salah satu cara mengapresiasi bacaan gratis ini dengan menekan bintang di pojok kiri bawah karena aku menulis ini dengan sepenuh hati seperti malika yang dirawat seperti anak sendiri ♡
❬ ⸙: ✰❛ finding mommy; ❀❜ ❭
Dua cangkir teh dihidangkan di atas meja, asapnya masih mengepul di udara saat Tama meletakkannya, menyajikannya ke seorang wanita dengan raut wajah kosong dan sorot mata hampa. Laki-laki itu menatapnya kasihan, sesekon kemudian duduk di depannya sambil menghela napasnya.
Detik demi detik terlewati, tapi perempuan itu tak kunjung membuka mulutnya untuk sekedar bicara atau menyesap tehnya. Tama tebak, dia pasti menyesali keputusannya. "Diminum tehnya," ucap Tama pada akhirnya, tapi Jane terus-terusan geming dan tak berkutik sama sekali.
Yah, tidak peduli juga. Pada akhirnya Tama tahu, Jane akan bercerita. Sebenarnya dia kaget sekali, sangat kaget. Siapa juga yang tidak akan terkejut kalau pukul 10 malam begini, seseorang yang sudah lama tidak ditemui muncul di depan pintu rumah secara tiba-tiba tanpa diduga.
"Tam," panggilnya memulai bicara. Bisa Tama dengan keputusasaan dari suaranya, sesaat setelah itu Jane biarkan netra coklatnya menatap hampa obsidian milik Tama. "Gue salah nggak sih?"
Tama tidak tahu salah apa yang dimaksud Jane, tapi begitu Tama dengar suara putus asa yang begitu kental di kalimatnya, Tama sadar Jane sedang lari dari hidupnya.
"Salah apa?"
Laki-laki itu menyuarakan tanyanya. Satu hal yang membuat Jane menolehkan kepalanya supaya Tama tidak menyadari air mata yang keluar dari netranya. Tapi laki-laki itu sadar akan hal itu. "Tam... gue hamil."
Jane menjeda kalimatnya, perempuan itu menggigit bibir bawahnya sebelum lanjut bicara. "Anaknya Tian, temen gue."
"I know, mama lo yang cerita."
Kali ini, Jane menangis tanpa suara. Menundukkan kepalanya dan meremat ujung bajunya. Tama sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana, laki-laki itu baru akan menyodorkan tisu tatkala kepalanya terpikir satu hal. "Fuck Jane, you leave your child alone?!"
Jane geming, masih saja menangis. Sesekon kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tama menghela napasnya, tidak habis pikir dengan kelakuan wanita di depannya. Laki-laki itu memejamkan matanya, entah kenapa pening tiba-tiba menyerang kepalanya.
"Lo gila. Dia masih kecil, Jane jangan bercanda???"
Tapi dari tangis si puan yang tak kunjung mereda atau teh hangat yang sama sekali belum disentuhnya, Tama sadar, Jane sama sekali tidak bercanda.
"Jane, stop crying. Look at me. Look at my eyes."
"Sekarang gue tanya, lo beneran kabur dari rumah? Lo ke sini untuk apa? Cuma mau ninggalin anak lo? Nelantarin dia, iya? Mau saat dia lebih besar nanti dia cuma bisa tanya ke ayahnya di mana ibunya? Jangan kabur, jangan jadi pengecut."
Jane menggeleng, entah pikirannya kacau sekali sekarang. Ditambah Tama yang mencecarnya dengan berbagai pertanyaan sangat membuat kepalanya pusing tidak karuan.
"Stop blame me, Tam. I know i was wrong but, kita semua pengecut. Lo juga kabur kan? Kabur dengan cara kuliah di luar negeri, karena mama papa lo cuma bisa bikin anaknya stress. Gue juga kabur, kabur karena gue nggak mau dipenjara mama dan papa. Kabur karena di dekat mereka, rasanya gue kehabisan udara."
"Tapi nggak gini juga, Jane..."
"Apa yang salah? Kita semua pengecut."
Waktu merambat semakin cepat, di antara geming yang merajai konversasi mereka, Tama berusaha untuk bisa mengerti. Atau setidaknya mengetahui apa yang ada di dalam isi kepala Jane Selena.
"Terus gimana, lo mau membiarkan dia tumbuh tanpa ibunya?"
"Iya, mimpi gue jauh lebih berharga."
Tama mendengus kesal, menatap Jane dengan tidak percaya. Ada ya wanita senekat ini sebelumnya? Yang Tama maksud bagaimana nanti jika anak Jane sudah lebih besar, dia cuma bisa menatap punggung ayahnya tanpa tahu seperti apa figur seprang ibu. Seorang ibu yang melahirkannya, yang memberinya nyawa dan kesempatan untuk melihat dunia.
"Lo harus balik ke Indonesia."
"Nggak."
"Jane," Tama memanggil namanya lembut, berusaha untuk membujuknya agar tidak bertindak gegabah. "Lo harus pulang, lo nggak bisa di sini. Gimanapun juga meskipun lo nggak suka, tapi anak lo butuh ibunya. Jangan egois."
"Gue udah terlalu banyak menuruti mama, Tam. Gue masuk IPA di saat gue sebenarnya pengen masuk IPS. Gue ikut banyak les sampai nggak diperbolehin ikut ekskul. Buat mama gue adalah bonekanya yang harus jadi sempurna, sampai akhirnya gue nggak bisa memenuhi ekspektasinya. Tam, mama sudah banyak egois pada anaknya. Dan gue juga mau egois. Egois pada hidup gue, egois supaya gue bisa lebih bahagia. Egois karena saat lihat Sebastian atau Yasa, gue juga ingat gimana mimpi gue hancur begitu saja."
"Lo yang memilihnya, untuk menghancurkan mimpi lo sendiri. Anak lo nggak salah apa-apa, pulang. Kalau mama lo egois ke lo, lo yang harusnya egois ke dia. Jangan ke anak lo yang nggak tahu apa-apa."
Jane menghela napasnya, kini menyenderkan tubuh sepenuhnya pada punggung kursi. Netranya menatap lara pada plafon ruang makan Tama. Ah seharusnya Jane tahu, bicara pada laki-laki yang dulunya selalu menyabet medali pada ajang debat itu sia-sia. Sama saja menjatuhkan dirinya ke lubang neraka kalau begini.
"Lo tahu sendiri, Tam, gue orangnya kayak apa. Gue keras kepala, apalagi sama cita-cita gue. Lo nggak paham gimana sesaknya saat lihat orang-orang di sekitar gue. Jadi tolong ya, biarin gue jadi rahasia lo aja."
"Jane---"
"Gue orangnya keras kepala. Jangan dikasih tahu, percuma."
"Oke. Terserah lo kalau begitu, live your life and have no regrets. Tapi gue mau tanya satu hal."
"Apa?"
"Kalau pada akhirnya begini, kenapa dari awal nggak lo gugurin aja, santai gue orangnya pro-choice. Maksud gue ada undang-undang gitu loh yang bolehin gugurin bayi hasil you know pemerkosaan."
Jane geming sebentar sebelum akhirnya menjawab. "Sebastian nggak mau, yah nggak tahu, mungkin Yasa adalah caranya mengikat gue supaya nggak pergi. And i don't know, malam itu semuanya abu-abu, gue mabuk, Sebastian juga. Mungkin dia memanfaatkan timing kali, ya."
Tama terkekeh, membentuk senyuman miring. "Jane, you love him?"
"What?"
"That guy, you love him, right? Kalau nggak lo akan membunuhnya saat tahu dia bikin mimpi lo yang katanya berharga itu jadi sia-sia. Lo bisa menganggapnya sebagai kasus pemerkosaan kalau lo mau, tapi nggak. Karena malam itu, lo menikmatinya kan?"
Dalam satu kedipan mata, bisa Jane lihat Tama yang menyerupai sesosok iblis di depannya. Sialan! Dasar sinting!
Tama terkekeh, menyesap tehnya dengan senyuman mkring yang masih bertengger di bibirnya, karena cepat atau lambat Tama tahu, Jane akan kembali. Mari lihat, seberapa kuat si keras kepala itu akan bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mommy - Hunsoo ✔
RomanceMan is the only animal that refuses to be what he is - Albert Camus Malam itu jadi alasan kuat kenapa hidup Jane Selena berputar 180 derajat. Lewat cahaya lampu yang bersinar terang, atau pada alkohol yang memabukan, sebuah kisah klise telah diranca...