya ternyata bukan Arsen, tapi dia justru lega mendapati tamu tak diundang itu adalah kakak laki-laki satu-satunya. Nivriti segera menyerbu Barga, memeluknya erat.

Kehidupan yang berbeda membuat keduanya jarang bersua. Sesudah orangtua mereka berpisah, Nivriti memilih tinggal di apartemen daripada tinggal bersama keluarga baru ayahnya. Sedangkan Barga, kakaknya, bekerja di Singapura dan tinggal di sana. Sementara ibu sudah berpulang sejak tahun lalu. Meskipun terpisah-pisah, mereka tidak memutuskan komunikasi.

"Lo masih pacaran sama Arsen?" tanya Barga saat Nivriti melepas rangkuman.

"Masih, dong. Kenapa Abang nggak ngabarin kalau mau datang? Sukanya dadakan terus, ih."

"Gue ini orang sibuk, Vi. Waktunya nggak tentu. Susah cari yang pasti-pasti, tapi lo nggak usah khawatir gue tetap bisa komitmen, kok."

"Apaan, sih!" Nivriti berdecak sambil mencubit lengan Barga. Lalu, dia melirik di belakang pria itu. "Lo masak?"

"Iya, gue bikin steak. Dagingnya gue impor langsung dari Singapura. Gue bawa langsung nih biar lo ngerasain makanan bercitarasa luar negeri. Ayo makan bareng udah mateng, nih."

"Kurang kerjaan banget bawa daging dari Singapura. Lebih enak produksi dalam negeri kali."

Mendapat kunjungan dari Barga yang tidak menentu setiap saat selalu membuat Nivriti bahagia. Bahkan dia pernah menolak ajakan Arsen bertamasya demi me time dengan Barga. Tentu saja Arsen cemburu, tapi dia tidak bisa berkutik karena dia paham bagaimana keadaan Nivriti bersama keluarganya. Apa lagi dengan Barga, Arsen harus menjaga sikap demi kelangsungan hidup masa depannya.

"Abang berapa hari di Jakarta? Nginep di sini, kan?"

"Dua hari. Lusa gue balik lagi. Iya, gue nginep di apartemen lo. Kalau ada yang gratis ngapain cari berbayar." Barga menepuk pipi adiknya. Dia mengedikkan bahu, "gue ngabarin Papi, tapi katanya dia lagi nggak ada di rumah. Ya udah, deh. Risiko orang sibuk sama keluarga jadi jarang ketemu, kan."

Jangankan Barga, Nivriti saja jarang bertemu ayahnya. Meskipun difasilitasi, tapi rasanya berbeda jika tidak pernah bertatap muka.

"Gue pengin ketemu Arsen. Suruh dia ke sini sekarang, Vi. Gue mau lihat perkembangan tampangnya kayak apa," celetuk Barga pada suapan terakhir.

"Arsen lagi kondangan ke Bintaro sama keluarganya. Sepupunya nikah. Besok aja kalau dia udah balik, ya."

"Hah? Lo nggak diajak? Terus dia kapan nikahin lo?"

Nivriti mencibir. "Lo dulu, dong. Emang lo mau dilangkahin?"

"Gue sih nggak masalah. Kalau lo nikah duluan, silakan. Kalau ada orang yang mau bahagia kenapa harus dihalangin? Iya nggak." Barga mengedikkan bahu.

Sementara Nivriti membereskan meja, Barga melakukan inspeksi setiap sudut apartemen adiknya. Dia mengamati setiap perabotan, memandangi hasil karya foto Nivriti yang dipasang di dinding. Barga berdecak. Sebelumnya dia sudah pernah memberitahu, tapi Nivriti tidak menggubris. Foto-foto yang menurutnya bernuansa kelam itu seharusnya tidak pantas dipajang di dalam hunian.

"Gue udah pernah bilang lo nggak usah pamer foto beginian. Cukup simpan di folder nggak usah ditaruh di sini. Kagak ada foto lain yang lebih estetik gitu? Selera lo aneh banget. Gue aja lihatnya serem," komentar Barga.

"Itu cuma foto masterpiece, Bang. Sisanya gue simpan di album folder," seru Nivriti gemas. Kakaknya ini memang kadang-kadang suka cerewet.

"Terserah lo," gumam Barga seraya mengusap tengkuk. Entah betulan atau halusinasi dia merasa ada angin berembus pelan di belakangnya. Mengabaikannya, Barga menyusul Nivriti di dapur.

Arsen : Aku ke sana besok ya. Sekalian kita jalan. Tanyain Bang Barga mau jalan ke mana.

Nivriti : Ya udah cepet sininya.

Arsen : Kan besok, Sayang. 😊

Nivriti : Iya cepet, si Abang pengin ketemu kamu katanya.

Nivriti menguap. Matanya menutup perlahan, membiarkan ponselnya menyala dalam posisi jendela chat-nya dengan Arsen masih terbuka. Percakapan dengan Arsen terus berlangsung. Tentu saja ada elemen lain yang menggerakkan huruf-huruf terketik dari ponsel. Nivriti tidak menyadari percakapan otomatis tersebut hingga keesokan pagi dia menemukan tulisan aneh kembali tampak di ponselnya.

Hidden ObjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang