Pandangan Pertama

979 69 6
                                    

Hari ini seperti hari biasanya. Cerah, berdebu, macet dan panas. Apa sih yang harus diharapkan dari Ibukota ini, selain tidak jauh dari kata-kata tersebut. Terutama di pagi hari seperti ini.

Arvin memakirkan motornya, sejenak ia terdiam diatas motornya. Mesin motor masih menyala, enggan untuk memutar kunci motornya. Dari jam 7 pagi ia mengendarai motornya hingga sampai ditempat tujuannya sekarang, salah satu Rumah Sakit cukup besar di Jakarta.

Sekarang sudah menunjukan pukul 8. Butuh waktu satu jam untuk sampai di sini, padahal dari apartemennya kesini hanya berjarak kurang lebih 6 KM. Sudah sampai disini, namun tiba-tiba merasa ragu.

Apakah ia butuh pengobatan? Ia pikir tidak begitu perlu. Tohㅡgejala yang ia alami sudah tidak sering muncul lagi. Ia pun masih mempunyai resep pengobatannya untuk selama 2 minggu ini.

"Next time aja lah." Gumamnya yang kembali menutup kaca helmetnya lalu meninggalkan parkiran rumah sakit itu.

Dipikir-pikir membuang waktu juga perjalanan satu jam kesini tetapi tidak membuahkan hasil apapun. Lebih tepatnya ia tidak ingin membuahkan hasil itu. Jika tahu dirinya akan selabil ini, mungkin dia akan memilih untuk datang ke kampus lebih awal dan melakukan pemanasan sebelum memulai hari.

Dan ya, sepertinya dia membutuhkan pemanasan setibanya di kampus. Tidak ada hari untuk absen dari pemanasan yang biasa dia lakukan. Memulai hari tanpa melakukan pemanasan akan membuat moodnya memburuk. Terlebih lagi hari ini dia ada ujian.

.

.

.


"Ssttㅡbe quiet."

"How can I be quiet when you be this good, ahh.."

Perempuan itu melenguhkan desahan halus saat sehuah bibir lembut bermain di leher serta pundaknya. Mengulum dan menghisap kulit putih perempuan itu. Memberikan rasa gelitik saat lidahnya ikut andil bermain disana.

Meremas dada perempuan itu dari balik bajunya. Memainkan jari-jarinya pada titik sensitif perempuan itu. Lenguhan itu semakin menjadi tepat saat pria itu menggigit serta menghisap kulit leher lawan mainnya. Memberikan bekas merah disana, menjilati bekas merah itu lalu mengecupnya.

"Shit,"

"Are you hard already, babe?"

"Would you?"

"Sure."

Pria itu menuntun lawan mainnya itu untuk berlutut. Dengan gerakan yang tergesa-gesa pria itu membuka kancing celananya dan menurunkan jeans bersama dengan ceana dalamnya.

Tatapan mereka bertemu. Sudut bibir pria itu tertarik membentuk seringaian khasnya. Pemandangan ini sudah menjadi sarapannya setiap hari. Melihat perempuan cantik itu berlutut dihadapannya dan  memberikan tatapan seksi menggodanya. Seperti meminta dirinya untuk bertindak lebih.

"Ahhh,"

Pria itu menghempaskan kepalanya kebelakang, menggigit bibir bawahnya menahan lenguhannya untuk keluar dari bibirnya. Merasakan setiap sentuhan lembut bibir perempuan itu pada miliknya, menjadi suatu hal favoritnya. Terlebih lagi perempuan itu melakukannya dengan sangat baik.

"Fuck nghhㅡ" Tangan pria itu meremas rambut sang perempuan. Membantu perempuan itu untuk mempermudah mendapatkan spot ternikmatnya.

Undefined FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang