Dua Belas

366 111 11
                                    

Nivriti memegang kepalanya. Rasanya seperti berputar-putar hingga pandangannya nyaris buram. Suara berisik yang entah berasal dari mana membuatnya terjaga. Teriakan, makian, bahkan dentuman menguasai pendengarannya. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, pemandangan mencengangkan tersaji di depan mata. Nivriti bengong, menatap sekeliling, dia sangat syok.

Orang-orang berlarian memegang senjata. Mengayunkan senjata tajam menusuk satu sama lain. Nivriti menjerit saat seorang pria bertubuh pendek menghunuskan senjata tajam di punggung pria. Namun, Nivriti segera menutup mulut supaya keberadaannya tidak diketahui. Posisinya berada di balik pohon besar agaknya cukup mendukung.

"Kamu harus pergi dari sini. Bersembunyilah di dalam benteng. Pasukan Nippon tidak akan masuk ke sana," ucap seseorang.

Nivriti terkejut tiba-tiba seorang pria bicara di dekatnya. Dia kira pria itu berbicara dengannya, tapi melihat wanita di sebelah sang pria membuat Nivriti yakin pria itu tidak sedang bicara padanya.

"Saya tidak bisa meninggalkan kamu. Kamu sudah janji mau menikahi saya dan membawa saya ke Batavia kemudian kita berlayar ke negara kamu. Menetap di sana," ucap wanita itu sambil menangkup pipi sang pria.

"Artini, saya akan mewujudkannya, tapi sekarang tolonglah kamu pahami. Situasi sedang kritis. Pangkalan udara Kalijati sudah jatuh. Bandoeng Utara juga sudah diserbu. Tinggal daerah ini dan Lembang sebagai pertahanan terakhir. Tapi lihatlah, sekarang pasukan Nippon mulai berdatangan. Kamu harus menyelamatkan diri. Percayalah, aku akan menjemputmu. Sekarang sebaiknya kamu bersembunyi di dalam benteng itu."

"Tapi...."

"Kamu harus patuh, Artini. Saya janji pasti kembali. Untuk kamu dan anak kita."

"Saya tidak percaya dengan janji kamu."

"Saya tahu, tapi di dalam tubuh kamu ada jiwa saya. Saya percaya kamu bisa menjaganya. Bawa ini bersama kamu." Pria itu menyerahkan sesuatu kepada Artini. Ia menggenggamnya.

Nivriti mengawasi segala gerak-gerik pasangan itu. Ia mencoba mengintip benda apa yang diberikan pria bule itu kepada Artini. Sayangnya, Nivriti tidak mendapatkan petunjuk. Ia yakin keberadaannya di tempat misterius ini tidak diketahui siapa pun. Orang-orang di sekitarnya tidak menyadari dirinya ada. Itu berarti posisinya aman. Nivriti harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Pria berambut pirang itu mencium kening wanita bernama Artini itu kemudian berlari bergabung bersama pasukannya. Artini menatap kepergian kekasihnya dalam diam dengan air mata berlinang. Sambil memegang perut, Artini melangkah tertatih ke arah benteng. Diam-diam Nivriti mengikuti dari belakang. Nivriti terus mengamati. Perawakan wanita itu tampak tidak asing di matanya. Dilihat dari caranya berpakaian, Nivriti seperti pernah menjumpai.

"Houvell, perasaanku tidak enak setiap kali kau mengucap janji. Seharusnya kita memang tidak pernah bertemu. Kebodohan dan kesalahan terbesarku adalah mencintaimu. Tenanglah, aku tetap akan membesarkan anak kita apa pun yang terjadi," gumam Artini sambil mengusap perutnya.

Jadi pria bule itu namanya Houvell. Nivriti mendekat. Langkahnya maju perlahan. Rasa ingin tahunya semakin meningkat. Sembari melihat sekeliling, Nivriti ingat betul ini adalah benteng yang ia kunjungi bersama Arsen kala itu. Di dalam benteng banyak orang bersembunyi dari kalangan bumiputera maupun pasukan Belanda. Dia semakin yakin dirinya berada di masa-masa negara masih dalam keadaan terjajah.

Nivriti melihat Artini menggores sesuatu di dinding benteng. Sontak bola mata Nivriti melebar. Mungkinkah tulisan aneh yang ia potret itu berasal dari tangan wanita ini? Tapi mana mungkin wanita ini bisa menulis huruf Jepang sedangkan pada masa itu saja masih proses perebutan kekuasaan?

Tiba-tiba terdengar kerusuhan di dalam benteng. Rupanya pasukan Jepang telah mengepung. Situasi menjadi semakin ricuh. Nivriti merapat ke dinding, menghindari orang-orang yang berlarian melewatinya.

"Lepaskan! Lepaskan!"

Teriakan Artini membuat Nivriti mencari. Wanita itu dikepung beberapa pasukan Jepang. Nivriti ingin menolong, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menyaksikan Artini diseret para prajurit. Ketika lewat di depannya, Artini sontak menoleh sehingga Nivriti tercekat.

"Kembalikan. Kau tidak berhak memilikinya," seru Artini dengan sorot mata tajam menatap Nivriti.

"Kamu ... bisa melihatku?" Nivriti menunjuk dirinya sendiri.

"Tentu saja karena aku yang membawamu ke sini. Kau akan terperangkap di sini. Kau tidak akan bisa bersama kekasihmu seperti aku yang gagal bersama Houvell. Kau harus membayarnya karena telah mengambil milikku yang paling berharga. Hahaaha...."

Suara tawa Artini sangat nyaring membuat gendang telinga Nivriti terasa linu. Dia tidak paham apa yang dimaksud wanita itu. Perlahan Artini berubah wujud menjadi sosok yang sangat mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah, bajunya berubah putih lusuh, dan rambutnya berantakan. Nivriti tidak tahan melihatnya hingga akhirnya dia pingsan.

"Vi, bangun. Kamu masih di sini, kan?"

Mata Nivriti terbuka pelan-pelan begitu mendengar suara familiar memanggilnya. Genggaman hangat di tangan membuatnya tersadar. Dia tersenyum lebar melihat Arsen di sampingnya. Segera saja Nivriti memeluk pria itu.

"Kamu dari mana aja? Seharian kamu tidur, Vi. Lain kali jangan main terlalu jauh, ya," ucap Arsen seraya mengusap belakang kepala kekasihnya.

"Aku capek banget, Sen. Ini jam berapa, ya?"

"Jam sebelas malam. Kamu tidur dari pagi, Vi."

Nivriti melepas pelukan. "Kayaknya aku tahu, Sen. Wanita itu namanya Artini."

"Artini?" Dahi Arsen mengerut.

Nivriti mengangguk lantas menceritakan semua pengalamannya. Dia yakin wanita bernama Artini itu memiliki tujuan tertentu. Wanita itu menggunakan dirinya sebagai perantara untuk melakukan sesuatu.

***

"Harus ke sana banget? Kita bisa selesaikan baik-baik tanpa balik ke sana lagi," ujar Arsen saat mereka terjebak macet dalam perjalanan pulang kantor.

"Kita harus ke sana lagi kalau ingin cepat selesai. Aku capek gini terus," gerutu Nivriti.

"Emang kamu tahu maksudnya dia udah 'mengambil miliknya yang paling berharga' itu apaan?"

Nivriti menggeleng. "Enggak. Tapi kamu tahu, kan?"

Arsen tertawa. "Aku nggak tahu, Vi. Aku kan bukan cenayang, dukun. Aku nggak bisa menebak isi mimpi kamu itu. Kita cari solusi yang realistis aja lah. Yang penting nggak usah balik ke benteng itu lagi."

"Tapi kalau menebak isi hati aku bisa, kan?" goda Nivriti sambil menggelitik pinggang Arsen.

"Aku lagi nyetir, Vi. Jangan usil, deh."

"Usilin lagi, nih. Usilin...." Nivriti tertawa, semakin melanjutkan menggelitiki perut Arsen.

Tak sengaja mata Nivriti melirik ke arah spion tengah. Matanya menangkap sosok duduk di kursi penumpang belakang. Refleks ia menoleh. Tidak ada apa pun. Ia kembali melirik kaca spion, sosok itu muncul lagi.

"Kenapa?" tanya Arsen.

"Nggak ada apa-apa," jawab Nivriti lirih lantas fokus memerhatikan jalanan di depan.

Sepertinya sosok yang diduga bernama Artini itu terus mengawasinya. Semua ini harus berakhir. Dia tidak bisa meminta Arsen terus-menerus menginap di apartemen untuk menemani walaupun pria itu tidak keberatan.

"Kembalikan milikku...."

Suara lirih berbisik di telinga Nivriti. Otomatis Nivriti mencengkeram tangan Arsen kemudian menarik napas dalam. Dia memejamkan mata. Berharap baik-baik saja dan tidak terlempar lagi ke masa yang tidak terdefinisi.








300822

Hidden ObjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang