Keadaan Gawat Darurat

276 44 0
                                    

Terjadi kepanikan di dalam ruang rawat Gulf. Ketika Tae dan Win masuk ruangan itu, kamar Gulf kosong. Infus masih menggantung di tempatnya, tapi jarumnya tercabut dan ada darah di tempat tidur. Ranjangnya berantakan dan kursi di dekat ranjang itu terguling. Win sudah mengecek dalam kamar mandi, sedangkan Tae bertanya pada perawat yang kebetulan lewat. Mereka berdua sama-sama tidak dapat jawaban di mana Gulf saat ini.

Seperti yang Win dan Tae dengar dari cerita Gulf, bisa jadi tabrak lari itu memang rencana pembunuhan. Walau luka parah dan harus melakukan serangkaian operasi kecil, Gulf belum mati sekarang ini. Pembunuhnya pasti tahu berita Gulf yang selamat, lalu merencanakan pembunuhan lagi padanya. Menurut mereka, baru saja ada yang terjadi di kamar ini. Mungkin Gulf diculik dan akan dibunuh.

Tae panik, dia berteriak memanggil petugas jaga atau siapa pun yang ada di dekat situ. Selagi Tae berteriak memanggil bantuan, Win menelepon polisi dan melaporkan kejadian penculikan itu. Polisi menyanggupi untuk segera mengirimkan personilnya ke rumah sakit. Beberapa pegawai rumah sakit datang. Ada dokter juga yang ikut menghampiri keduanya. Mereka ditanya, kenapa sampai membuat keributan sedemikian rupa?

“Tenang dulu!”

“Kami tidak bisa tenang sementara teman kami diculik!” pekik Tae.

“Iya, tapi bisakah kalian memberitahukan identitas teman kalian itu?” pinta seorang dokter. “Kami tidak bisa membantu kalau kalian panik begini.”

“Teman kami, Gulf, telah diculik!” terang Tae, masih panik. “Teman kami yang ditabrak semalam itu,” lanjutnya.

“Dia dirawat di ruang VIP 7. Sekarang keadaan ruangan itu kacau balau,” tambah Win. “Ada kemungkinan dia diculik oleh orang yang menabraknya semalam.”

Dokter yang menangani Gulf menghampiri kerumunan. Dokter itu segera meminta perhatian dari semua orang. Beliau bertanya soal keributan yang sedang terjadi. Setelah mendapatkan keterangan dari Tae dan Win, dokter malah tersenyum dan menyarankan keduanya untuk tenang.

“Kun Kanawut baru saja menjalani operasi ulang. Dia akan segera dibawa kembali ke kamarnya setelah para perawat selesai berbenah di ruang operasi,” terang dokter itu dengan tenang.

“Jadi Gulf tidak diculik, Dokter?” Dokter cuma tersenyum ringan menanggapi kesalahpahaman itu. “Kenapa dia harus menjalani operasi lagi, bukannya operasinya sudah selesai semua siang tadi?”

“Benar, tapi Kun Kanawut jatuh dari ranjangnya dan melukai engkelnya yang baru dioperasi. Terpaksa kami melakukan operasi lagi.” Bahkan dokter baru keluar dari ruang operasi. Belum mengganti baju operasinya dengan pakaian kerja saat mendengar ribut-ribut ini. “Kalian tidak perlu khawatir begitu. Operasinya berhasil, tapi butuh pemulihan lebih lama.”

“Syukurlah,” ucap Win lega. “Maaf semuanya, kami telah membuat kehebohan di sini,” katanya sambil mengedarkan pandangan penyesalan pada semua orang yang ada di situ. “Maaf sekali lagi.”

Tae pun ikut minta maaf.

Kerumunan bubar, dokter yang menangani Gulf juga sudah meninggalkan tempat. Tinggal mereka berdua yang merasa bersalah telah melakukan tindakan bodoh seperti itu. Mereka terlalu panik dengan hilangnya Gulf, padahal di rumah sakit dilarang berisik. Ada CCTV di mana-mana, kalau ada penculikan pasti diketahui oleh pihak keamanan rumah sakit. Setelah ini apa yang akan mereka katakan kalau polisi yang tadi ditelepon datang ke rumah sakit?

Untungnya ada Mew.

Polisi yang dikirimkan ke rumah sakit sudah ditangani oleh detektif itu. Mereka dipersilakan kembali ke kantor polisi setelah mendengar penjelasan dari Mew. Tae dan Win juga sudah minta maaf sebelum polisi-polisi itu pergi. Sekarang ketiganya kembali ke ruang rawat Gulf.

Gulf tengah tidur karena pengaruh obat yang diberikan dokter. Dia berbaring di ranjangnya lagi, diselimuti oleh perawat, dan ditata posisi kakinya agar tidak terjadi pergeseran di bagian yang baru dioperasi. Jarum suntik dan kantong infus sudah diganti dengan yang baru. Semuanya sudah kembali normal.

“Terima kasih atas bantuannya.”

“Tidak masalah. Itu bagian dari pekerjaan saya.” Mew memang berkeinginan bicara dengan Tae dan Win. Tentu saja ini mengenai kasus Gulf. “Ada yang ingin saya ... aku tanyakan pada kalian.” Mew mengubah gaya bicara setelah lidahnya sedikit mati rasa ketika mencoba bicara formal.

“Soal percobaan pembunuhan Gulf?” Tae antusias. “Kami siap membantu, Pak.”

“Kalian berpikir ini sebuah percobaan pembunuhan?”

“Itu yang kami simpulkan dari cerita Gulf.”

Win membenarkan pernyataan Tae. “Kami akan menjawab semuanya. Apa pun itu untuk teman kami, Detektif.”

Mew mengangguk. Dia tidak memerlukan kertas dan pulpen lagi. Diingat-ingat saja. Toh, ingatannya sangat baik. Namun, dia menolak dipanggil Pak, Detektif, atau panggilan apa pun yang membuat umurnya terdengar lebih tua dari kenyataan. Dia menyuruh keduanya memanggil dengan namanya saja. Dan pembicaran tidak lagi menggunakan bahasa yang terlalu formal.

“Tentang tender baru yang kalian menangkan, menurut kalian apakah ada kemungkinan terjadi persaingan bisnis yang tidak sehat?”

“Karena kami hanya berbisnis dan mendapatkan klien dengan presentasi yang baik, kurasa itu bukanlah hal yang curang,” terang Win. “Kami mengikuti prosedur. Punya pekerja-pekerja yang kreatifitasnya tinggi untuk menyusun rangkaian iklan dengan baik. Kalau kami menang itu sudah wajar.”

“Sayangnya, menang tender cukup sering membuat kami dapat masalah dari perusahaan periklanan lain.” Tae tidak mau kalah dari Win. Dia membuat bagiannya sendiri untuk diceritakan. “Aku tahu bagaimana rasanya kalah tender. Aku pernah kalah dari perusahaan periklanan kecil. Aku marah dan membenci perusahaan itu, tapi itu pulalah yang memotivasiku untuk bekerja lebih baik dan menang di tender berikutnya,” lanjutnya dengan bangga.

Bukan itu yang ingin didengar Mew. Dia harus mengorek lagi. Kali ini lebih spesifik. “Adakah perusahaan besar yang kemungkinan kalian curigai dalam hal ini?”

“Banyak sekali perusahaan besar yang pernah terlibat perebutan tender dengan kami, tapi sepertinya tidak ada yang menunjukkan kebencian sampai seperti ini setelah kalah tender,” jawab Win. “Aku tak punya gambaran.”

“Ada, Win. Kau masih ingat Mega Advertising? Perusahaan itu pernah bersitegang dengan perusahaan kita.”

Memang bukan murni masalah perusahaan, ini lebih kepada dendam pribadi. Putra dari pemilik Mega Advertising menyukai seorang wanita, tapi wanita itu menyukai Gulf. Lelaki itu membenci Gulf dan memutuskan memerangi Gulf dalam segala hal. Dia masuk perusahaan ayahnya, bekerja giat, dan terus berebut tender dengan Gulf.

Gulf dan lelaki itu selalu terlibat perebutan di setiap tender. Ada Gulf, pasti ada lelaki itu. Kalau tender itu tidak jatuh ke tangan Gulf, pasti jatuh ke tangannya. Gulf sempat geram, buntutnya mereka bertengkar. Tapi pertengkaran itu terjadi sudah hampir setahun yang lalu.

“Untungnya kejadian itu tidak membuat persahabatan perusahaan kami dengan Mega Andvertising rusak,” terang Win. “Itu cuma masalah pribadi.”

Mew tahu itu. Dia pernah mencatatkan di jurnalnya bahwa perseteruan karena cinta bisa jadi sumber malapetaka. Makanya dia tidak begitu tertarik untuk berebut cinta dengan orang lain.

“Siapa nama lelaki itu?"

“Mild. Mild Suttinut.”

“Apa dia punya koleksi mobil mewah?”

“Kau bisa tahu itu juga?” celetuk Tae.

Win menoel Tae. Jelas-jelas Mew seorang detektif, pasti tahu banyak hal.

“Maaf! Maaf!” Tae tersenyum kikuk. “Mild memang pengguna mobil mewah. Dia mulai mengoleksi mobil mewah semenjak bertengkar dengan Gulf.”

Mew banyak bertanya dan dia cukup mendapat jawaban bagus dari Tae dan Win. Dia menelepon ke kantor, menyuruh polisi menyelidiki Mild dengan bukti-bukti yang sudah didapat dari keterangan Gulf sebelumnya. Kalau memang Mild pelakunya, ini akan jadi mudah. Mew berharap Mild ditangkap dan terbukti atas tindakan tabrak lari itu. Segera diadili dan dipenjara. Kemudian dia bebas dari tugas ini, lalu kembali pada timnya.

Mr. BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang