Gadis yang baru keluar dari rumah itu lantas tersentak. Agak terlonjak-- untung saja tidak sampai latah. Ia kemudian berdeham kecil melirik kanan kiri. Yang kemudian berjalan ke gerbang rumah untuk membukanya.
Seorang laki-laki dengan celana abu dan jas almamater navy tersenyum di luar gerbang seraya melambai. Malam ini Mark terlihat tampan seperti biasa. Mungkin wajahnya agak kusut karena kegiatan padat hari ini.
"Tumben mampir Kak?" Syira berdiri tepat di depan Mark. "Baru banget pulang? Masuk yuk. Kayaknya Teteh tantrum terus nggak dijengukin,"
Mark terkekeh singkat. "Masih tantrum nggak dia?"
Yira menghela napas. Tanpa banyak bicara mendorong gerbang lebih lebar agar Mark masuk sendiri. Dan menilik bagaimana keadaan Tetehnya yang terus-terusan tantrum seperti mau punya adik baru.
"Kayak mau punya adek baru!" Yira mendengus. Tapi kemudian terdiam beberapa saat sebelum ia tersentak. "Jangan-jangan emang mau punya adek? Aduh! Nggak boleh ni nggak boleh!"
"MAMAH!!"
Bocah empat belas tahun itu tiba-tiba berlari lebih masuk ke dalam ruang tengah mencari-cari mamanya. Meninggalkan Mark yang jadi mematung di ruang tamu sendiri. Cowok itu berdeham canggung. Kenapa jadi ditinggal sendiri begini.
Cowok itu masih berdiri mematung di tengah ruangan. Tidak ada yang mempersilakan untuknya duduk-- jadi memang harusnya begini kan?
Saat Mark di dekap rasa canggung begitu, seseorang tiba-tiba bersuara dari belakangnya. Membuat cowok itu tersentak langsung menoleh mendengar suara berat dari pintu depan.
"Eh ada Mark. Main ke mana malam-malam begini?" Papah memang bertanya dengan nada santai, tapi Mark bisa melihat kliatan posesif dari laki-laki itu.
Mark tersenyum menanggapi. "Enggak Om, saya mampir mau kasih martabak buat Om sama Tante. Ada es krim buat Yeri sama Yira juga,"
Lelaki paruh baya dengan polo shirt dan celana training hitam itu mengangguk kecil. Lantas menerima uluran plastik putih yang terlihat penuh itu. Ia melirik Mark sekali lagi, pasti ada sesuatu sampai cowok ini rela datang meski baru saja pulang dari sekolah.
Pria itu mengangguk kecil. "Oh, terimakasih. Bawaan kamu kebanyakan ini," pria itu lantas bergerak mendekat pada sofa. "Duduk dulu Mark,"
Mark hanya menyeringai. Tiba-tiba merasa suasana makin dingin meski Papah Yerina ikut menyeringai lebar. Ini kalau animasi sejenis Naruto-- akan ada kilat kilat api di antara keduanya. Percayalah, bahkan Yira tak jadi keluar dari dapur dan bergidik sendiri.
"Kamu lagi marahan sama Yeri?" suara berat itu mulai terdengar lagi. Mungkin tidak terkesan mencecar dengan bruntal-- tipis tipis saja.
"Ah, itu.. Yerina yang marah ke saya," Mark menggaruk belakang kepalanya sekali lagi. "Kayaknya masih belum mau ketemu saya sih Om. Dia belum juga berangkat sekolah ya?"
"Biasa tantrum dia," Papah melirik ke lantai atas. Suasananya masih tenang meski ia tahu di kamar Yerina berisik bukan main. Ia terkekeh samar.
"Ehh--"
"Kamu yang banyak sabar. Yeri suka gitu, nanti juga balik normal lagi," pria itu geleng-geleng kepala. "Om aja suka nggak paham maunya dia apa, anaknya memang nggak ketebak,"
Mark mengangguk-angguk akhirnya paham. Meski awalnya ia merasa agak terintimidasi, lama-lama terbiasa dengan gaya bicara ayah kekasihnya ini. Memang agak sebelas dua belas dengan Yerina sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fur Eye ✓ [MARK | YERI]
Ficção AdolescenteR[13+] #TechnoUniverse Yerina yang percaya dengan mitos kuno selalu yakin jika seseorang merindukannya. Berbekal bulu mata yang jatuh, Yeri tetap memaksakan diri. Menganggap seseorang pasti merindukannya. Kemudian ia bertemu Mark Endaru yang jelas m...