"AKU MEMANG PENCINTA WANITA .... NAMUN KU BUKAN BUAYA ...."
"YANG SETIA PADA SERIBU GADIS ...."
"KU HANYA MENCINTAI DIA ...."
Ino bernyanyi sangat menghayati dengan suaranya yang sangat melengking, laki-laki itu mengepalkan tangannya membuat seolah-olah kepalan tangannya itu adalah sebuah mic.
"AKU MEMANG PENCINTA WANITA .... NAMUN KU BUKAN BUAYA ...."
"YANG SETIA PADA SERIBU GADIS ...."
"KU HANYA MENCINTAI DIA ...."
Bian sontak memukul-mukuli meja yang ada di hadapannya, ia memukuli meja seirama dengan lagunya. Bian bernyanyi bersama ino, suara mereka beradu membuat siapa saja yang mendengarnya akan melirik pada mereka dan pastinya akan tertawa melihat tingkah dua sejoli itu.
"AKU MEMANG PENCINTA WANITA .... NAMUN KU BUKAN BUAYA ...."
"YANG SETIA PADA SERIBU GADIS ...."
"KU HANYA MENCINTAI DIA ...."
Bian dan Ino bernyanyi dengan ritme yang semakin cepat dan semakin keras tanpa menghiraukan satu lagi sosok laki-laki yang sedang bersama mereka.
Beno sedari tadi hanya diam menatap mereka, ia melipat tangannya dibawah dada. Sesekali terkekeh.
"Nyanyi kok liriknya itu-itu aja," Beno mendengkus, menatap jalanan yang tidak terlalu ramai.
Mereka bertiga sedang berada di warung kopi yang terletak dipinggir jalan, kebetulan ini malam minggu. Dan entah ada angin dari mana duo curut itu kembali mengajak Beno untuk nongkrong bersama. Beno si hayu-hayu aja karna ia juga sedang sangat kebosanan, tidak ada salahnya ikut bersama Bian dan juga Ino kan?
Sungguh. Beno berharap jika kewarasannya masih bisa bertahan jika berkumpul bersama orang yang mungkin tidak punya kewarasan.
Bian memberhentikan nyanyiannya saat mendengar Ino terbatuk-batuk, mungkin tenggorokannya keseleo karna Ino bernyanyi dengan sangat semangat.
"Mampus lu, No. Kata-kata terakhir apaan, No?" Bukannya memberikan minum tapi Bian malah bertanya sedemikian rupa, apakah ia pikir Ino akan wafat begitu?
Ino berdehem keras beberapa kali karna merasakan tenggorokannya tercekat. Ia menatap Bian malas. "Sue lu."
Ino lantas bangkit dari duduknya menuju lemari pendingin, ia mengambil segelas air mineral yang harganya hanya 500 perak.
"Susah ya fakir miskin, beli minum aja yang gopean." Sindir Bian saat Ino sudah kembali duduk dan tengah menghabiskan air putihnya.
"Tiada hari tanpa sirik ya kawan?" Balas Ino tanpa menatap Bian, ia membuang gelas plastik bekas air mineral itu dengan sembarang.
"Dasar sampah masyarakat! Buang sampah tu pada tempatnya!" Sindir Beno yang melihat Ino membuang sampah sembarangan.
"Taik lu, pas jadwal piket kelas aja datengnya telat mulu lu. Kalo lu udah bener baru ceramahin gue!" Balas Ino mengambil gelas plastik yang tadi ia buang lantas melemparkannya pada Bian, sampah itu terkena bagian depan tubuh Bian lantas gelas plastik itu terjatuh ke tanah.
"Sialan! Ngapain lempar ke arah gue si kunyuk?!" Kesal Bian menggeplak kepala Ino.
Ino meringis, mengusap kepalanya. "Apa si lu? Salahin Beno noh, dia kata buang sampah pada tempatnya." Ujar Ino menunjuk Beno menggunakan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu Rasa
Novela JuvenilAeera Gladista Ketenangan. Kesunyian yang membelenggu. Kesepian yang kian menjadi kesukaannya. Dan kegelapan yang menenangkan. Akhirnya Aeera dapat merasakannya. Ketika tidak ada yang bisa menemani setiap langkahmu, dan kamu merasa sendiri. Tenang...