Irina

147 15 3
                                        

"Sayang, yang tadi itu benar Yasa Narendra kan?" Baru saja Juna berhasil menyeret mamanya masuk ke dalam mobil. Mamanya itu lebih dulu menyerbunya dengan pertanyaan yang sepertinya tidak perlu ditanyakan juga. Terlebih lagi wajah penasaran ibundanya itu yang membuat Juna terkekeh pelan.

"Iya mamaaㅡ"

"Kamu sih ngapain nyeret mama begitu sih? Kan mama bisa minta foto sama dia. Kapan lagi coba ketemu artis papan atas." Juna hanya tertawa renyah. Sejak kapan mamanya ini menjadi seperti Ibu-ibu komplek yang mendambakan seorang artis. Yang kerjaan setiap pagi menggosipkan sinetron kemarin malam sambil menganggung-anggungkan tokoh utamanya.

Juna hanya tahu jika mamanya ini memang selalu menonton drama, film, acara talk show yang menayangkan Yasa Narenda. Hanya itu yang Juna tahu. Juna pernah melihat Mamanya ini menonton salah satu sinetron dimana Yasa Narendra menjadi tokoh utamanya Namun, ekspresi Mamanya hanya datar entah terlalu fokus menonton atau memang saat itu tidak ada adegan yang mendebarkan. Berbeda dengan Ghina yang selalu menyebut aktor itu tampan disetiap scenenya. 

Dia tidak tahu jika mamanya ini benar-benar seorang fans Yasa Narendra, aktor papan atas itu.

"Mama beneran suka dia?"

Seketika Irina terdiam menatap putranya itu. Lalu tersenyum dengan malu, seperti anak ABG yang ketahuan suka dengan crush-nya. "Iya."

"Wahㅡ" tak bisa berkata. Juna hanya bisa menggelengkan kepalanya lalu memasangkan seat belt untuk mama tersayangnya itu.

Irina dengan jahilnya mencolek lengan Arjuna. "Siapa sih yang gak suka Yasa Narendra?" Juna mengenggukkan kepalanya pelan. Benar, siapa yang tidak menyukai aktor dengan tubuh proporsional dan atletis itu terlebih lagi wajahnya yang tampan tak lupa aktingnya yang membuat para hati para Ibu meleleh. Ralat maksudnya para hawa.

"Yasa Narendra kalau dibandingin papa kamu jelas kalah Jun." tutur Mamanya sambil membayangkan wajah suaminya itu.

"Yee mama. Ya jelaslah kalah." Juna terkekeh membayangkan juga sosok papanya. Sebenarnya Papa Suhendra cukup gagah walau perutnya sedikit buncit. Tapi jangan salah gitu-gitu dulu waktu kuliah Papa Suhendra banyak yang suka. Yaㅡkurang lebih sih begitu yang Juna dengar dari Mamanya.

"Tapi Jun, ngapain ya Yasa Narendra ada di apartemen ini? Apa dia juga tinggal disini?" Okayㅡsejak kapan mamanya full of curiousity seperti ini. Tidak seperti biasanya.

"Mana mungkin, ma. Seorang Yasa Narendra pasti tinggalnya di rumah mewah atau apartemen mewah. Bukan apartemen biasa kayak gini yang isinya hampir semua anak kuliahan."

Benar juga, penghuni apartemen tempatnya tinggal ini dipenuhi oleh mahasiswa kampusnya. Dikarenakan lokasinya yang cukup dekat dan harga kamar yang cukup terjangkau dari beberapa Apartemen di sekitarnya.

Mama Irina menganggukkan kepalanya. Seketika Ia teringat akan senior Juna yang satu lift dengan mereka tadi. Melihat bagaimana Arvin bereaksi akan kehadiran Yasa Narendra sangat tiba-tiba itu.

"Tapi jun, apa Yasa Narendra ada hubungan sama senior kamu?" tanyanya dengan sangat hati-hati. Ia takut jika anaknya ini mencurigai dirinya.

Juna yang tadinya ingin menyalakan mesin mobilnya terdiam. Menoleh menatap mamanya yang menatap dirinya dengan entah bagaimana menjalaskan tatapan itu. 

"Sejak kapan mama jadi detektif gadungan kayak gini?"

Irina mendengus kecil lalu menatap putranya itu. "Emangnya kamu gak penasaran kenapa dia ada disini?"

"Sedikit sih. Tapi, mana mungkin ah ma. Cuma kebetulan aja kali." Kali ini Juna berhasil menghidupkan mesin mobilnya setelah berkali-kali terditraksi oleh pertanyaan-pertanyaan mamanya

Mungkin benar apa yang dikatakan Juna. Hanya sebuah kebetulan mereka bertemu dengan Yasa Narendra. Kebetulan yang sangat tidak masuk akal. Setelah lamanya Ia tidak melihat pria itu dimanapun melainkan layar TV.

"Juna cuma bisa hantar mama sampai depan rumah aja ya."

"Loh kok gitu? Mampir dong ke rumah."

"Juna ada janji sama temen."

"Kemana? Malam-malam gini."

"Biasalah ma, anak muda." Juna menggerakan alisnya naik turun menatap Irina dengan jahil. Irina tertawa pelan menggapai rambut Juna, mengusapnya lembut.

"Yaudah hati-hati ya."

"Juna sayaang~ mama." Kedip Juna pada sang mama yang dibalas tinjuan kecil darinya.

"Apa sihㅡmama bilangin papa ya kamu gak sayang sama papa."

"Ih mama tukang ngadu."

"Gini-gini mama berpihak ke papa kamu."

"Loh sejak kapan?"

"Sejak kamu minggat dari rumah!"

"Kok mama gitu?!"

Kondisi mobil itu dipenuhi oleh canda tawa seorang Anak dan Ibundanya. Tanpa putranya sadari bahwa pertemuan yang sangat kebetulan itu adalah awal dari sesuatu yang tidak bisa mereka bayangkan. 

.

.


.

Undefined FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang