"ㅡArvin."
Tidak ada jawaban dari pria disampingnya. Helaan napas kasar keluar dari bibirnya. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggulangi situasi ini. Ia akui, ia keterlaluan dengan mengungkapkan bahwa anaknya adalah anak dari kakaknya. Keponakannya, dia bilang.
Sekarang Arvin masih tidak mau berbicara dengannya. Bahkan melihat wajahnya.
"Kita berpisah disini aja." Akhirnya anaknya itu membuka suaranya. Ia menatap Arvin yang menghentikan langkahnya. "Aku mau pesan grab aja ke kampus."
"In this weekend?"
"Aku ada rapat BEM."
Wajah pria paruh baya itu terlihat melunak. "Kamu gabung organisasi?" Tanyanya dengan hati-hati. Ia tersadar jika selama ini ia tidak mengetahui banyak tentang anaknya sendiri. Ia tidak pernah bertanya kepada anaknya tentang kegiatan apa saja yang anaknya lakukan di Universitas.
Karena yang ia pikirkan, anaknya ini tidak pernah serius dalam hal belajar. Begitulah dari informasi yang ia dapatkan, jika anaknya ini suka pergi ke klub malam.
"Bukan urusan om juga kan?" Satu sudut bibir Arvin tertarik membentuk seringaian. Lalu Arvin berjalan meninggalkan papanya yang masih menatapnya dengan tatapan yang entah bagaimana mengartikannya. Yang jelas tatapan itu membuat perasaan Arvin menjadi buruk.
"Arvin! Tungguㅡ" langkah Arvin terhenti, dengan malas ia membalikan badannya. Yasa terlihat berlari kecil kearahnya dengan beberapa paper bag yang ia jinjing. "Ini, kamu lupa."
Arvin menatap paper bag dari beberapa brand ternama itu. Ia sendiri bahkan tidak menginginkannya. "Sepatu sama bajuku masih banyak." Ucap Arvin dengan nada dingin.
Yasa menatapnya dengan tajam, "Ambil." Perintahnya. Ia benci sifat keras kepala Arvin yang seperti ini. "ㅡambil." Ia kembali mengulang ucapannya namun kali ini sedikit melembut.
Arvin mengambil semua paper bag itu. Ia benci mengakui kalau dirinya sedikit takut dengan sosok papanya yang seperti ini. Sangat mengintimidasi dirinya.
Tanpa berkata apapun Arvin kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Yasa yang masih terdiam di tempatnya. Pria itu menatap punggung Arvin yang kian menjauh. Entah sampai kapan hubungan mereka akan seperti ini. Ia mencoba menebus semua kesalahannya, tetapi sepertinya Arvin masih belum bisa memaafkannya juga.
Yasa menghela napasnya, memasang kembali kacamata hitamnya. "Be careful, son."
.
.
.
Sebuah text membangunkannya dari lamunan. Arvin melihat ponselnya, sebuah nama yang ia rindukan muncul di layar notifikasinya.
[ Lalita ]
Hey..
Gue lagi di kampus nih
Text dari wanita favoritnya, membuat moodnya yang tadi memburuk menjadi sedikit lebih baik. Dengan gerakan jari yang cepat ia membalasnya.
Really?
Ngapain kamu di kampus?
Missed you, lol.
Gue mau ke perpus kampus. Mau ngerapihin skripsi sebelum di hard cover.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefined Feelings
FanfictionPernahkah lo merasakan yang namanya mati rasa? Perasaan dimana lo tidak bisa merasakan apa yang lo sendiri rasakan. Rasa sakit, rasa dikasihi, rasa dicintai, rasa dibenci, rasa mencintai. Semua perasaan itu tidak bisa lo deskripsikan dengan jelas...