Harusnya, Yerina Mauryn tahu diri. Sebagai manusia yang gampang sakit, ia harusnya tahu jika hujan-hujanan justru memperparah keadaannya. Ia betulan flu. Badannya meriyang, bersin-bersin, demam.
Bahkan ia tak minat ketika Reinaldi membawakan krim sup dan beberapa makanan lain. Hal itu membuat Haikal Raditya secara naluri menghabiskan makanan itu bersama Gino yang lapar.
Jinendra James Adnan kini duduk di sisi kasur gadis itu. Melipat kedua tangannya berusaha fokus menatap ponselnya sendiri. Alih-alih gadis mungil itu yang kini menggigil kedinginan.
"Na," panggilan dengan suara serak itu membuat James berdeham menjawab. "Krim supnya masih nggak?"
James mengalihkan pandangannya ketika suara game over terdengar. Ia menatap gadis itu dengan dengusan panjang. Memang, Yerina yang sakit begini biasanya tak mengurangi kadar menyebalkannya.
"Tadi udah dimakan Ecan," jawaban itu jelas membuat Yeri mendengus. Yang tak lama menarik ingusnya dalam-dalam dengan bunyi hiksrot.
"Buatin kek Na," tangan mungilnya keluar dari selimut. Menarik ujung hoodie James dengan tatapan memohon. "Gue baru laper sekarang,"
"Astaga.. Teh, gue lagi males ke dapur," Yeri mencebik mendengar itu. Ia bertatapan dengan James yang mendelik tak mau diganggu gugat. Lagipula, ia tak bersalah. Karena manusia bernama Haikal Raditya yang menghabiskan makanan itu.
Mata bulatnya berkedip beberapa kali. Memandangi laki-laki berkulit sawo matang di ujung sofa kamarnya. "Yaudah. Ecan suruh pergi gih,"
"Can!" Haikal segera menoleh dengan kedua alis terangkat. "Beliin gue risotto,"
James menjatuhkan rahang. Mengelus dadanya karena benar-benar harus bersabar menghadapi gadis ini.
Haikal menghela napas panjang sebelum menjawab. "Ujan Teh. Lo tega Haikal Raditya si matahari pagi kehujanan?"
"Teh, nyuruh Ecan nembus ujan tuh berarti lo nambah beban buat tante Ika yang lagi sibuk," Aldi menggeleng kecil. "Ecan sama lo kan sama. Kena ujan dikit langsung demam,"
Memang, manusia bernama Haikal Raditya itu tak ada bedanya dengan Yeri. Keduanya yang sama-sama nyablak, sama-sama sering membuat orang emosi, lalu, sama-sama sering demam setelah terkena hujan.
Yeri mengeratkan selimutnya. Menarik ingusnya lagi sebelum keluar dari lubang hidung. "Yaudah, mau indomie soto dong. Pake telor rebus ya Njun,"
Reinaldi mengumpat kasar. Melempar ponselnya dengan emosi sampai ke ubun-ubun. Ia jelas tak bisa membawa Yeri ke ketiaknya. Jadi, ia putuskan mengapit kepala Haikal dengan lengannya. Membuat laki-laki berambut agak panjang itu terbatuk-batuk penuh emosi.
Gino yang sedari tadi hanya diam, kini tambah tak mengeluarkan suara. Benar-benar tak minat dengan perdebatan setelah ini.
🍉🍉Fur Eye🍦🍦
Gino Satria menatap gadis mungil itu yang berdiri di teras rumahnya. Jaket parka coklat yang dikenakan bahkan membuatnya terlihat lucu. Tapi, Gino tak ingin tertawa saat ini.
Ia tatap gadis mungil itu yang sesekali mengelap ujung hidung dengan tisu di tangannya. Hm, lagi-lagi Yerina jadi manusia batu.
"Lu ngapain masih ke sekolah?" tanya laki-laki bermata sipit itu. "Udah tau demam,"
Kemudian, Yeri hanya mencibir saja. Membiarkan Gino memasuki rumah untuk berpamitan pada sang ibu. Sebelum akhirnya keduanya berangkat bersama ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fur Eye ✓ [MARK | YERI]
Ficção AdolescenteR[13+] #TechnoUniverse Yerina yang percaya dengan mitos kuno selalu yakin jika seseorang merindukannya. Berbekal bulu mata yang jatuh, Yeri tetap memaksakan diri. Menganggap seseorang pasti merindukannya. Kemudian ia bertemu Mark Endaru yang jelas m...