Mi Ayam Yanto memang tidak pernah mengecewakan siapa pun yang pernah menyicipinya. Bahkan namanya sudah menjadi legenda di SMA Angkasa. Sebab warung mi ayam kepemilikan orang Jawa bernama Yanto ini telah berdiri sejak sekolah Angkasa didirikan. Tak jarang masih ada alumni yang mampir ke Angkasa hanya untuk makan Mi Ayam Yanto.
Suasana kantin yang hiruk pikuk sudah menjadi hal biasa. Hampir semua siswa berada di kantin saat jam istirahat untuk mengisi perut atau sekedar nongkrong-nongkrong bersama teman. Abhra, Baskara, dan Gemintang menjadi salah tiganya. Urusan perut tidak perlu dipertanyakan lagi. Selepas bel istirahat berbunyi Baskara dan Gemintang langsung menodong janji yang diikrarkan oleh Abhra di Galeri Nasional.
"Satu mangkok mi ayam gak pake daun seledri buat nak Abhra, yang pangsitnya dipisah buat bos Baskara, yang gak pake ayam buat mas Gemintang." Dengan logat jawanya yang kental Yanto menyajikan mi ayam satu-persatu ke meja. Ia sudah hafal betul pesanan dari tiga bersahabat ini.
"Makasih, Pak Yanto."
Yanto menyunggingkan senyum yang dilengkapi dengan keriput di wajah. Sebelum pergi ia mengacungkan kedua jempol tangannya.
"Sering-sering gini dong, Bhra." Rayu Gemintang sambil menuangkan kecap, sambal, dan saus ke mangkuk mi ayamnya.
"Yang ada gue malah bangkrut. Perut kalian kan kayak kantong Doraemon, bisa muat dimasukin apa aja." Jawab Abhra dengan sedikit mendesah.
"Enak aja gue disamain kayak Doraemon." Baskara tidak terima.
"Yaudah, mirip Suneo, deh. Hahaha." Abhra tertawa dengan puas lalu disambut dengan lemparan daun sawi dari Baskara.
Gemintang dan Baskara menyuap dengan jarang-jarang. Mereka lebih sibuk memperhatikan gerak-gerik Abhra sedari tadi. Siapa pun yang mengenal Abhra akan dengan mudahnya melihat perubahan sikap yang tidak biasa ini. Jika diibaratkan seperti langit yang akhirnya cerah setelah sekian lama diselimuti awan mendung.
"Ehem ... ehem ..." Gemintang berdehem padahal tenggorokannya tidak gatal.
Deheman Gemintang berhasil menarik perhatian Abhra yang sedang lahap memakan mi ayam. Abhra hanya membalas Gemintang dengan mengangkat alis.
"Ada apa gerangan, nih? Rainindra Langit Abhra dari tadi keliatannya sumringah banget."
"Abis nge-date kan kemarin, Tang."
Gantian Abhra yang melempar daun sawi ke Baskara.
"Sembarangan." Tampik Abhra. "Gue bahkan baru ketemu sekali sama Arunika, tapi pikiran kalian udah jauh aja."
"Jodoh kan gak ada yang tau, Bhra." Goda Gemintang.
"Karena gak ada yang tau, makanya kalian jangan sok tau."
"Terus, kalo bukan karena nge-date, kenapa lo pagi ini mukanya cerah banget? Matahari aja sampe insecure." Tanya Gemintang.
"Gimana, ya ..." Abhra menghentikan suapannya, lalu bola matanya melihat ke atas sebagai respon dari otaknya yang sedang berpikir. "Susah buat dijelasin. Pagi ini, ntah kenapa, rasanya gue lebih 'lengkap'. Kayak, puzzle-puzzle yang hilang dari diri gue perlahan mulai utuh satu-persatu."
***
Abhra menginjakkan kakinya di halaman rumahnya lalu membuka pintu perlahan.
"Bu ...?" Panggil Abhra saat ia sampai di ruang keluarga. Tidak ada tanda-tanda jika ibunya sudah pulang, mungkin ibu masih di toko kue pikirnya. Abhra menyandarkan tubuhnya pada sofa panjang yang ada di sana. Rasanya lelah sekali karena seharian ini digempur oleh mata pelajaran olahraga, ekonomi dan matematika di jam terakhir.
![](https://img.wattpad.com/cover/224467574-288-k50907.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are From The Past
FantasiSemenjak menginjak umur ke-17 Arunika menjadi sering bermimpi tentang kejadian-kejadian lampau, tepatnya saat masa penjajahan. Ia mulai mengalami hal-hal aneh. Seperti fasih tentang sejarah kolonialisme Indonesia, tiba-tiba mendapat gambaran peristi...