Arvin tidak berselera dengan makanan di depannya. Sedari tadi ia hanya mengaduk-ngaduk scrambled egg miliknya dan memakannya sedikit demi sedikit tidak lupa menggigit roti panggang dengan selai strawberry kesukaannya. Namun, sesuatu mengganggu selera makannya. Beberapa pasang mata menatapnya seraya berbisik dan ia bisa mendengar semua gosip tentang dirinya.
"Eh itu bukannya Yasa si artis itu?"
"Eh iya bener. Loh? Kok dia sama Arvin ya?"
"Omg. Apa Arvin mau jadi artis di agensinya Yasa?"
"Masa sih?? Tapi mungkin juga sih! Muka Arvin menjual banget kalo jadi artis."
Arvin menyeringai saat mendengarnya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. Beginilah jadinya kalau ia pergi makan diluar bersama papanya. Banyak yang bergosip dan berasumsi sendiri. Contohnya seperti tadi, selain itu ia kerap digosipkan sebagai adik papanya, keponakan, dan lainnya. Pernah sekali seseorang berpikir jika ia adalah anak seorang Yasa Narenda. Tentu saja itu langsung di tangkas oleh opini yang lain.
'Mana mungkin seorang Yasa mempunyai anak?'
"Kamu lagi gak napsu makan?"
"Nope. Cuma gak nyaman aja."
Yasa terdiam sesaat. Ia hanya bisa menatap Arvin yang masih mengaduk sarapannya tanpa napsu. Sesekali ia melihat sekeliling dimana orang-orang memperhatikan mereka. Yasa hanya bisa tersenyum tipis menyapa orang-orang tersebut. Bagaimanapun ia adalah seorang public figure.
Salahnya karena memilih makan di restoran dekat kampus Arvin. Karena hampir semua disini mengenali anaknya. Jika seperti ini lebih baik pergi ke restoran yang lebih private.
"Next time jangan ajak makan dekat kampus."
"Karena kamu sekalian mau kuliah jadi papa ajak kesini." Yasa mengecilkan suaranya saat memanggil dirinya dengan 'papa'. Arvin menatap Yasa tidak percaya. Apa sulitnya mengatakan itu dengan lantang.
Arvin meletakkan garpu dan pisaunya. "Aku udah selesai makannya."
"Tapi kamu baru makan beberapa suap doang Vin."
"Aku udah kenyang. Tadi sempet makan sereal." Bohongnya. Arvin bangkit dari kursinya. "Thank you for the breakfast."
"ㅡSure.."
Arvin menghela napasnya sebelum akhirnya meninggalkan Yasa yang masih terdiam. Yasa memanggil namanya dengan keras yang cukup membuat semua perhatian tertuju kepada mereka.
"Don't forget the dinner. I will send you the address."
Arvin membalikkan tubuhnya untuk menatap sang ayah. "I cant promise." Setelah menjawabnya dengan dingin ia kembali melanjutkan jalannya meninggalkan restoran, meninggalkan Yasa yang masih terdiam di tempatnya melihat punggung Arvin yang kian menjauh.
"Cant you forgive me, son..."
.
.
.
Arvin berjalan bagaikan seorang model menuju kelasnya. Penampilannya hari ini memang terkesan sangat casual, hanya dengan celana jeans hitam dan kaos hitam berukuran besar dengan bagian depannya dimasukan kedalam jeansnya. Tidak lupa dengan ransel favoritnya yang selalu ia sandang. Kaki Arvin memang terkenal panjang. Jadi, penampilannya saat ini membuat kesan kakinya terlihat lebih jenjang bak seorang model.
Selain mendapatkan perhatian dari para mahasiswi ternyata gosip dirinya makan bersama papanya sendiri sudah tersebar di seluruh kampus. Helaan napas keluar dari bibirnya. Ia memang sudah berpikir resiko seperti ini jika nekat makan didaerah dekat kampus. Namun, ia juga tidak bisa menolak papanya begitu saja terlebih lagi pria itu tiba-tiba menjemputnya di Apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined Feelings
Fiksi PenggemarPernahkah lo merasakan yang namanya mati rasa? Perasaan dimana lo tidak bisa merasakan apa yang lo sendiri rasakan. Rasa sakit, rasa dikasihi, rasa dicintai, rasa dibenci, rasa mencintai. Semua perasaan itu tidak bisa lo deskripsikan dengan jelas...