Chapter 12 : Meredup (Revisi)

10 3 0
                                    

Happy reading

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Varo sampai di Rumah pukul sebelas malam. Varo langsung menghampiri Rinjani dan langsung memeluknya di depan Rafka dan juga adiknya. Ia benar-benar khawatir dengan perempuan yang ada di dalam dekapannya. "Jangan pergi lagi, Sal. Lo boleh marah sama gue, tapi jangan pergi kayak gini, gue khawatir sama lo, gue takut terjadi sesuatu sama lo, Sal. Gue takut lo kenapa-kenapa." Cemas Varo sedikit terisak.

"Maaf," lirih Rinjani.

"Untung gue tepat waktu, kalo telat sedikit aja dia abis sama preman." Ujar Rafka.

Varo terkejut. "Lo gak apa-apa, kan?" Rinjani mengangguk.

"Thanks, Ka." Ucap Varo.

"Jangan di pendam sendiri, Al Varo. Untung Gina telfon gue,"

"Gue minta maaf, Ka." Rafka mengangguk dan pamit pulang.

***

Tiga hari sudah Rinjani berdiam diri di kamar, tidak makan, tidak minum, tidak berkomunikasi dengan siapapun. Rinjani mengurungkan niatnya untuk kembali ke Jakarta, ia tidak ingin sendiri, kejadian tempo hari lalu masih terekam jelas di pikirannya. Ia benar-benar sangat takut.

Selama tiga hari itu juga, Varo belum juga menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Menemuinya pun jarang, Varo selalu pergi dan pulang tengah malam membuatnya sedikit kesal dengan Varo. Di Rumah yang cukup besar itu hanya ada dirinya, Gina, asisten Rumah tangan, dan juga beberapa bodyguard untuk menjaga keamanan Rumah. Sedangkan orang tua Varo selalu menghabiskan waktunya di paviliun keluarga untuk bekerja sesekali mereka pulang untuk mengecek kondisi Rumah dan anak-anaknya.

Sejujurnya Rinjani sangat kecewa dengan Varo yang merahasiakan tentang Alfin dari nya yang sebenarnya masih hidup. Rinjani benar-benar kecewa, sangat marah dengan laki-laki itu. Tapi disisi lain, ia juga merasa senang karena laki-laki yang aman ia cintai lebih dari seorang sahabat itu selamat dari kejadian naas itu.

Rinjani juga mengingat kejadian di kedai kopi waktu itu, Mutia juga tau soal hal ini, dia juga sama-sama merahasiakan hal ini dan bahkan dia memanggil Alfin dengan sebutan sayang. Sebenarnya apa yang selama ini terjadi? Kenapa dirinya seperti boneka yang sedang dipermainkan?! Tapi di hati kecilnya, Rinjani sangat yakin kalau Mutia sahabatnya tidak akan pernah mengkhianatinya.

Rinjani menangkupi wajahnya dan menghela nafasnya. "Sekarang gue harus apa?!" Gumamnya.

Rinjani membuka ponselnya. Ada satu notifikasi masuk dari sahabatnya, Mutia.

Mutia

Hai, Rin. Kalau lo mau ketemu Alfin dan meminta penjelasan, besok di villa Amora jam tiga sore.

Suara ketukan pintu terdengar. Rinjani menaruh ponselnya di atas meja lalu berjalan membuka pintu kamarnya. "Kak, makan ya! Ini Gina bawain makanan spesial buat kakak." Ujar Gina dengan senyum mengembang.

Rinjani tersenyum tipis. "Gina nggak repot-repot, ya. Kakak bisa ambil sendiri nanti kalau lapar."

Gina memanyunkan bibirnya. "Kemarin-kemarin juga Kakak bilang gitu ke Gina. Tapi, apa buktinya? Kakak sama sekali gak makan. Seneng banget kayaknya nyiksa badan!" Ujar Gina sambil berjalan masuk ke kamar yang ditempati Rinjani.

Rinjani menghela nafasnya ia berjalan mendekati Gina. "Bukan gitu, Gina."

"Ayolah, Kak! Makan! Dikit juga gak apa-apa kok. Gina nggak mau Kakak sakit."

365 Hari [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang