Sepuluh

353 112 10
                                    

"Kok belum berangkat? Nggak jemput Nivriti?" tanya Mama Arsen tatkala melihat putranya menyantap sarapannya dengan santai.

"Nggak, Ma. Dia lagi pengin berangkat sendiri katanya," jawab Arsen terus mengunyah.

Wanita paruh baya itu menarik napas pendek lantas duduk di depan Arsen. Arsen menyadari maksud tatapan mamanya. Bukan ingin mendengar komentar rasa masakannya, tapi ingin berbicara seputar topik yang cukup mengusik.

"Gimana keadaan Nivriti? Kamu udah ketemu apa saja?"

Kepala Arsen terangkat. Sebenarnya pembicaraan yang kurang menarik dibahas pagi-pagi. Berbagi kisah misterius untuk mengungkap kejanggalan yang terjadi. Namun tidak bisa dipungkiri, ada objek yang mengikuti. Jika dibiarkan bisa memorak-morandakan keseimbangan kehidupan. Imbasnya bukan tidak mungkin akan menimpa dirinya.

Sosok wanita berkebaya lusuh yang dia lihat belum diceritakan kepada Mama. Arsen tidak tahu sosok itu siapa, tapi dia yakin ada keterkaitan yang menghubungkannya. Sebelum merajalela memang sewajarnya sosok itu harus disingkirkan.

"Nivriti baik. Dia ... masih ceria seperti biasa. Memang ada sesuatu di sana, tapi aku belum yakin itu apa. Aku kan nggak seperti Mama yang paham begituan," tukas Arsen.

"Iya, kan. Pantesan perasaan Mama nggak enak. Mama nggak bisa bantu banyak, sih. Yang Mama lihat, dia cuma mau sama Nivriti. Ada sesuatu yang harus Nivriti lakukan. Makanya kamu nggak boleh jauh-jauh dari Nivriti. Soalnya energi kamu disegani sama dia," ucap Mama seraya mencubit hidung putranya.

"Serem banget, Ma. Bisa bikin celaka orang, dong. Terus aku harus ngapain?"

Mama Arsen memejamkan mata sejenak. Dia berujar dengan mata tertutup, "bisa jadi baik bisa jadi jahat. Emang lebih banyak jahatnya. Timeline-nya sekitar peralihan Belanda - Jepang. Itu doang, Mama nggak bisa jalan lebih jauh."

Itulah alasannya kenapa Nivriti menemukan aksara Jepang tersemat di dalam foto yang diambil di lokasi. Jika memang elemen halus itu menginginkan Nivriti, dipastikan tujuannya bukan untuk kebaikan. Bisa jadi nyawa kekasihnya terancam. Hanya saja yang masih misterius adalah kenapa Nivriti?

"Aku berangkat, Ma. Dah...."

Arsen beranjak kemudian mencium pipi mamanya. Dia menyalakan mesin mobil, bergegas menuju kantor agar lekas bertemu dengan Nivriti. Keadaan wanita itu tidak sepenuhnya aman. Apa lagi Nivriti tinggal sendirian di apartemen. Abangnya sudah kembali ke Singapura. Mendengar cerita Mama membuat angan Arsen berlarian di banyak tempat. Sekarang dia hanya ingin segera bertemu dengan Nivriti.

Tiba di kantor, mata Arsen langsung tertuju ke arah Nivriti yang tengah bercengkerama dengan Dewa. Tawa renyah kekasihnya menunjukkan keadaan yang normal. Pun dengan Dewa, pria itu tidak lagi bergelagat aneh. Senyumnya lepas, mukanya tidak lagi pucat.

"Seru banget kayaknya," sapa Arsen sambil menepuk pundak Dewa.

"Biasa. Morning talk, Sen. Eh, lo udah sarapan? Gue bawa sandwich, nih. Nivriti udah habis dua biji, lho. Lo mau nggak?" tawar Dewa seraya menyodorkan kotak makan.

Arsen memerhatikan sandwich itu. Tidak biasanya Dewa membawa bekal untuk sarapan. Pria itu sering memilih secangkir kopi daripada makanan untuk mengawali hari. Kalaupun pengin makan biasanya Dewa beli gorengan atau bubur ayam di dekat kantor. Dia jarang bawa bekal dari rumah.

"Bang Dewa bikin sendiri, Sen. Enak, loh. Kamu nggak mau cobain?" tambah Nivriti.

"Nggak. Tadi udah sarapan. Dah, buruan kerja jangan ngobrol mulu," cetus Arsen seraya melenggang pergi.

Sebenarnya Nivriti ingin menyusul Arsen ke ruangannya, tapi menyadari jam kerja sudah berjalan ia mengurungkan niat. Bagaimanapun dirinya harus bersikap profesional. Nivriti tidak mau menjadi pembicaraan publik. Mentang-mentang memiliki hubungan istimewa dengan atasan jadi berlagak semaunya.

"Nih, tinggal dua biji. Lo habisin aja gue udah kenyang." Dewa menyodorkan kotak makannya kepada Nivriti.

"Gue juga kenyang. Buat lo aja," cetus Nivriti sambil melirik ke arah Arsen.

"Lo diajak ngomong matanya ke mana-mana. Mupeng banget. Segitu nggak tahannya, ya. Emang semalem jatahnya kurang?" decak Dewa.

"Apaan, sih? Bawel."

"Dah lah, gue mau kerja."

Nivriti punya waktu leluasa bersama Arsen hanya pada saat makan siang dan setelah jam kerja usai. Setelah sebagian besar karyawan meninggalkan kantor, Nivriti menghampiri Arsen di ruangannya. Pada saat itulah ia leluasa melakukan pembicaraan mendalam dengan kekasihnya. Itulah kenapa dia dan Arsen sering pulang paling terakhir dari karyawan lainnya.

Nivriti mengetuk pintu perlahan lantas masuk setelah mendengar dehaman dari dalam. Terlihat Arsen masih berkutat di balik meja. Pria itu tampak serius. Keningnya mengerut menatap layar komputer.

"Kamu lembur? Mau dibeliin gorengan atau makanan apa gitu?" tawar Nivriti sambil duduk pelan-pelan di depan Arsen.

"Nggak. Bentar lagi balik, kok. Tunggu, ya," jawab Arsen tanpa menoleh.

"Oke." Nivriti mengedikkan bahu.

Tidak ingin mengganggu konsentrasi Arsen, Nivriti melangkah ke arah jendela. Menatap senja langit ibukota. Guratan oranye di antara awan semakin mempercantik panorama. Pemandangan puluhan bahkan ratusan kendaraan mengular memadati jalan raya. Nivriti mengeluarkan ponsel. Mengabadikan suasana senja dalam potret dari kamera ponselnya. Bukan kebiasaannya mengambil gambar nuansa alam, tapi kali ini Nivriti enggan kehilangan momen tersebut.

"Tumben kamu motoin awan," ucap Arsen yang sudah berdiri di belakang Nivriti.

"Abis cakep banget. Jarang dapet momen kayak gini," sahut Nivriti sambil terus memotret.

Arsen mengangguk. Dia ikut menatap pemandangan di luar jendela. Kesibukan umat pekerja korporat usai jam kerja menghiasi di antara lalu lintas kendaraan. Hingga semburat oranye di selipan awan tak lagi kelihatan, keramaian jalanan malah semakin tak terkendali. Langit gelap, malam merangkak mendominasi. Suasana seketika hening. Senyap. Dingin. Padahal pendingin ruangan sentral sudah mati. Aroma udara lembab menusuk indera penciuman Arsen. Bau yang tidak masuk akal terdeteksi di ruang kerjanya.

Semula Arsen berada di belakang Nivriti, sekarang berpindah di samping wanita itu. Merangkum pinggangnya. Dia berujar lirih di atas kepala Nivriti.

"Malam ini aku nginap di apartemen kamu ya, Vi."

"Arsen, kita sudah sepakat kalau kita nggak akan tinggal bersama sebelum menikah. Bukannya aku nggak percaya sama kamu, tapi...."

Tiba-tiba Arsen memeluk Nivriti. Dia menutup mata wanita itu dengan sebelah tangannya. Pada saat yang bersamaan angin berembus sangat kencang hingga menimbulkan suara gemuruh serta memorak-morandakan benda apa pun yang ada di sekitar mereka. Padahal saat ini mereka tengah berada di sebuah ruangan yang berada di atas lantai tujuh belas. Mustahil angin tersebut berasal dari luar karena tidak ada satu pun jendela yang dibiarkan terbuka. Lagipula di atas gedung setinggi ini mana ada jendela yang terbuka.

Embusan angin tersebut membentuk pusaran lantas bergerak cepat ke arah mereka. Arsen memejamkan mata sambil mengeratkan pelukan. Pijakan kaki Arsen yang kuat mampu menghalau terjangan angin misterius itu. Nivriti mengangkat kelopak mata ketika situasi terdengar mulai tenang di telinganya.

"Arsen, itu tadi apa?" tanya Nivriti dengan suara bergetar.

Arsen menggeleng kemudian menatap mata wanita yang berada dalam dekapannya. "Aku nggak tahu, tapi feeling-ku nggak enak. Aku boleh nginap di tempat kamu kan, Vi? Tenang, aku nggak akan tidur untuk memastikan kamu baik-baik saja."

Nivriti mengangguk. Dia kembali menyurukkan wajah di dada pria yang selalu berhasil membuatnya tenang dalam keadaan apa pun. Arsen mengusap rambut Nivriti seraya menjatuhkan kecupan ringan di pucuk kepalanya. Namun, matanya tidak lepas dari arah sudut ruangan. Bayangan hitam itu memudar saat mata Arsen mengedip.


13082022

Hidden ObjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang