"Kau memanggil mereka! Mengapa?"
Sehun meraih celana jinsnya dan mengenakannya. "Untuk menyerahkan diri." Ia menyampaikan kabar itu pada Luhan tanpa menunjukkan emosi sedikit pun di wajah maupun suaranya.
"Lebih baik kenakan pakaianmu, mereka akan menunggumu di sana."
"Sehun!" seru Luhan, mencekal lengan Sehun dan memaksanya menoleh kepadanya. "Apa yang terjadi? Mengapa kau melakukan semua ini? Kukira kau akan mengirimkan aktenya pada Gubenur."
Sehun mengibaskan tangan Luhan dan mulai melemparkan pakaian wanita itu ke arahnya satu demi satu. "Satu salinan sudah dikirimkan ke kantornya kemarin, setelah memberinya waktu beberapa jam untuk membacanya, aku menelponnya."
"Kau berbicara dengannya secara langsung?"
"Butuh waktu, tapi setelah aku membuat beberapa ancaman terselubung mengenai keselamatanmu, dia setuju untuk berbicara denganku."
"Nah, apa katanya?" tanya Luhan tidak sabar, ketika Sehun membelakanginya dan mulai mengenakan sisa pakaiannya yang lain.
"Katanya dia akan memberi perhatian penuh pada masalah itu, jika aku menyerahkan diri pada pihak yang berwenang serta melepaskan kau dan Ziyu. Aku setuju, tapi hanya jika dia menjamin bahwa hanya aku satu-satunya yang bertanggung jawab atas penculikan kalian. Dia memberikan jaminan itu."
"Sehun," kata Luhan cemas, mencengkeram pakaiannya ke depan dadanya. "Itu tidak adil."
"Tak ada yang adil dalam hidup ini. sekarang, berpakaian lah."
"Tapi..."
"Kenakan pakaianmu, kecuali kau ingin aku menyeretmu tanpa busana ke gerbang. Kurasa mantan suamimu takkan menyukainya." Sehun tidak bersikap keras dan tanpa kompromi seperti ini lagi sejak malam pertama di perkemahan sementara setelah peristiwa penculikan itu. Rahangnya kaku penuh tekad, matanya bersinar penuh kebencian.
"Apa peran Kris dalam penyerahan dirimu?"
"Entahlah, tapi dia pasti menunggu di sana dengan tangan terbuka untuk menyambut Ziyu dan dirimu."
"Kau ingin aku... Kami... Kembali padanya?"
Mata Sehun dingin dan tanpa perasaan saat ia berkata, "aku tidak peduli, kau hiburan yang menyenangkan selama kau disini. Enak dilihat. Enak dirasakan. Enak di..." Ia menganggukkan dagunya ke arah tempat tidur yang kusut. "Kalau memang benar kau tak pernah punya kekasih sebelum atau sesudah perceraianmu, bakatmu terbuang sia-sia."
Dada Luhan sesak oleh keinginan untuk menjeritkan kepedihannya, tapi ia menahannya. Sambil membelakangi Sehun, ia menggigit bibir bawahnya. Tangannya begitu gemetar hingga ia hampir tidak bisa mengenakan pakaiannya. Ketika akhirnya ia berpakaian lengkap, ia berbalik kepada Sehun. Pria itu sedang membukakan pintu untuknya, wajahnya beku.
Di ujung jalan setapak menuju pondok, Kai sudah menunggu bersama Ziyu. Mata anak itu masih bengkak karena mengantuk, juga tampak bingung. Ketika ia dan Sehun mendekat, Ziyu berlari ke arahnya.
"Mommy, Kai bilang aku harus pulang sekarang. Tidak perlu, kan? Tidak bisakah aku tinggal lebih lama?"
Luhan meraih tangannya dan memberinya senyum lemah. "Mommy khawatir kau tidak bisa tinggal, Ziyu. Sudah waktunya kita pergi."
"Tapi aku tidak belum mau pulang. Aku ingin tinggal dan bermain bersama Taeoh. Aku ingin melihat adik bayinya waktu dia lahir."
"Ziyu."
Sepatah kata dari Sehun menghentikan luncuran protesnya. "Tapi, Sehun aku..."
Satu tatapan Sehun yang tak berkedip membungkam anak itu. Dengan sedih Ziyu menunduk dan berdiri dengan patuh di sebelah Luhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Tawanan (HunHan Gs)
RomansHunHan gs Vers 18+ Setelah perceraiannya akhirnya beres, Wu Luhan mengira ia bisa hidup tenang. Tapi ia dan Ziyu, anaknya, diculik dari kereta api yang mereka tumpangi, dalam perjalanan liburan ke Barat. Oh Sehun, kepala suku Indian, menyandera Luh...