05: dia belum lahir

812 154 12
                                    

salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Do you still remember, Bas? Kenapa mimpi gue jadi pramugari?"

Aroma stroberi menguar dari rambut Jane, Sebastian selalu berpikir kalau alih-alih stroberi, wangi lemon sepertinya lebih cocok dengan gadis itu. Tapi kini di saat Jane bersandar di dadanya sambil mendengar degup jantung si pemuda, Sebastian mengurungkan pikirannya tentang wangi lemon pada rambut Jane Selena.

Apapun, mau stroberi atau lemon, vanilla atau blaze pink, semuanya akan cocok dengan Jane. It's not Jane suits strawbery but strawbery suits Jane.

Tapi daripada membahas stroberi dan kawan-kawannya mari coba pikirkan tentang degup jantung Sebastian yang berdetak lebih kencang saag Jane memanggilnya dengan Bas. Sebuah nama yang kerap digunakan untuk memanggilnya saat Sebastian masih anak-anak.

"Masih, keterlaluan banget kalau aku sampai lupa."

Si perempuan tersenyum sumir, sekon selanjutnya kembali bersuara, "Karena dulu lo bilang mau ambil teknik dirgantara, gue pikir cita-cita lo itu jadi pilot. Gue pede banget mau jadi pramugari karena kalau kebetulan kita ada di penerbangan yang sama, akan menyenangkan untuk melihat lo terbang di angkasa."

"Yah padahal aku nggak pernah mau jadi pilot."

Jane terkekeh. Dalam gerak lambat di mata Sebastian, laki-laki itu harap agar senyum si perempuan terekam selamanya di memorinya. Tidak akan dibasuh lupa apalagi hilang dalam kepala.

Geming menjamah keduanya tatkala tawa Jane mereda, cuma terdengar suara jam dinding yang mengarah ke pukul tiga juga detak jantung si pemuda yang bergema di telinga.

"Can you hear it? My heartbeat."

"Ya."

"Jane?"

"Hmm?"

"Kenapa setelah semua ini, kamu nggak benci aku?"

Tian bersuara lirih, sementara Jane geming dan bertarung dengan kepalanya, membiarkan hening merajai konversasi mereka selama berdetik-detik lamanya. Saat itu, sinar matahari menembus dari balik jendela kamar Jane, dan tidak butuh waktu lama, hanya hitungan detik untuk tumpah seluruhnya di kulit keduanya.

Jane beranjak dari posisinya, kini duduk sambil menatap lurus Sebastian. "Gue nggak bilang gue nggak benci lo. Setelah satu dekade lebih kita jadi teman, nggak pernah gue sangka mimpi gue hancur hanya karena satu malam. Sebastian, lo laki-laki pertama yang membimbing arah mimpi gue, membantunya untuk jadi nyata. Tapi lo juga laki-laki pertama yang menghancurkannya. 10 tahun lebih memang berharga, tapi satu malam yang kita lewati bisa jadi bom waktu yang akan meledak kapan saja. Tian, untuk sekarang nikmati aja. Nikmati ketika gue belum membenci lo, masa depan nggak ada yang tahu, sedangkan perasaan manusia itu terus berubah. Untuk sekarang, baik-baik aja. Lo nggak perlu khawatir meskipun kedepannya, bisa jadi gue akan membenci lo. Yang terjadi besok pikirkanlah besok, kalaupun nggak berjalan baik-baik saja ya nggak papa, kita hidup untuk hari ini, jadi setiap momen yang kita lewati itu berharga, jangan sampai jadi sia-sia."

Jane memberi senyum saat Sebastian menatapnya dalam, sore itu kata-katanya terdengar seperti sebuah lagu lama yang dinyanyikan kembali.

Andai waktu itu Sebastian sadar kalau kata-kata Jane bukan sekedar kalimat penenang. Andai waktu itu ia lebih peka, maka yang ada masih bisa seterusnya dijaga.

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

"Papa baru pulang dari luar negeri, kamu jangan bercanda."

Selain tidak punya hubungan yang cukup baik dengan guru matematikanya dari SD sampai SMA, Jane juga tidak punya relasi yang baik dengan mama dan papa.

Malam ini, sidang dadakan terjadi di ruang tamu keluarganya, Jane tahu, pasti papa sudah dengar dari mama perihal berita buruknya. Dan Jane juga sudah tahu kalau laki-laki itu terus-terusan untuk menolak percaya. Tipikal papa, hanya akan percaya kalau sudah lihat dengan mata kepalanya.

Atmosfer di ruangan itu mencekik Jane, juga Sebastian yang serasa kehilangan napas karena tatapan tajam yang dilayangkan papa Jane.

"Hasil tesnya masih ada di kamarku kalau papa nggak percaya."

Pria itu menghela napasnya, di antara orang dewasa yang ada di sana, yang paling dibuat pusing justru papa. Laki-laki yang rambutnya hampir memutih itu menatap nanar anaknya, sesekon kemudian memberi perintah. "Gugurin."

Sebastian yang sedari tadi geming membelalakkan matanya, tidak percaya kalau kata itu akan keluar dari mulut si pria tua.

"Om jangan gila?!"

Jane geming, meremat roknya dengan tangannya yang basah karena keringat. Dalam beberapa detik kemudian, Jane tahu papa bisa saja membunuh Sebastian.

"Kamu yang gila! Kamu pikir kamu siapa sampai berani-beraninya hamilin anak saya?! Tian, papamu itu kalau nggak kenal Om, dia nggak akan jadi apa-apa sekarang!"

"Om tahu nggak resiko aborsi itu apa? Jane bisa kena kanker Om, infeksi, pendarahan juga beresiko kematian! Saya baru tahu kalau ada seorang ayah yang tega menyuruh anaknya membunuh orang lain."


S

ebastian meninggikan suaranya, lebih keras dari sebelumnya. Papanya tidak bersuara apa-apa selain menyesali perbuatan putra satu-satunya. Sementara mama mengelus lembut tangan laki-laki itu, menatapnya teduh dan memintanya untuk tenang juga tidak meninggikan suara.

"Kamu anak muda tahu apa? Tahu kamu gimana caranya mengurus anak dengan benar?! Kamu nggak mikir apa yang orang akan orang-orang sangka tentang anak saya! Dia punya cita-cita, gimana kalau orang lain tahu kalau yang dikandungnya anak haram?! Anak itu cuma akan jadi beban kalau terus dipertahankan!!"

Seperti setumpuk kayu bakar yang disiram bensin dan disulut korek api, kemarahan Tian memuncak. Urat di lehernya terlihat jelas, wajahnya memerah dan jarinya tidak segan menunjuk ke arah laki-laki tua itu. Dari suaranya, Jane tahu emosinya sangat membara.

"OM, CUKUP! JANGAN BICARA SOAL MENGURUS ANAK KALAU OM SAJA TIDAK PERNAH PEDULI DENGAN ANAK OM SENDIRI! DAN KALAU BUAT OM OMONGAN ORANG LAIN LEBIH PENTING DARI NYAWA JANE, SAYA YAKIN KALAU OM BUKAN ORANG TUA YANG BAIK!"

Jane baru pertama kali melihat Sebastian semarah ini, semarah ini sampai-sampai ibunya menenangkannya sambil menangis. Apa buat laki-laki itu, anak ini memang sangat berharga?

Tapi tidak disangka-sangka tindakan Sebastian malah membuat papa hampir menamparnya. Tapi sebelum tangan laki-laki itu mendarat di pipi Sebastian, Jane mengambil seluruh atensinya.

"Papa, cukup!"

Dengan suara parau dan air mata yang ia tahan di ujung netranya, Jane kembali bicara.

"Papa cukup, jangan pukul Tian... jangan. Dia bahkan belum lahir, Pa... jangan dicaci, jangan begini, Pa."

Malam itu, tangis Jane kembali pecah, bukan cuma karena teriakkan yang saling bersahut-sahutan, tapi juga karena malam itu, papa berhasil membuat hatinya hancur berantakkan.

❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭

emak bapak anak dalam satu frame sjshshsgsh

cr: twitter

Finding Mommy - Hunsoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang