salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡
❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭
Langit sudah sepenuhnya temaram, seperti sebuah kanvas hitam yang kelamnya membentang. Konstelasi bintang bertabur memenuhi ruang, Nabastala malam itu serupa ruangan gelap yang dipenuhi lampu-lampu cantik, ia gemerlap. Terang tapi juga temaram, cantik tapi juga memiliki rute yang pelik.
Langit selalu cantik, bahkan ketika Sebastian dihadapkan pada persoalan pelik. Langit selalu cantik, sama halnya dengan wanita itu.
Katanya, semesta selalu punya cara gila untuk bercanda. Sejauh ini, cara paling gila semesta untuk mengajaknya bercanda adalah kehilangan dan menemukan. Dia sama sekali tidak pernah merancang kehilangan, pun menemukan sebenarnya juga bukan hal yang akan ia lakukan jika saja Chandra tidak menawarkan bantuan.
Dia hanya ingin semua baik-baik saja. Sebastian tidak suka pada hal-hal rumit yang menguras tenaga dan waktunya, jika sejak awal dia dipertemukan dengan Jane cuma untuk dijadikan lelucon oleh semesta, bukannya lebih baik dari awal mereka tidak pernah bertemu saja?
"Terus sekarang apa?"
Tapi Sebastian lupa, selalu ada alasan dari sebuah kejadian. Barangkali takdir mereka memang selalu bersangkutan, mungkin saja suatu hari nanti hal-hal buruk yang dilaluinya bertahun-tahun lalu tidak akan bertahan hingga esok hari.
Laki-laki itu mengendikkan bahunya, membuka kaleng sodanya yang kedua, jujur saja dia tidak tahu harus bersikap apa berjam-jam yang lalu. Bahkan kalau dia bisa, dia ingin sekali melupakan fakta kalau mereka masih belum bercerai.
Ah, cerai ya. Sebastian bahkan nggak tahu apa yang dia inginkan saat ini. Kalau saja sedari awal semuanya baik-baik saja pikirannya tidak akan mengular sampai ke mana-mana.
Laki-laki itu merebahkan tubuhnya pada kursi, sejenak melupakan sodanya. Dipikir-pikir langit di sini lebih cantik daripada di Indonesia.
"What do you want, Jane?"
"Apa?"
Sebastian menatapnya nelangsa, dia ingin sekali meneriakkan kata-kata yang ada di kepalanya. Kata-kata acak yang tidak bisa ia rangkai sedemikian rupa. Sama seperti perasaannya.
"You know, i'm not the type of guy who will always fulfill all your wishes."
"No, Tian—"
"Do you still remember, when the sky was full of stars. We used to be two best friends, laying together and doing nothing. But now, i ruined everything."
Ada sepasang kilat disertai lapisan tirta bening yang bernaung di obsidian laki-laki itu, sebuah pandangan penyesalan.
"Kalau aja malam itu, kita nggak mabuk. Kalau aja malam itu, jita nggak melewati batas. Kalau aja kita nggak pernah jadi liar. Atau harusnya dari awal, kita nggak pernah ketemu. Kamu masih akan punya mimpi, kamu masih bisa mengejar apa yang pengen kamu kejar. You will live happily. If only you didn't meet a jerk like me."
Jane menghela napasnya, menatap nanar pada laki-laki yang membiarkan temboknya hancur saat kalimat itu diutarakan. Air matanya meluncur bak tetes-tetes air hujan. Tapi sama sekali, dia tidak mencoba menyembunyikan.
"Jadi kamu menyesal?"
Tian bergeming, membiarkan semilir angin membelai setiap jengkal tubuhnya. "Aku pernah baca kalimat ini di drama Korea favoritku, katanya no matter how hard life gets, never regret anything that made you smile."
Perempuan itu tersenyum, membentuk segaris kurva manis yang sama tulusnya dengan dulu. "Tian, apa ketemu aku itu termasuk sebuah penyesalan?"
"No."
"Sama seperti kamu kalau begitu, aku nggak akan memilih menyesal. Baru-baru ini aku sadar, daripada kesedihan, kamu lebih banyak buat aku senang. Satu-satunya penyesalan yang aku punya adalah meninggalkan Yasa, nggak lihat gimana tumbuh kembangnya saat masih balita. Nggak ada waktu dia sakit dan masuk TK, nggak lihat gimana dia begitu bahagia waktu main sama teman-temannya."
"Kalau ayahnya menganggap dirinya sendiri brengsek, lalu putranya nganggap dia apa. Kalaupun kamu laki-laki brengsek, kamu laki-laki brengsek paling manis yang pernah aku temui."
Jane tidak akan menyangka, bagaimana kalimatnya bisa membuat Sebastian menangis semakin kencang dan menariknya dalam sebuah pelukan. Semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba, hingga kini Sebastian mewarnai bajunya dengan titik-titik air mata. Jane diam, membiarkan tangannya mengusap punggung laki-laki itu tangisnya mereda. "It's okay, nangis aja. Tapi jangan menyesal."
Jangan menyesal, terhadap segala sesuatu yang membuat kamu senang.
Detik berganti menit, laki-laki itu kembali mendapat perasaannya membaik. Langit semakin kelam, tapi cahaya yang beradu dengan gemintang dari atas balkon lantai dua membuat Sebastian tidak ingin tertidur dan memejamkan mata. Biar saja dia terjaga, memastikan kalau keesokan paginya, Jane tidak akan pergi ke mana-mana. Biar saja dia terjaga semalaman suntuk, asalkan keesokan paginya, Jans tidak raib ditelan semesta.
"Kalau kamu kangen Yasa, kenapa kamu nggak pulang?"
Perempuan itu menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata gulita. Nyaris tidak ada. "Kamu tahu gimana problematiknya aku di hadapan mama. Kamu tahu gimana mamaku lebih sering menjatuhkan anaknya dari pada membanggakannya. Kamu tahu gimana aku tersiksa dan kehilangan udara setiap ada di dekat mama."
"Seenggaknya kalau mau kabur, ajak aku juga. Kamu juga nggak tahu kan gimana temen-temenku nekat ngenalin aku sama janda sampe perawan."
Sekon selanjutnya Jane tergelak begitu saja, alih-alih marah dia malah menepuk keras lengan laki-laki itu. Di kepalanya terdapat skenario-skenario konyol bagaimana Chandra dan Bintang terus mengajak Sebastian untuk diajak berkenalan dengan wanita satu hingga yang lainnya.
"Gimana kabar mereka?"
"Baik. Kamu nggak tanya kabarku?"
Jane tersenyum. "Gimana kabarmu?"
"Bad, i miss you every night."
Pada detik selanjutnya, Sebastian biarkan geming merajalela percakapan mereka. Barangkali setelah mulutnya selesai mengutarakan kata-kata, Jane tengah berkutat dengan kepalanya. Menebak maksud kalimat yang dilontarkan Sebastian.
Dia terus menyelam, menyelam jauh ke dalam netra gelap milik Sebastian Haidar. Menyelam jauh ke sepasang obsidian yang sudah lama tidak ia jumpa bertahun-tahun lamanya.
Tapi bahkan saat Jane sampai ke sana, dia masih tidak menemukan apa-apa kecuali kejujuran. Dia sampai di dasar laut obsidian kelam milik Sebastian, hanya ada kejujuran yang tulus di sana.
"Tian?"
"Ya."
"Do you love me?"
Yang diberi pertanyaan geming, bukan karena dia tidak punya jawaban atas kalimat tanya yang dilayangkan. Bukan juga karena dia bingung terhadap perasaannya atas perempuan itu. Melainkan karena pada satu detik sebelum Jane bertanya, Sebastian sudah lebih dulu menjawabnya.
Menjawab pertanyaan itu dengan penuh kejujuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mommy - Hunsoo ✔
RomanceMan is the only animal that refuses to be what he is - Albert Camus Malam itu jadi alasan kuat kenapa hidup Jane Selena berputar 180 derajat. Lewat cahaya lampu yang bersinar terang, atau pada alkohol yang memabukan, sebuah kisah klise telah diranca...