We Met Again

520 42 7
                                    

Arvin.

Kenapa hari ini sangat lelah sekali ya? Padahal hari ini tidak latihan basket, tidak juga ngelakuin aktivatas yang banyak. Hanya ada dua kelas, di pagi hari dan lanjut setelah jam makan siang. Selesai kelas pun langsung ke rumah sakit untuk mendapatkan obat.

Gue menaruh sekantung plastik obat diatas nakas disamping tempat tidur.

"Kamu sadar tidak jika gejala yang kamu alami akhir-akhir ini menjadi lebih parah?"

Lagi-lagi suara dokter itu terdengar. Dokter muda cantik itu mengusik pikiran gue. Bukan karena dia masuk dalam tipe wanita yang gue suka. Tapi, gue merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti perasaan bertemu dengan seseorang yang sudah lama kita tidak temui. Perasaan yang seperti itu. Padahal gue baru pertama kali bertemu dengan dia.

Gue duduk di tepi tempat tidur, membuka kaos lengan panjang gue. Memperlihatkan pergelangan tangan gue yang tertutup perban kecil. Teringat kejadian kemarin malam, membuat gue kembali merutuki diri gue sendiri. Bodoh banget gue bisa kepikiran buat ngelakuin hal itu.

Gue masih mau hidup, mungkin. Kalau gue gak ada, Oma bagaimana? Gue gak mau ngebuat Oma sedih. Gue belum bisa membalas semua kebaikan Oma. Dengan membesarkan gue seorang diri saja sudah membuat beliau kesulitan. Gue masih ingat ketika Oma dirawat di rumah sakit karena gejala strokenya. Oma bilang, Oma tidak mau meninggalkan gue sebelum beliau melihat gue bahagia. Mungkin ini terdengar egois, atau tidak tahu diuntung. Dengan terang-terangan gue bilang, gue masih belum menemukan kebahagian dan meminta beliau untuk tidak pergi meninggalkan gue. Saat itu, Oma langsung mengusap wajah gue dan beliau bilang, tidak akan meninggalkan gue.

Padahal gue bisa saja pura-pura bahagia. Oma cukup kesulitan daripada gue. Umur Oma sudah menginjak 70 tahun, terus sakit-sakitan dan mengharuskannya selalu minum obat. Tapi, gue dengan tidak tahu berterima kasih meminta izin untuk kuliah di Jakarta. Meninggalkan beliau sendiri di Bandung. Lagi-lagi Oma tersenyum dan bilang akan selalu mendukung segala pilihan gue.

Memikirkannya lagi membuat gue semakin rindu dengan Oma. Sepertinya gue harus mengunjungi Oma setelah event selesai. Gue tersenyum saat melihat kaki kecilnya memasuki kamar gue. Setelah matanya menatap milik gue, kaki kecilnya itu langsung berlari kearah gue. Melompat kecil tepat dibawah kaki gue, meminta untuk diangkat dan dipeluk.

"Hey Tantan sayang." Gue mengangkat tubuh kecil itu dan menaruhnya dipangkuan. Mengusap kepalanya dan memberikan kecupan disana. Tantan sepertinya senang, terlihat dari ekornya yang bergerak dengan cepat.

"Tantan udah makan?"

GUK!!

Gue tertawa saat Tantan menjawabnya. Terkadang gue berpikir, apa benar anjing kecil ini mengerti apa yang dia lihat dan dia dengar? Berbicara dan menatap anjing kecil ini seperti mempunyai seorang yang menjaga gue. Seperti keluarga, Tantan salah satu keluarga yang gue punya selain Omanya.

Tantan terdiam dipangkuan gue, menikmati tiap usapan pada tubuhnya. Kehangatan yang gue rasakan dari Tantan membuat mata gue terasa berat. Gue membaringkan tubuh gue, membiarkan Tantan diatas tubuh gue. Tantan mencari posisi yang nyaman lalu kembali berbaring diatas tubuh gue lalu memejamkan matanya. Ternyata anjing kecilnya juga mengantuk rupanya.

Gue menatap Tantan yang sudah hanyut kedalam mimpi. Jika diingat-ingat sekarang Tantan sudah menginjak umur 2 tahun. Dimana 2 tahun lalu gue pertama kali bertemu dengan Tantan. Gue masih ingat ketika waktu itu,

.

.

.

Undefined FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang