Adegan Ranjang

598 46 12
                                    

Gulf memutus tautan bibir mereka. Mengambil jarak aman, beringsut menjauh, dan menghindari Mew. Dia turun dari ranjangnya, menimbulkan tanda tanya besar di benak Mew. Apakah Gulf berubah pikiran?

"Tunggu!" Gulf mengembuskan napas keras sekali. "Aku perlu menemui Saint, ada yang ingin kukatakan padanya.

Ada sebuah kekhawatiran ditangkap Mew dari gelagatnya. Gulf sedang mencemaskan sesuatu. Sebagai seorang detektif, insting Mew mengatakan ini berkaitan dengan dirinya.

"Kau berubah pikiran?" tebak Mew.

"Apa?" tanya balik Gulf. "Berubah pikiran untuk apa?"

"Tidur denganku," pancing Mew. "Kau sepertinya tak rela berbagi kehangatan denganku." Gulf mengatakan tidak, tapi beda dengan yang dibaca Mew di mukanya. Bisa dibilang Gulf adalah salah satu orang yang sulit dibaca mimik mukanya, tapi khusus untuk malam ini kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. Seperti rasa gamang untuk disentuh orang lain. "Kalau kau memang tak mau, kita bisa berhenti di sini. Toh, kau akan tetap membayarku sebanyak tawaran kemarin, kan?"

"Sudah kukatakan ini satu paket. Kau dapat uang beserta aku."

"Terdengar seperti jual diri."

"Ya, tapi bukan aku yang jual diri. Kau yang kubeli."

Mew mendudukkan diri di ranjang. Dia mengerti soal pembelian atas dirinya, tapi tidak dengan Gulf yang menyerahkan diri untuk ditiduri. Gulf yang membayar tapi dia juga yang menyerahkan diri, atau Gulf mau meniduri Mew? Demi Tuhan, hal itu tidak mungkin.

"Aku akan menemui Saint," ulangnya.

Gulf meraih kemeja Mew, mengenakannya, mengancingkannya, lalu berjalan pergi ke pintu. Sempat berhenti sejenak ketika memegang gagang pintu. Namun, dia berhasil menguasai diri dengan secepat kilat keluar dari kamar.

Mew menggelengkan kepala. Dia tidak paham apa yang terjadi dengan Gulf, tapi pernah beberapa kali melihat lelaki bersikap demikian. Salah satunya adalah Tar. Pertama kali Mew mengenalkan seks pada kekasihnya itu, Tar menampakkan reaksi yang sama dengan Gulf barusan. Cemas yang berlebihan, ketakutan, dan menghindar sampai tiga kali dalam semalam. Walau akhirnya pemuda kuliahan itu pasrah, butuh puluhan kali meyakinkannya. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja, menjanjikan kenikmatan dunia yang tiada tara agar Tar percaya padanya. Apa Gulf juga sedang mengalami fase itu? Kalaupun iya, Mew tak mungkin bilang semua akan baik-baik, cukup percaya padanya, lalu semua akan berubah jadi enak. Memang apa statusnya dengan Gulf?

Berniat menyelesaikan semuanya sendiri, Mew bangkit. Hampir sulit berjalan secara normal dengan benda di antara pahanya yang begitu keras, Mew berjalan ke kamar mandi. Dia jarang melakukannya sendiri, tapi bukan berarti tak pernah.

Lebih dari dua puluh menit di kamar mandi, Mew keluar. Sudah selesai dengan kegiatan solo seronde, sudah mandi dan melilitkan handuk di lingkaran pinggulnya, tinggal memakai baju. Detik kemudian, Mew kaget melihat Gulf berdiri di sebelah ranjang, menyambutnya dengan todongan pistol. Itu pistol milik Mew yang ditinggalkan di kamar sebelah.

"Apa-apaan kau?" Gulf tidak menjawab. Dia menarik pengaman pistol, menempatkan peluru di posisi siaga tembak, lalu menekankan telunjuknya di pelatuk. "Itu berbahaya!" tegur Mew. "Kau bisa melukaiku dengan pistol itu!"

"Memang aku ingin menembakmu."

"Kenapa? Ada apa denganmu?" tanya Mew waspada. Sekali Gulf menekan pelatuknya, bisa saja kepala Mew berlubang. Atau kalau meleset, badannya yang akan terluka. “Gulf, berikan pistol itu padaku!"

"Tidak!" tolaknya.

"Berikan!"

"Tidak bisa!" tolaknya lagi.

Mr. BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang