Chapter 6 : Terror (Revisi)

4 1 0
                                    

Happy reading

Di Sekolah Rinjani kembali mendapatkan terror. Lokernya dipenuhi surat-surat misterius yang entah dari siapa! Yang semakin membuat Rinjani marah adalah lagi dan lagi isi surat itu mengacu kepada Alfin dan juga Varo. Orang itu tidak menyukai dirinya yang dekat dengan keduanya dan bahkan men-cap Rinjani sebagai penyebab dari kematian Alfin.

Rinjani tersentak kaget dan langsung menutup lokernya dengan kencang ketika mendengar teriakkan dari seseorang.

"RINJANI!!!!!" Rinjani bersedekap memutar bola matanya dengan malas. "Apa?"

"Lo dapet terror lagi?! Lo punya musuh apa gimana sih?! Orang itu bilang apa? Lo gapapa kan?"

"Kok lo tau gue dapet terror lagi?" tanya Rinjani membuat Mutia bungkam.

"Ahh itu ... anu ...." Rinjani menaikkan satu alisnya. "Di Kelas rame bilang lo dapet terror!!!" jawaban dari Mutia benar-benar tidak masuk akal.

"Jangan-jangan yang ngelakuin ini adalah musuhnya Varo? Bisa jadi kan?! Duh, Rin ... mending lo jauhin Varo deh, dari pada lo terus-terusan dapet terror." Rinjani diam, apa mungkin Varo yang membuatnya mendapatkan terror?! Tapi atas dasar apa?


***

Mendung tapi tidak hujan, udara sore hari ini sangat sejuk. Rinjani memasang Earpods dan mendengarkan lagu-lagu favoritnya.

Seperti biasa, Rinjani memilih pulang jalan kaki meskipun jarak antara sekolah dan rumahnya cukup jauh. Ia berjalan sendirian. Rinjani larut ke dalam lagu yang ia dengar, perasaannya cukup tenang sekarang.
Perkataan Varo di Rooftop saat itu terus terngiang-ngiang dalam pikirannya. Dia sebenarnya baik atau tidak? Banyak orang yang menyuruhnya untuk bangkit tapi orang itu juga yang membuatnya kembali jatuh.Ditambah terror yang menimpanya. Surat-surat misterius itu juga membuatnya untuk berfikir dua kali tentang Varo yang kini menghilang tanpa kabar.

Seseorang menarik nya dengan paksa ke dalam pelukannya begitu juga berbarengan dengan suara klakson mobil yang begitu nyaring Rinjani kaget matanya saling bertemu tatapan elang itu menatap manik matanya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Ceroboh!!!" Ketus orang itu—Varo. Varo melepas pelukannya di saat itu juga Rinjani langsung menjauhkan dirinya dari Varo. Lagi dan lagi Rinjani merasakan ada yang berbeda jantungnya berdetak kencang ia syok atas kejadian tadi. Jika saja Varo tidak menolongnya pasti ia sudah terseret mobil truk tadi. Rinjani berutang nyawa pada Varo. "Terimakasih," kata Rinjani.

"Kalo jalan harus fokus, gak usah pake ginian." Varo melepas earpods dari telinga Rinjani. Rinjani hanya diam.

"Sekali lagi terimakasih," kata Rinjani.

"Biar gue anter pulang," kata Varo. "Tanpa penolakan!!!" lanjutnya.

Rinjani menyuguhkan minuman dan cemilan untuk Varo. Varo tidak bisa pulang karena hujan yang semakin deras. Mereka saling diam, entahlah ... Rinjani rasa tidak ada yang perlu dibicarakan keadaan berubah menjadi canggung.

"Gue mau ngomong," kata Varo membuka suara.

"Apa?"

"Sebenarnya ... sebenarnya ...," Mulut Varo berubah menjadi kelu. Ia tidak sanggup untuk mengatakannya ia tidak mau Rinjani kembali terluka.

"Lo mau bicara apa?"

Suara ketukan pintu terdengar Rinjani bergegas membuka pintu. Varo menghela nafasnya dan ia rasa ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahu Rinjani. Lagi dan lagi Rinjani mendapatkan sebuah terror. Terror kali ini sangat berbeda, ternyata kejadian sore tadi itu direncanakan oleh seseorang untung saja ada Varo yang menolongnya. Rinjani berhasil melihat sosok yang sangat mirip dengan Alfin berdiri di depan jalan Rumahnya. Rinjani hendak mendekati sosok itu tapi Varo menghampirinya.

"Hujan,"

"Gue mau ketemu Alfin!!!" mata Rinjani berkaca-kaca.

"Gak ada Alfin di sini!!!"

"Ada, Varo!!! Tadi gue liat Alfin ada di situ." Tunjuk Rinjani. Rinjani diam kenapa gak ada Alfin di sana?

Varo mengelus puncak kepala Rinjani. "Lo cuma halusinasi," Rinjani diam. Mungkin Varo benar, ia benar-benar merindukan Alfin sampai-sampai ia berhalusinasi akan adanya Alfin yang jelas-jelas itu tidak mungkin.

Varo meraih surat yang ada pada di tangan Rinjani dan membacanya. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras, siapa yang berani-berani mengirimkan surat seperti ini!!!!

"Lo dapet terror? Kenapa nggak cerita?" Varo menatap Rinjani dengan lekat.

"Untuk apa? Lo bukan siapa-siapa gue, Varo!" Rinjani meraih surat itu. Ia tidak ingin laki-laki di depannya itu masuk lebih dalam ke dalam kehidupannya. Entahlah ada rasa gundah di dalam hatinya.

"Lo tenang aja, gue akan cari orangnya. Dan gue gak akan lepasin dia gitu aja." Tegas Varo dengan lantang. Mata tajamnya yang seperti elang yang ingin membunuh mangsanya membuat Rinjani menelan salivanya.

"Udahlah, lo gak harus repot-repot ngurusin gue. Lo hanya buang-buang waktu lo, Varo."

"Nggak, Rin. Jangan larang gue untuk masuk ke dalam kehidupan lo. Sekeras apapun lo larang gue, gue akan tetap masuk ke dalam kehidupan lo." Jelas Varo seakan tau tentang isi kepala Rinjani.

***

Di sudut koridor Varo mengunci Mutia dengan kedua tangannya yang kekar. Pada saat pergantian jam pelajaran Varo melihat Mutia yang mengendap-endap membuka loker nomor 25 yang tak lain adalah loker Rinjani. Mengingat kejadian di Kantin waktu itu kecurigaannya terhadap Mutia mulai bermunculan, apa jangan-jangan yang menerror Rinjani adalah Mutia?

Varo mendesak Mutia untuk mengaku tapi Mutia terus mengelak. "Lo gak punya bukti!!!" ujar Mutia.

"Tanpa bukti pun udah jelas, kalo lo yang udah terror Rinjani!!!!"

"APAAN SIH LO!!! MINGGIR!!!"

"Jawab dulu pertanyaan gue!!!" ujar Varo.

"Eh murid baru!!! Rinjani itu sahabat gue, gue gak mungkin terror dia, sialan!!!" Mutia mendorong tubuh Varo dengan kencang.

"Apa jangan-jangan lo yang udah terror Rinjani? Secara kan lo orang baru dalam kehidupannya Rinjani." Tanya Mutia dengan tidak ada rasa takut sedikitpun.

"Jangan sembarang ngomong lo!!! Asal lo tau, gue gak akan bertindak seperti pengecut, bodoh!!!" murka Varo. "Ngaku sekarang, atau gue tunjukkin bukti yang kuat di depan semua orang!!!!" ancam Varo.

Mutia tertawa sambil berkacak pinggang. "Heh!!! Gue sedikitpun gak takut dengan ancaman basi lo itu!!! Oh ya satu lagi, mau seberapa keras lo jaga cewek itu, mau seberapa besar pengorbanan lo terhadap dia, mau sekeras apapun lo berusaha masuk ke dalam kehidupannya, suatu saat dia akan membenci lo dan menganggap lo sebagai orang paling jahat!!!" Mutia menampilkan senyum liciknya.

Varo menunjukkan smirk nya. Perempuan satu ini benar-benar menantangnya. "Gue pastikan itu semua tidak akan pernah terjadi, Mutia. Justru sebaliknya, gue pastikan lo akan ada di posisi itu!" Varo berjalan mendekati Mutia dengan tenang. "Gue Al-Varo Bagaskara gak pernah main-main sama ucapannya, ingat itu!!!" bisik Varo lalu pergi meninggalkan Mutia.

Deg

Bagaskara?

Happy reading

365 Hari [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang