Pencuri Makanan

219 37 0
                                    

Perawat berbalik setelah melihat Gulf tertidur. Tidak tega membangunkan lelaki itu untuk makan siang. Ketika perawat hendak pergi, Mew telah ada di belakangnya. Memperhatikan bukan hanya perawat, tetapi makanan yang dibawanya juga.

“Makanan untuk Gulf?”

Perawat itu mengangguk. “Kun Kanawut sedang tidur.”

“Berikan padaku. Aku tahu dia akan segera bangun. Nanti kuberikan makanan itu padanya.”

Perawat itu tidak curiga. Diserahkannya nampan itu pada Mew. Isi dalam nampan itu adalah makanan lengkap dan lezat, minuman manis, dan buah segar. Makanan itu terlalu mewah untuk dimakan pasien. Menurut Mew, makanan untuk pasien rumah sakit harusnya bubur saja cukup.

Mew membawanya masuk setelah perawat itu pergi. Bukan meletakkanya di meja dekat ranjang Gulf, tapi membawanya ke sofa. Sambil duduk di sofa, dia memakannya. Meski tadinya Mew sudah makan di rumah Tar, dia masih lapar. Soalnya makan di sana cuma sepiring berdua.

Gulf bangun satu jam kemudian. Saat matanya terbuka, pemandangan yang ada di hadapannya adalah muka Mew. Gulf menyesal membuka matanya terlalu cepat. Dia mau tidur lagi lebih lama atau paling tidak sampai Mew pergi, sayangnya tidak bisa. Dia sudah tidak mengantuk.

“Kudengar kau mau rawat jalan. Kenapa?”

“Bukan urusanmu!”

“Aku ditugaskan untuk melindungimu, jelas itu jadi urusanku.”

”Aku tak menyukai rumah sakit.”

“Memangnya dokter mengizinkamu pergi? Kau luka parah dan baru saja menjalani operasi. Ini masih hari ketiga kau berada di sini.”

“Aku akan pergi dari sini secepatnya!”

“Apa kau tahu kalau kau keluar dari sini aku akan mengikutimu?”

Gulf tidak menjawab, tapi dia tahu.

“Kalau kau pulang, berarti aku akan tinggal di rumahmu juga. Memangnya kau rela aku tinggal di sana? Kalau ada barang berharga yang kucuri, bagaimana?”

“Kalau kau mencuri sesuatu di rumahku, aku bisa beli yang baru,” kata Gulf, congkak. Dia memang kaya, pantas kalau mengatakan itu. “Jangan coba-coba mencegahku keluar dari rumah sakit!”

Mew tidak akan mencegahnya. Dia tahu dengan uangnya, Gulf bisa melakukan apa pun, termasuk untuk keluar dari rumah sakit lebih cepat. Kalau perlu, lelaki itu bisa memindahkan rumah sakit beserta alat-alatnya ke rumahnya. Mew tidak khawatir. Toh, walau Mew sering datang ke berbagai rumah sakit demi pekerjaannya, dia tetap tidak suka hawa-hawa magis dari rumah sakit. Dia lebih tertarik dengan suasana yang nyaman dan hangat, contohnya seperti kamarnya Tar.

Dia berharap rumah Gulf juga senyaman itu.

“Kapan kau akan pulang?”

“Tiga hari lagi.”

Mew menyeringai, itu tandanya dokter telah mengelabuhinya. Tiga hari lagi luka Gulf sudah mulai mengering. Kaki bekas operasiannya juga sudah bisa digerakkan walau belum bisa berjalan. Sudah pantas kalau Gulf diberikan rawat jalan. Lelaki itu pintar, tapi tidak benar-benar pintar, ternyata.

“Aku punya rumah yang besar. Punya banyak kamar, kau bisa tidur di salah satunya.”

“Oh ....” Pendapat Mew tentang rumah besar sangat negatif. Sunyi, sepi, dan mencekam, seperti rumah neneknya di kampung halaman, di kota kecil yang jauh dari sini. “Semua keluargamu ada di luar negeri, kau tinggal dengan siapa di rumah?”

“Aku punya dua pembantu, penjaga rumah dan sopir keluarga. Rumahku tidak sesepi yang kau bayangkan.”

“Kupikir kau salah satu orang kaya yang tak dianggap oleh keluarga. Keluargamu tak satu pun tinggal di sini. Setelah mereka dikabari tentang keadaanmu, tak seorang pun datang untuk melihatmu.”

Gulf tersenyum simpul untuk menyangkal pendapat Mew.

“Riwayat keluargamu bagus, semua jadi orang kaya di luar negeri. Tapi kenapa mereka tidak kembali ke sini kalau sudah sukses di luar sana?”

Gulf sendiri selalu dibujuk untuk tinggal di luar negeri oleh keluarganya, tapi dia keukeuh untuk tinggal di negara sendiri. Gulf mau membuktikan kalau dengan tinggal di sini, dia juga bisa menjadi pebisnis kelas atas. Keluarga Gulf turun temurun punya jiwa bisnis yang kental. Mulai kakek buyutnya, kakeknya, ayah, dan paman-pamannya. Sepupunya dan Gulf sendiri, semuanya sukses dengan bisnis masing-masing. Keluarga Gulf punya peruntungan tersendiri di dunia bisnis, dan itu cuma terjadi bila mereka keluar dari negara ini. Hampir seperti kutukan. Di luar negeri mereka sukses dalam segala bidang, sedangkan di dalam negeri mereka merugi terus. Maka dari itu, Gulf mau membuktikan kalau kutukan itu tidak benar.

“Mereka lebih suka begitu,” jawab Gulf santai. “Sepupuku akan datang seminggu lagi. Itu tandanya keberadaanku tidak pernah tidak dianggap oleh keluarga.” Sekaligus memberitahu Mew kalau dia disayangi banyak orang.

Perut Gulf berbunyi, tapi diabaikan.

Gulf lapar. Tadi pagi dia makan sangat sedikit karena harus bertemu Bright. Setelah Bright pergi, dia tidur lama sekali. Sekarang perutnya meminta jatah makanan.

Perut Gulf berbunyi sekali lagi. Setelah Gulf dan Mew mengabaikannya tadi, sekarang tidak bisa lagi.

“Kau mau makan sesuatu?”

“Aku akan memanggil perawat. Mereka sudah terlambat dua jam untuk memberikan makan siangku.”

“Sebenarnya perawat sudah kemari. Dia meninggalkan makanan untukmu, tapi karena kau tidur terlalu lama, aku memakannya. Kupikir kau tak akan mau memakan makanan dingin,” terang Mew sambil menunjuk meja di depan sofa. Di sana ada nampan dengan piring kosong bekas makanan yang dimaksud. Gulf sempat melihat ke sana, lalu mengeluarkan ekspresi tertekan. “Jangan cemberut begitu. Aku akan mengganti makananmu!”

“Aku tidak sedang cemberut!” sangkal Gulf. Dia sedang pasang muka marah dan Mew menganggapnya cemberut. Mew memang rabun, begitu pikir Gulf. “Sudahlah, aku bisa beli makanan sendiri.”

“Kau tak bisa pergi ke mana-mana.”

Memang Gulf tidak bisa pergi ke mana-mana, tapi dia bisa menelepon. Gulf mengeluarkan ponsel dari balik bantalnya. Dia menekan salah satu nomor dan meletakkan telepon itu di telinganya.

“Kau tak perlu menelepon, aku bisa keluar sebentar untuk membelikanmu makanan,” kata Mew, kalang kabut. Dia cemas kalau Gulf menyebut namanya sebagai orang kurang ajar yang mencuri makan siang pasien. Kalau berita seperti itu sampai ke telinga atasannya, dia bisa kena marah lagi. “Aku benar-benar ingin menggantinya.”

“Tidak perlu!” tolak Gulf yang teleponnya masih belum tersambung. “Aku bisa membeli makanan lain. Seperti yang sudah kau tahu, aku punya banyak uang kalau hanya untuk membeli makanan.”

Mew mendengar nada-nada kesombongan dari Gulf. Lelaki itu sedang pamer kekayaan ... atau cuma perasaan Mew saja?

Setelah menunggu untuk beberapa detik, telepon Gulf tersambung

“Tae, aku lapar sekali. Aku telat makan dua jam dan jatah makan siangku dimakan seseorang yang tak dikenal.” Gulf berhenti sejenak mendengarkan Tae bicara dari seberang telepon. Tae menyebutkan beberapa jenis makanan yang ingin dibelikannya untuk Gulf, dan semuanya memang makanan kesukaan Gulf “Iya, kau tahu saja makanan kesukaanku. Terima kasih, Tae.”

Telepon ditutup tanpa basa-basi.

“Kau memang kaya dan diperhatikan banyak orang,” celetuk Mew agak tidak berminat untuk berdebat.

“Sekarang kau tahu itu!”

Gulf menyeringai. Membuat dirinya superior di depan Mew rasanya sangat menyenangkan. Sedangkan Mew hanya bisa menahan napas, kemudian mengembuskannya diam-diam.

Tampan memang, sayangnya sombong dan pemarah, batin Mew.

Mr. BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang