2. Kaivan's POV

3.8K 236 8
                                    

Aku memperhatikan Navina yang berjalan menjauhiku, aku terpaku, aku bermain begitu jauh menyebabkan perempuan yang selama ini di sisiku juga berjuang keras untukku pergi.

Aku menendang-nendang rumput, kesal. Awalnya aku percaya diri, biarpun Navina pergi, aku akan tetap berdiri kokoh tanpa rasa kehilangan.

Nyatanya aku malah terduduk lemas di atas rumput, juga khawatir pada Navina yang berjalan sendirian di tengah malam, amankah untuknya?

Aku bergegas menuju mobilku, segera menyalakannya mencari Navina.

Lima menit perjalanan aku belum menemukannya, Navina sudah pergi jauh ataukah sesuatu yang buruk terjadi padanya? Aku menghalau fikiran negatifku, tidak.. Navina pasti akan baik-baik saja, dia sudah berjanji padaku, aku mensugestikan fikiran-fikiran positif.

Di tengah rasa panik, aku melihatnya berjalan dengan kepala menunduk, seketika perasaan bersalah yang aku rasakan semakin besar. Sebagai suami aku telah lalai menjaganya.

Aku menangis, sekelebat masa lalu kami yang indah menari-nari dalam benakku, Navina yang selama ini percaya padaku di saat semua orang tidak percaya dan meremehkanku.

Dialah perempuan yang tiga kali hamil anakku, untuk membantuku merintis usaha, Ia harus rela kehilangan anak kami karena kelelahan.

Air mata menetes deras begitu jahatnya aku padanya.

Navina...

Aku menyebut namanya dengan suara lirih, hampir tidak terdengar.
___

Navina memberhentikan sebuah taksi, aku mengikutinya dari jarak yang tidak dekat tapi tidak juga jauh, taksi tersebut berjalan lumayan jauh, aku bertanya-tanya, apakah Navina membawa uang? Aku khawatir Ia tidak membawanya karena Navina pergi begitu saja.

Taksi berhenti di sebuah hotel, Navina turun dari taksi dan sepertinya Ia sudah membayar argo taksi tersebut.

Dari dalam mobil, aku memantau pergerakan Navina, sedikit lega karena Ia terlihat baik-baik saja walaupun tampak murung dan kesedihan nampak jelas di wajah cantiknya.

"Navina, kamu telah berjanji akan baik-baik saja, kan? Maafkan aku yang brengsek ini. Berbahagialah tanpa aku." Doaku untuknya dalam hati.

Aku tidak bisa pergi walau aku sudah melihat Navina sampai di hotel dengan selamat, perlahan aku berjalan menuju hotel tempat Navina berada, aku berkata pada resepsionis untuk memberiku kamar di sebelah Navina.

Resepsionis awalnya enggan memberi tahu karena hal tersebut merupakan privasi pengunjung, tapi ketika aku memberikan bukti foto pernikahan ku dengan Navina yang selalu berada di dompetku mereka memberitahukan nomor kamar Navina.

Aku berjalan melewati kamar Navina memasuki kamar ku sendiri yang tepar berada di sebelah kamarnya.

Pintu kamar aku tutup, langsung saja aku menyenderkan diriku pada pintu masuk, kakiku lemas, pundakku terasa berat, kepalaku pusing karena terus menangis mengingat Navina.

Suara deringan ponsel menyadarkanku dari lamunan, Sayuri menelponku.

Tidak seperti biasanya, aku malas mengangkat telponnya.

"Sayang, kamu sudah mengatakan akan bercerai dengan istrimu?" Sayuri berkata dengan suara lembutnya yang dulu ketika mendengarnya saja membuat aku langsung turn on kini membuatku enggan mendengarnya.

"Ya.." Jawabku lemas.

Sayuri terpekik bahagia, "Akhirnya kita akan bersama selamanya sayang, anak kita pasti akan jadi anak yang paling bahagia. Karena orang tuanya akan bersatu dalam ikatan yang sah." Ujarnya begitu senang.

Aku tidak ikut senang, karena aku menikahi janda yang membuat istriku sendiri jadi janda, mirisnya, Navina tidak pantas mendapatkan perlakuan ini, tapi memang aku yang brengsek tidak bisa mengontrol nafsu.

Aku tidak lagi mendengarkan apapun yang dikatakan Sayuri, aku malah mematikan ponselku, tidak ingin mendengar apapun dari Sayuri.

Aku menangis terisak, terbersit fikiran untuk meminta maaf dan memulai dari awal dengan Navina, tapi lagi-lagi aku merasa tidak pantas menerima itu karena kelakuan yang aku perbuat pada Navina.

Aku memukul-mukul diriku sendiri, membanting properti yang ada di kamar, menendang kasur, memecahkan kaca di kamar mandi, semua aku buat menjadi berantakkan.

#

Aku terbangun dengan perasaan tidak menentu, bertanya-tanya bagaimana keadaan Navina sekarang?

Apakah Ia sama sedihnya denganku?
Apakah Ia merindukan aku?
Apakah Ia memikirkan aku?
Apakah, apakah, apakah lain berkelibat dalam fikiranku.

Aku tidak menyangka jika keputusanku sendiri untuk berpisah dengan Navina malah menjadi boomerang bagiku, bukanlah kebahagiaan yang aku dapat malah hati yang hancur, padahal aku lah yang mengingkan perpisahan, harusnya saat Navina berkata aku memaafkanmu dan mari memulai dari awal, aku seharusnya tahu diri dan berterima kasih atas kebaikannya menerima semua kesalahanku.

#

Aku menyalakan ponsel, tidak ada satupun notifikasi dari Navina, aku mengharapkannya, tapi mana mungkin Navina akan mengirim pesan setelah kejadian semalam?

Sementara banyak pesan dari Sayuri yang salah satunya menanyakan keberadaanku, katanya dia khawatir.

Ponselku kembali berdenting, pesan dari Sayuri, dia mengimkan foto perutnya yang sudah mulai menunjukkan tonjolan, tidak lama ada satu pesan lagi, foto USG.

Aku menggigit bibirku, inilah hasil perbuatanku.

Sayuri lalu menelpon, aku mengangkatnya, "Anak kita rindu Papanya..."

Aku tidak menjawab.

"Awalnya memang berat, cara kita memulai juga salah, tapi yakinlah kita bisa menjalani kedepannya dengan baik, kita akan jadi orang tua yang hebat untuk anak kita. Kemarilah sayang." Sayuri dengan suara lembut mendayunya merayu aku menemuinya.

Aku menutup mulut, terisak tangis.

Dengan suara yang sengau aku menjawabnya, "Tunggulah aku kesana."

"Baik, hati-hati Papa, Mama dan adik menunggu." Balasnya, lalu aku mematikan telpon.

Aku menangis begitu pedih, teringat pada Navina.

Aku mengambil telpon ku menelponnya berharap Ia akan mengangkatnya, tapi tidak juga dijawab. Aku pun bingung jika Navina mengangkat telponku, apa yang harus aku katakan padanya? Teringat pula janji pada Sayuri dan anak kami untuk datang.

Tanganku bergetar, aku menghubungi pengacara yang sudah dari jauh hari telah aku persiapkan, "Halo Pak." Sapaku.

Pak James, pengacaraku membalas, "Halo Pak Ivan, apa kabar?"

Tidak baik jawabku dalam hati tapi aku mengatakan, "Saya kurang sehat, Pak."

"Oh pantas saja suara anda hari ini sengau, Pak." Jawab Pak James.

Aku diam, begitu kentara ternyata. Aku menghembuskan nafas, berat. "Pak, tolong persiapkan dokumen-dokumen, saya akan menggugat cerai istri saya, Navina Sarisha." Aku meneteskan air mata, keputusan ini begitu sulit untukku, jahat memang, sebenarnya aku juga ingin Navina tetap berada di sisiku.

"Baik, Pak." Jawab Pak James singkat, tak lama telpon kami terputus.

Dengan tangan tetap bergetar dan air mata yang terus menetes, aku mengirimkan pesan untuk Navina.

Kaivan Hara 15:50

Aku sudah mengajukan gugatan cerai.

#

Aku melamun dalam kamar, kakiku begitu sulit digerakkan padahal aku memiliki janji pada Sayuri dan anak kami, dalam benakku berkata, pelik sekali kehidupanku, harusnya aku tidak bermain-main tapi aku tidak bisa membohongi diri jika aku juga mencintai Sayuri, dia telah jadi bagian hidupku.

Navina maafkanlah aku, jerit hatiku.

#

13 Juli 2021 - 22:05



Still You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang