Gulf and Friends

243 34 2
                                    

Gulf terkantuk-kantuk, tapi tiap kali kesadarannya terenggut rasa kantuk, tiap kali itu juga matanya terjaga secara mendadak. Dia sedang sendirian sekarang. Kesepian di ruang rawat yang luas dan mewah di rumah sakit.

Meski Gulf sudah lama berdamai dengan kesendirian, dia tidak benar-benar sanggup mengatasi kesepiannya. Selama ini dia bersikeras untuk tinggal sendirian Thailand, tapi nyatanya dia tidak begitu mampu. Bukan karena tidak sanggup beradaptasi dengan kerasnya dunia kerja, tapi tidak sanggup jauh dari orang-orang yang dicintainya. Jauh dari keluarga, jauh dari teman, dan sekarang jauh dari pembantu, sopir, dan penjaga rumahnya. Dia sendirian.

Ngomong-ngomong soal sendirian, detektif yang katanya akan ada di sekitarnya sampai tengah malam, malah menghilang sebelum tengah malam. Mengingat lelaki itu, membuat rasa jengkel Gulf tumbuh makin dalam. Ingin mencakar wajahnya sampai berdarah-darah. Ingin menempeleng kepalanya sampai gegar otak. Pokoknya ingin menganiaya Mew sampai lelaki itu bersujud minta ampun padanya. Baru setelah itu memasukkannya dalam karung, lalu melemparkannya ke laut lepas.

Gulf menghela napas berat. Kenapa dia memikirkan Mew? Membuat pikirannya jadi tambah rumit saja.

Dia ingin tidur, tapi tiba-tiba kepikiran tentang tabrak lari yang dialaminya. Masak iya, Mild yang melakukannya? Kelihatannya pemikiran seperti itu tidaklah benar. Sedendam-dendamnya Mild pada orang lain, untuk melakukan tindak kejahatan tidaklah mungkin. Mild bukan tipe orang yang seperti itu. Mestinya ada orang lain yang lebih kejam lagi dari dia. Tapi siapa? Itulah yang tidak diketahui Gulf.

Ketika dia sedang memikirkan siapa orang di balik tabrak lari itu, pintu ruang rawatnya didorong pelan. Dalam ruangan agak sedikit gelap. Lampu utama dimatikan, menyisakan lampu kecil untuk berjaga-jaga kalau pasien bangun dan ingin meninggalkan ranjang tanpa kesulitan.

Gulf sudah menduga yang tidak-tidak. Jika memang benar ada orang yang ingin membunuhnya, tentunya orang itu tidak akan berhenti sebelum dia mati.

Mungkinkah pembunuh itu datang ke sini sekarang?

Gulf langsung punya keinginan mengutuk Mew. Detektif itu meninggalkannya sendirian di saat dirinya butuh dilindungi.

Saat Gulf tidak bisa menggerakkan badannya, terutama kakinya, hal yang dia lakukan untuk melindungi diri adalah meraih botol air dari meja sebelah ranjangnya. Menyembunyikannya dalam selimut, sementara itu dia pura-pura tidur.

Pintu didorong makin lebar, pelan-pelan dua orang masuk ke dalam ruangan. Satu berbisik, satu lainnya menimpali dengan bisikan juga. Satu mendebat dengan keras, dan satu lainnya mendesah dengan lemah. Bukan mencerminkan kelakuan penjahat sama sekali.

“Lihat, Gulf tidur dengan baik sekarang ini!” kata seorang dari mereka yang tadinya mendesah lemah. Dari suara yang bernada familiar, sudah dipastikan bahwa Gulf mengenalnya. “Kalau kau berkeinginan menjagainya di sini, kenapa harus menyeretku juga? Aku punya pekerjaan penting pagi-pagi besok. Dengan kau seret ke sini, aku tidak jamin bisa menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu!” eluhnya keras.

“Pekerjaan apa?” bantah suara lainnya. Suara lelaki juga. “Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan di kantor, kan?” Dia mendengus dengan keji. “Diam-diam kau punya pekerjaan sambilan. Pasti berkaitan dengan wanita yang berusaha kau dapatkan itu!”

“Diam kau!” pekik lelaki satunya.

“Ya ya ya!” Dia berkata dengan nada malas. “Kau selalu menang!” Lalu menambahkan, “Jangan bicara keras-keras, nanti Gulf bangun!”

“Aku mau langsung tidur!” Katanya sambil berjalan pelan juga ke sofa terdekat. Menempatkan pantatnya dengan tepat di sofa, kemudian menata bantal sofa di tepi tempat duduk panjang itu. “Sementara aku tidur, jangan coba macam-macam dengan Gulf!”

“Macam-macam apa? Aku tidak seperti yang kau pikirkan!”

Sementara dua tamu tidak diundang itu melakukan interaksi yang tidak membahayakan, dengan suara-suara yang jelas dikenalnya dengan baik, Gulf tentu tahu siapa keduanya. Tae dan Win. Gulf lega sekaligus bersyukur. Dalam keadaan sendirian, kedua temannya itu mau datang untuk menemaninya. Tiba-tiba dadanya terasa hangat. Kesepian karena jauh dari keluarga tidak lagi terasa begitu menyesakkan.

Gulf berdehem untuk mengode teman-temannya bahwa dia mendengar percakapan mereka. Win memekik kaget. Tae buru-buru menghampiri sakelar lampu dan menyalakan lampu utama.

“Ada yang masih berusaha menarik hari karyawan perusahan sebelah ternyata!” celetuk Gulf setelah lampu utama dinyalakan Tae.

“Ah, kenapa kau tidak tidur saja!” eluh Win.

Dia cemberut. Menjadikan wajah tampannya jadi tidak tampan lagi, terutama setelah mukanya ditekuk-tekuk seperti surat kabar lama.

Win menjadi penggemar manager pemasaran perusahaan yang berfokus menjual minuman kemasan. Kantornya ada di gedung sebelah kantor mereka. Sejak pertama kali bertemu, Win menyatakan tertarik dengan wanita itu. Sudah melakukan banyak cara, entah kenapa wanita itu sama sekali tidak menangkap sinyal yang diberikan Win. Semua orang curiga wanita itu pura-pura tidak tahu kalau Win menyukainya. Meski begitu Win belum menyerah sampai saat ini. Ya, dia memang lelaki yang gigih, sekaligus agak-agak gila.

“Win ...,”

“Tutup mulutmu. Aku mengantuk!” Win membungkam Gulf dengan kata-kata,bukan karena dia benar-benar mengantuk. Dia tidak mau dinasehati soal wanita dari kantor sebelah. “Aku mau tidur. Jangan bangunkan aku kecuali ada gempa bumi berkekuatan lebih dari 7 skala richter yang berpotensi tsunami!” Dia merebahkan diri di sofa. Memejamkan matanya seketika itu juga.

Gulf dan Tae tahu Win tidak akan tidur secepat itu. Tetapi mereka tidak akan mengganggu Win sekarang ini.

Tae mematikan lampu utama lagi. Dia mendatangi ranjang Gulf, menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ranjang.

“Kenapa kau belum tidur?”

Gulf mengeluarkan botol minum dari dalam selimut. Meletakkannya kembali di meja.

“Untuk apa kau memasukkan botol air dalam selimut?”

Gulf meringis kecil. “Kukira kalian penyusup. Aku tidak bisa meraih apa pun kecuali botol air ini. Untuk berjaga-jaga saja,” katanya sambil nyengir lebar.

“Kalau ada penyusup, kau pukul dengan botol air sekecil itu pun tidak akan mempan.” Tae menopang dagunya dengan kedua tangannya, sementara pandangannya diarahkan pada Gulf yang masih rebahan di ranjangnya. “Jadi, kenapa kau belum tidur lewat tengah malam begini?”

Gulf mengantuk tadi, entah kenapa tidak bisa tidur sampai sekarang.

Keberadaan Tae agaknya akan jadi obat terbaik bagi penyakit tidak bisa tidur yang tiba-tiba menyerang Gulf. Gulf bisa mengajak Tae ngobrol sampai kantuknya datang kembali, kemudian bisa tidur dengan nyenyak.

“Aku terlalu banyak tidur siang tadi. Sekarang tidak bisa tidur. Beruntung kau datang ke sini. Kalau kau tidak mengantuk juga, temani aku ngobrol, ya!”

Tae mengangguk.

“Jadi, kenapa kau datang ke sini malam-malam begini? Bukankah besok kau ada pekerjaan juga?” Gulf tahu pertanyaannya akan membuat Tae susah menjawabnya. Karena Tae kadang-kadang kesusahan berterus terang soal tindakan baiknya untuk Gulf sendiri. Gulf tidak memaksanya, hanya menambahkan kalimat, “Aku bukannya tidak bersyukur kau datang dan menemaniku. Hanya saja, kita butuh topik untuk dibahas.” Lalu berkata lagi. “Bagaimana kalau kau bercerita soal keponakanmu. Aku sudah lama tidak melihatnya. Tentunya dia sudah sangat besar sekarang!”

Tae langsung menceritakan keponakannya. Anak dari adiknya yang lahir setahun lalu. Dulu Gulf dan Win memaksa ikut Tae menjenguk anak itu hampir tiap bulan. Seiring banyaknya pekerjaan, mereka tidak pergi ke rumah adiknya Tae lagi.

Menemani Gulf mengobrol adalah hal yang selalu disukai Tae. Dia menyukai Gulf sejak lama, kalau bisa ngobrol selain yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja Tae tidak akan menolak meski harus mengorbankan waktu istirahatnya sekalipun.

Mr. BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang