Malam yang Dingin

8 6 0
                                    

"Bumi itu bulat
Langit itu luas
Rindu itu berat
Apalagi kalo tak terbalas"
Risya membubuhi emoji ngakak pada pantun itu.

Pantun itu sejenak membuat Pandu membeku.
Apa maksudnya tak terbalas? Apa dia tidak merindukan aku? Bodohnya aku berharap lebih. Bukankah selama ini kita cuma sebatas 'teman', atau malah dia hanya menganggapku sebagai teman virtual yang belum pernah ditemuinya.
Fikir Pandu dengan kacau. Dia sadar kalau Risya bukanlah 'pacar'nya.

Mungkin gadis itu sedang mencoba bercanda. Pandu pun membalasnya dengan candaan.
"Yang bulat tuh pipi kamu. Wkwkwk..." Emoji ngakak ia bubuhi lumayan banyak.
Teringat pipi Risya yang selalu membuatnya gemas ingin mencubit. Tapi ngga bisa karena biasanya mereka cuma video call saja.

"Biarin bulat, yang penting enak dicubit Daripada pipimu, tirus. Wleee..."  Balas gadis itu sambil mengirim emoji menjulurkan lidah. Pandu merasa seolah-olah Risya bisa membaca pikirannya. Membuat pemuda itu tersenyum sumringah.

"Ya deh, ntar malem aku makan banyak biar cepet temben." Balasnya dengan emoji kesal. Pura-pura sebal dengan ledekan Risya.
"Eh, jangan tembem-tembem nanti aku kalah" balas Risya yang membuat Pandu semakin gemas.

"Kalo aja kamu disini, udah aku cubit pipimu Ris." Ia baca ulang pesan itu namun ragu untuk mengirimnya. Ia hapus pesan itu dan sinyal di ponselnya malah ikut menghilang di tengah asyiknya percakapan Pandu dan Risya.

Pandu membalas pesan Risya dengan stiker mencubit pipi, namun pending karna sinyal. Ia pun memasukkan ponselnya ke dalam tas bagian depan. Supaya ia mudah mengambilnya nanti.

Sejenak ia menatap sinar mentari yang perlahan mulai terbenam. Semburat jingga di langit yang bersih dari awan membuat pemandangan itu nampak begitu manawan. Sedikit-demi sedikit bulatan matahari itu bersembunyi di balik bebukitan, seolah merasa malu karena Pandu terus menatapnya.

Hingga bulatan matahari itu sempurna menghilang, Pandu tak kunjung mengalihkan pandangannya. Ia seolah terhipnotis oleh keindahan alam yang kini menyisakan sedikit cahayanya. Perlahan awan hitam beriringan menutupi cahaya senja itu, dan turut menghitamkan langit di sekitarnya.

Sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib seiring menyalanya lampu-lampu di jalanan. Cahaya lampu itu memang tak sebanding dengan cahaya mentari tadi, namun kehadirannya dapat mengurangi sedikit kegelapan yang ditimbulkan oleh awan yang kian lama kian menghitam.

Entah mengapa malam ini terasa begitu dingin. Tak ada bulan maupun bintang yang menghiasi langit. Hanya terdapat gumpalan-gumpalan awan pekat di langit yang mungkin memberi kode bahwa akan turun hujan lebat. Pohon-pohon di pinggir jalan meliuk-liuk bergoyang di tiup angin yang kencang.

Dengan segera Pandu mengenakan jaket yang sengaja ia letakkan di senderan kursi duduknya. Ia rapatkan resliting jaketnya, dan duduk sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

Namun, Jaket tebal tersebut tak mampu menahan tubuhnya agar tidak menggigil. Sekilas ia melirik bapak-bapak yang duduk di sebelahnya mulai menggigil kedinginan.

Di samping kaki bapak itu tersembul sebuah selimut lumayan tebal yang muncul dari tasnya yang terlalu penuh. Pandu sedikit heran. Bagaimana tidak?, gambar yang menghiasi selimut itu adalah gambar bus kecil berwarna biru yang selalu muncul di tayangan televisi kesukaan adeknya yang masih kecil. Kartun bus yang populer dengan nama Tayo.

Sedikit menahan tawa, Pandu mengambil selimut itu dan menyelimuti bapak disampingnya yang kian menggigil. Ia pun kembali duduk dan menyelimuti kakinya dengan sarung. Tidak lama kemudian, hujan turun dengan begitu deras. Cahaya kilat nampak begitu jelas, membawa terang sejenak dan meninggalkan bunyi gemuruh di kegelapan malam.

Dengan susah payah, Pandu berusaha menutup tirai jendela bus. Tirai tersebut tertindih kepala bapak disampingnya. Dengan gerakan perlahan Pandu mengangkat kepala bapak itu, dan menutup jendela bus. Pemandangan di luar bus benar-benar mengerikan.

Sejenak ia mengecek ponselnya. Namun badai di luar bus membuat sinyal lenyap. Pandu membaca percakapannya dengan Risya sambil sesekali tersenyum. Lalu ia mematikan ponselnya dan memasukkan benda kotak itu ke dalam tasnya.

Hujan deras di luar memang membuatnya menggigil kedinginan. Namun, bukan hanya tubuhnya yang dingin, hatinya juga terasa membeku. Apakah dia tidak merindukan aku? Tanyanya dalam hati.

Terkadang kita memang sering bermimpi setinggi langit. Jikalau jatuh, kita berharap masih berada di antara bintang-bintang. Namun, awan hitam dapat menutupi bintang dan membuat kita merasakan dingin yang ditimbulkan oleh awan yang kelak akan menurunkan hujan.

Dengan sedikit menurunkan sandaran kursi bus, Pandu mencoba untuk terlelap. Berharap mimpinya malam ini bisa lebih indah dari apa yang ia alami hari ini. Meski ia tau bahwa mimpi hanya sebatas ekspektasi.

Hujan lebat tidak hanya menimpa Pandu, di Magelang, Risya juga mengalami hal yang sama. Di balik selimutnya yang tebal, gadis itu masih merasa kedinginan. Hanya kakinya yang terasa hangat. Karena, selain memakai kaos kaki, Nero kucingnya juga meringkuk tidur disana.

Ia sedikit membuka selimut yang menutupi wajahnya dan menatap air hujan yang membentuk goresan di jendela bagian atas yang tidak tertutup tirai. Namun, kilat yang berkali-kali menampakkan diri, membuat gadis itu menutupi mukanya lagi. Ia nyalakan lampu di kamarnya dan meraih ponselnya. Ingin rasanya ia bercerita dengan Pandu. Namun badai di luar membuat sinyal lenyap.

Risya membaca ulang pesan dari Pandu. Dengan cepat ia scroll up percakapan mereka dan membacanya secara perlahan. Sesekali ia tersenyum mengingat kata-kata puitis dari Pandu.

Ia teringat bagaimana dia dulu membenci pemuda yang sok kenal itu. Ia merasa kesal dengan tingkah sok akrab orang yang baru beberapa minggu menjalin komunikasi via online dengannya.  Namun candaan dan gurauan dari Pandu bisa sedikit menjadi penghibur. Dan lama-lama ia dan Pandu mulai berteman.

Apalagi semenjak Putri dekat dengan Febri, seolah waktu Putri untuk Risya berkurang. Risya merasa kehilangan tempat ia berbagi cerita. Mungkin semesta memang mengirimkan Pandu untuk tempat gadis itu berkeluh kesah. Hingga lama-lama Risya memandang Pandu sebagai sosok yang lebih dari sekedar teman. Mungkin sahabat yang selalu ada untuknya.

Pernah suatu waktu ketika Risya sedang video call dengan Pandu di depan teras rumah, ibunya yang sedang berada di samping rumah, mendekati dan turut serta dalam percakapan mereka. Risya merasa seolah ibunya telah merestui mereka. Padahal, bu Shinta memang selalu akrab dengan semua teman Risya. Namun entah mengapa gadis itu merasa keakraban Pandu dan ibunya lebih dari keakraban yang ibunya tunjukkan ke teman-temannya yang lain.

Risya tak tahu harus bersikap bagaimana pada Pandu. Ia sadar Pandu hanyalah teman yang selalu ada untuknya. Tak pernah ia tunjukkan bahwa ia punya rasa yang berbeda. Karena ia tau Pandu hanya menganggapnya sebagai teman. Sahabat dari teman masa SMP nya.

Namun, entah mengapa perasaannya malah membuncah. Apalagi dengan kalimat-kalimat puitis yang Pandu lontarkan padanya. Padahal Pandu memang sering membuat kalimat puitis. Tidak hanya untuknya, namun juga ia tulis dalam status-status di sosmednya.

Ketika percakapan yang Risya baca telah sampai di bagian akhir, alias pesan dari Pandu hari ini, Risya merasa sedikit lemas. Pesan terakhir hanya dibaca. Tak ada balasan dari Pandu. Semula gadis itu berfikir sinyal Pandu hilang. Namun kenapa sekarang ia merasa ragu.

"Eh, jangan tembem-tembem nanti aku kalah" pesan terakhir darinya masih berstatus centang dua warna biru. Tak ada balasan dari Pandu. Sinyal di rumah sedang trouble sehingga Risya tak bisa melihat kapan terakhir Pandu online.

Risya pun memutuskan untuk mencoba memejamkan mata. Terlalu lama menatap layar ponselnya membuat matanya merasa lelah. Mungkin memang sebaiknya gadis itu tidur saja. Melanjutkan angannya dalam mimpinya.

Malam masih setia pada gelapnya,
Meski manusia memejamkan mata dan memilih memeluk mimpi mereka.


Bersambung ke episode berikutnya...
Semangat membaca 🤗

Kekasih VirtualkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang