Happy reading
Setelah ujian kenaikan kelas selesai, Rinjani berniat untuk bersilaturahmi dengan keluarga Alfin. Semenjak kejadian pahit itu Rinjani tidak lagi berkomunikasi dengan keluarga Alfin mereka hilang kontak. Rinjani juga takut jika bertemu mereka, takut mereka menyalahkan dirinya tentang kematian Alfin.
Tapi kali ini tidak, Rinjani membulatkan tekadnya untuk menemui mereka, walaupun Alfin sudah tiada Rinjani tetap ingin menjalin hubungan dengan keluarganya. Rinjani sudah mengikhlaskan kepergian laki-lakinya, ia juga sadar, dengan sikapnya yang belum bisa menerima kenyataan itu sama aja menyiksa dirinya dan juga mempersulit Alfin di sana. Rinjani turun dari Taxi di depan Rumah Alfin. Rumahnya tampak sepi, dedaunan berserakan di mana-mana, Rumah itu tampak seperti tidak berpenghuni.
"Assalamualaikum,"
"Permisi," Tidak ada sahutan sama sekali. Seorang ibu-ibu yang menenteng sayuran menghampirinya. "Cari siapa, neng?"
"Saya nyari pemilik Rumah ini, Bu."
"Oh ... Semenjak anaknya kecelakaan Ibu jarang ngeliat pemilik Rumah ini, neng."
"Maksud ibu, mereka pindah?" Tanya Rinjani.
"Kayaknya sih gitu, neng."
Rinjani diam ia tersenyum getir. "Neng," Ibu-ibu tadi membuyarkan lamunannya. "Neng, gak apa-apa?"
Rinjani mengangguk. "Saya gapapa, Bu. Kalau begitu saya pamit, terimakasih, Bu." Ibu-ibu itu tersenyum mengangguk.
Rinjani menelfon orang tua Alfin tapi nomornya tidak aktif. Rinjani menatap langit dan tersenyum tipis. Sebentar lagi akan turun hujan Rinjani memilih untuk segera mencari Taxi. Keadaan jalanan yang sangat macet terpaksa Rinjani harus maghrib-an di dalam Taxi, untung saja ia sedang berhalangan untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Rinjani menatap ke arah jendela air matanya tiba-tiba menetes ia buru-buru menghapusnya. Rinjani sudah berjanji pada dirinya tidak akan lagi terus-terusan terpuruk. Rinjani sudah mengikhlaskan Alfin tapi sama sekali tidak akan melupakannya. Alfin akan tetap ada di hatinya di tempat yang paling terdalam.
Rinjani berlari menerobos hujan yang amat deras untuk masuk ke area Rumahnya. Dengan penglihatan yang samar akibat air hujan, Rinjani tidak bisa melihat jelas siapa orang yang berdiri di depan pintu Rumahnya. "Varo? Ngapain di sini?" tanya Rinjani.
"Dari mana? Kenapa ponsel lo gak aktif?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Rinjani ia malah berbalik bertanya dengan panik.
"Maaf," cicit Rinjani yang kedinginan. Melihat hal itu Varo segera membawanya masuk ke dalam Rumah. "Ayo masuk," Rinjani mengangguk. Tunggu-tunggu ini gak salah Rumah kan?
Setelah selesai bersih-bersih Rinjani menghampiri Varo di ruang tengah dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu tampak fokus pada laptopnya yang entah sedang apa!!! Rinjani memperhatikan Varo tanpa sepengetahuan laki-laki itu. Dia sangat sibuk tapi kenapa masih saja menyempatkan waktunya untuk dirinya? Mengetahui Rinjani sudah ada di sampingnya Varo menutup laptopnya dan menatap Rinjani. "Gue tadi abis ke Rumah Alfin," kata Rinjani. Varo menaiki sebelah alisnya.
"Gue mau silaturahmi sama mereka, tapi kata warga sana mereka udah pindah." Ia menghela nafasnya. "Setidaknya kan gue sama mereka bisa komunikasi, bisa silaturahmi, tapi apa?! Enggak bisa!!!"
"Gapapa," kata Varo.
"Mungkin di sini banyak banget kenangannya sama Alfin dan mereka memilih untuk pindah dan memulai hidup yang baru. Kalo gue bisa, gue juga pengin kayak mereka, pergi dari sini melupakan semuanya." Ucap Rinjani mulai ngelantur.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari [SELESAI]
Teen Fiction"Tentang harapan yang tidak sesuai dengan harapan." Tentang seorang gadis yang bernama Rinjani yang mencoba untuk bangkit dari masa lalunya, mencoba untuk berdamai dengan dirinya sendiri tapi kembali dipatahkan dengan kenyataan pahit yang menerpa hi...