1.Become wife

4.1K 177 4
                                    

Laila duduk di pinggir kasur mewah menatap penuh antisipasi seorang Pria yang telah menjadi suaminya beberapa menit yg lalu. Edward memutar kunci pintunya kemudian dengan santai masuk ke kamar mandi membuat Laila menghela nafas lega. Laila lebih dulu membersihkan dirinya sebelum Edward tiba di kamar. Gamis coklat polos melekat di tubuhnya juga Khimar hitam dan cadar yang senada. Debaran jantungnya masih kacau dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Berulang kali menghela nafas guna menenangkan dirinya, kemudian berdzikir hingga akhirnya hatinya mnejadi lebih tenang dan hampir lupa bagaimana situasinya jika Edward tidak dengan tiba tiba duduk di sampingnya dengan wajah yang sangat dekat dengannya.

"Ada apa di balik kain hitam ini? Lubang hitamkah? Atau... Bintik bintik menjijikkan?" Laila tidak bereaksi apapun terhadap hinaan sang suami membuat Edward menyeringai tipis sebelum dengan cepat menarik cadar yang menutupi wajah Laila.

Hening, baik Edward maupun Laila tidak ada yang mengeluarkan suara. sepersekian detik cukup bagi Laila melihat tatapan terkesima dari mata Edward sebelum mata elang pria itu berubah menjadi datar.

Edward tersenyum tipis dengan jarinya mengelus pelan pipi Laila yang halus dan bersih. Benar benar tidak terduga. Mata elangnya lalu bertemu dengan mata sayu sang istri membuat debaran jantungnya menggila dan bergairah.

"Hei, apa ucapan yang pantas ku ucapkan sekarang? Subhanallah atau Masyaa Allah?" meski begitu, Edward ingin sedikit merayu sang istri untuk menghargainya.

"Ucapkan saja apa yang engkau rasakan." suara datar dan lembut istrinya semakin membuatnya panas dingin. Tangannya mendorong pelan Laila hingga terbaring di bawahnya kemudian....

"Kalau begitu, Alhamdulillah adalah kata yang sangat pas."








Edward terbangun dengan mata yang masih terasa berat. Ah, tempat di sebelahnya kosong, kemana istrinya sekarang? Matanya kemudian melirik ke arah pintu yang di buka perlahan oleh istrinya yang cukup terkejut melihat dirinya.

"Dari mana?" suaranya yang berat dengan sedikit serak itu baginya terdengar cukup sensual, mungkin bagi istrinya itu adalah hal yang mengerikan terlihat dari reaksi Laila yang terlihat  agak canggung.

"Sholat subuh." singkat Laila sambil mengambil langkah menuju sang suami. Edward mengangkat satu alisnya sambil menatap lamat pergerakan Laila. Istrinya tidak bangun terlambat seperti pengantin kebanyakan, berarti Laila mandi tak lama setelah mereka terlelap kah? Atau ketika hampir subuh?

"Kenapa tidak di sini saja", tanya Edward santai sambil memposisikan tubuhnya duduk menyandar membuat selimut tebalnya melorot ke pinggang. Laila terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan sang suami, menghela nafas pelan kemudian mengeluarkan suaranya.

"Cairan sperma dan darahku ada di kamar ini, itu kotor dan tidak layak aku beribadah di tempat yang belum dibersihkan." jelas Laila dan Edward tidak ambil pusing dan membiarkan itu berlalu. Tatapannya lalu beralih pada wajah ayu Laila.

"Lalu, apa yang kau lakukan sekarang?" tanyanya.

"Melayani kebutuhanmu."

Meski Edward tahu maksud kebutuhan yang di pikirkan Laila adalah hal lain, dia tetap tidak mengindahkannya. Dengan sigap dia menarik Laila lalu mengurungnya di bawahnya.

"Kalau begitu, layani suamimu ini sekarang".







Laila dengan canggung mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang menata makanan di meja makan dengan agak terburu buru begitu dia turun.

"Tidak! Anda tidak boleh menyentuhnya. Itu pekerjaan saya!", cegah wanita itu sambil mengambil mangkuk berisi makanan yang Laila pegang. Menyadari wanita tua ini terlihat ketakutan Laila pun mengiyakannya dan memilih duduk diam menunggu Edward yang masih membersihkan dirinya. Ini sudah hampir tengah hari dan dia benar benar lapar saat ini.

Tak lama Edward turun dan bergabung dengannya di meja makan, namun pria itu hanya meminum kopi dan kemudian berlalu begitu saja ke ruangan yang berada di pojok ruang tamu. Alisnya bertaut merasa bingung dan sedikit tersinggung.

"Tuan tidak terbiasa sarapan, beliau hanya minum kopi lalu bekerja hingga larut", jelas wanita tua yang tampaknya menungguinya makan. Menyadari itu, dia dengan refleks berdiri membuat wanita tua ini terkejut.

"Jangan berdiri, duduklah dan makan bersamaku", ajaknya yang di sambut tatapan kaget wanita tua dan beberapa pria yang mungkin penjaga milik suaminya. Wanita tua terlihat melirik ke arah ruang kerja Edward lalu beralih ke para penjaga sebelum menunduk.

"Tidak nyonya, sebaiknya nyonya segera menghabiskan makanan nyonya."

Tersirat ketakutan di nada bicara wanita tua dan sayangnya Laila tidak mengetahuinya. Sebuah lengan melingkari bahunya bersamaan dengan sebuah pisau kecil tertancap di dinding tepat di atas kepala wanita tua yang bergetar ketakutan.

"Kau memerintahkan Istriku? Seorang pembantu sepertimu?", ancam Edward dengan tatapan tajamnya membuat sang wanita tua bergetar ketakutan. Kepalanya tertunduk tidak berani mengangkat wajahnya.

"Maafkan saya nyonya. Tolong maafkan saya."

Mencerna bagaimana situasinya, Laila barulah sadar bagiamana kehidupan orang orang seperti Edward berjalan. Memilih duduk dan memakan makanan yang di sajikan dengan tenang, Laila berucap tanpa menatap wanita tua.

"Lanjutkan pekerjaanmu, tidak perlu berdiri menungguiku!", perintah dia dengan perasaan bersalah pada wanita tua yang masih bergetar ketakutan sedangkan Edward menatap datar wanita tua itu menyiratkan agar wanita itu menjalankan apa yang di perintah Laila. Sang wanita tua bergegas meninggalkan dapur.

"Yah, kau cukup bisa memerintah orang tanpa sopan santun layaknya nyonya rumah", ucap Edward sebelum meninggalkan Laila dan kembali ke ruang kerjanya.









"Itu, maaf karena aku membuatmu dalam masalah tadi. Apa ada yang kau ingin aku lakukan, setidaknya membuatmu sedikit tenang?", Sang wanita tua terperanjat mendengar perkataan istri tuannya. Dengan takut dia mengangkat kepalanya menatap mata coklat milik nyonya baru di rumah ini. Yang dia dengar, istri tuanya ini orang biasa dan tidak tahu menahu soal tuannya. Menyadari hal itu, sang wanita tua tiba tiba jadi iba dengan istri tuannya.

"Saya sudah sedikit tenang, terima kasih", sadar bahwa nyonyanya masih ragu wanita tua menutup matanya sambil menghela nafas berulang kali dan tersenyum cukup lebar.

"Saya sudah tenang nyonya, jangan merasa tidak enak seperti itu!", ucap wanita tua pada Laila.

Laila masih di liputi rasa bersalah, menelisik sang wanita tua yang masih tersenyum. Tubuhnya sudah tidak bergetar ketakutan seperti tadi, dan nada suaranya sudah tidak bergetar. Tangan Laila terulur menyentuh pelan tangan wanita tua itu. Jujur saja, dia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap orang orang yang  baru dia temui di rumah suaminya.

"Aku tidak tahu menahu apapun di sini. Tolong, aku percaya pada anda. Bantu aku beradaptasi", mohon Laila pada wanita tua di depannya.

Sang wanita tua terlihat sangat iba dengan Laila. Mengangguk pelan dan tersenyum kecil, wanita tua mengangguk.

"Iya, tentu saja. Panggil saja saya Annie, tolong panggil saja saya Annie. Tuan akan marah jika nyonya menyamakan diri nyonya dengan para pekerja di sini karena itu sama saja merendahkan tuan."

Laila terdiam agak lama sebelum mengangguk kecil pada Annie yang masih setia dengan tatapan ibanya.

He is Mafia [END]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang