《===🌻🌻🌻===》
"Jadi, kamu enggak jadi ambil S2 ke luar negeri? Kamu mau melupakan mimpimu?" Maria, wanita yang baru saja pulang dari gereja dan bergegas menemui sahabatnya di sebuah kafe itu, berusaha menegaskan keputusan Aiyla.
Gadis bermata bulat itu mengerucutkan bibir merah mudanya. Ia mendesah tak berdaya seraya menopang dagu dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengaduk-aduk choco huzelnut dalam gelas tinggi di meja. "Abah belum kasih izin aku berangkat, Ria," keluhnya putus asa.
"Bukannya bagus, ya, kuliah di luar negeri? Kan, tandanya kamu mau berusaha keras dan mandiri." Maria masih mencecar. Gadis berambut ikal itu menyibak rambut panjang ke belakang sebelum kembali menyelipkan sedotan milkshake ke sela bibir.
"Enggak segampang itulah bikin percaya Abah kalau aku bisa jaga diri," tukas Aiyla seraya menggigiti sedotan bermotif garis-garis merah.
"Mm, tapi kakakmu yang namanya Ali boleh, kan, kuliah di Mesir dan udah lulus pula. Masa kamu yang cewek enggak boleh. Diskriminasi, ih!" Maria menipiskan bibir, sedikit tak suka dengan cara pandang orang tua gadis berjilbab soft pink di hadapannya.
Aiyla hanya terkekeh. "Bukannya enggak boleh, Ria. Kamu tahulah, masa lalu keluargaku yang ...."
"Mbak Mira? Kamu bukan dia, Ai. Jelas bedalah. Kamu dari orok udah dijejali ilmu agama. Sementara Mbak Mira itu, kan ...."
Maria terdiam. Ia menatap perubahan raut wajah sahabatnya yang bergeming dengan tatapan sendu, menerawang pada gelas minumannya tanpa minat apa pun. Aiyla menggigit bibir. Seketika kenyataan pahit masa lalu itu kembali terngiang. Dadanya sesak tak berkesudahan. Lalu dalam diam ia berdoa, semoga Mira tenang di sisi Allah yang Maha Pengampun.
"Ai, maaf, ya," kata Maria lirih. Gadis berkacamata itu menggenggam punggung tangan Aiyla.
Namun, Aiyla buru-buru mengibaskan tangan dan tersenyum simpul. Ia hampir mau buka suara ketika segerombolan perempuan memasuki kafe. Tak seperti biasanya, kafe yang baru buka lima bulan ini menjadi ramai digandrungi para mahasiswi tempat Aiyla dan Maria kuliah. Lokasinya memang dekat kampus, tapi baru kali ini Aiyla dan Maria menemui fenomena sepuluh adik kelas datang bersamaan di jam makan siang. Hari Minggu pula!
"Mas Tya! Oiy, buruan turun!" Zul-cowok yang biasa meracik kopi di balik meja bar-mendongak ke lantai atas.
Bertepatan dengan para pengunjung perempuan berebut duduk di kursi tinggi depan meja bar, sosok itu turun sembari mengenakan apron hitam. Aiyla bergeming sejenak. Ia tanpa sadar mengikuti pergerakan lelaki itu menuruni anak tangga dengan cepat, menggantikan posisi Zul di dekat mesin kopi. Senyum pria bermata kelabu yang terlihat ramah dan hangat. Siapa saja yang bisa bertatapan langsung dengannya bisa diperkirakan jatuh cinta mendadak.
Kalau saja jentikan jari Maria tak segera menyadarkan, mungkin Aiyla bisa lupa diri. "Astagfirullah ...."
"Pantes Abah enggak izinin kamu pergi jauh sendirian. Begini ini, nih!" Maria mencibir.
Aiyla menggigit bibir dan menggaruk sebelah pipinya yang tak gatal. "Khilaf, Ria," bisiknya penuh penyesalan. Ia memukul-mukul kening dengan punggung tangan kanan.
Maria terbahak. Ya, gadis ini benar. Aiyla bukan anak Abah yang penurut. Jiwa pemberontaknya sering muncul pada waktu yang tak tepat. Sudah sepatutnya Aiyla sadar diri. Ia tak setangguh para santriwati didikan Ummi di Solo. Entah kenapa semakin ditekan, ia semakin merasa perlu melanggar aturan. Mungkin inilah yang Abah sebut sulitnya melawan hawa nafsu dan Aiyla seringkali terjebak.
Diam-diam ia melirik lelaki yang kini asyik menuang susu ke dalam milk jug. Ketika lelaki itu mendongak sembari menyodorkan secangkir latte pada pelanggan, keduanya tanpa sengaja bertemu pandang. Aiyla buru-buru menunduk, berdeham, dan kembali tersenyum salah tingkah di depan Maria.
**
Gadis bermanik biru itu menatapnya meski hanya sepersekian detik. Tya hampir melempar senyum padanya. Namun, urung ketika sadar perempuan berhijab merah jambu itu segera menghindar. Pemuda itu mengembuskan napas pelan dan kembali sibuk dengan mesin pembuat kopi.
Sudah tiga tahun ia bekerja sebagai peracik kopi di New York. Ini kali pertama Tya harus pulang ke Jakarta kembali karena permintaan seseorang yang penting baginya.
"Abah mau kamu menjaganya. Dia gadis yang bandel. Abah rasa cocok denganmu yang berpengalaman jadi anak bandel juga semasa remaja."
Permintaannya membuat Tya tak bisa menolak. Pemuda bertato di lengan kanan itu terlalu banyak berutang budi pada lelaki bersahaja yang telah menuntunnya sepeninggalan Nami. Apa pun permintaan pria paruh baya itu akan Tya turuti.
"Kak Tya, boleh minta nomor ponsel enggak?" Gadis bergaun merah sebatas lutut itu berkedip manja.
Tya tersenyum kecil. "Minta nomor Zul saja. Saya enggak punya handphone."
Zul mengerling jengkel. Entah kenapa sejak Tya datang, pemuda itu sering sentimen dengan para wanita yang mendadak doyan minum kopi. Padahal dulu mereka hampir jarang pesan minuman berasa pahit itu. Zul bilang sudah hafal siapa saja pelanggan kopi setia di sini.
Pandangan Tya dan Zul terpaku pada sosok gadis berkerudung yang mengenakan celana basic dan blouse babydoll putih. Ia menghampiri meja bar lalu berkata, "Mas Zul, aku mau choco huzelnut lagi, ya."
Pria berambut klimis itu menggeleng. "Mabok es entar kamu, Ai!" kelakarnya.
Gadis itu mengerjap. "Memang ada sejarahnya manusia mabuk gara-gara minum es?"
Tya menahan senyum. Lelaki yang tengah merampungkan latte art- dengan pola love basic pesanan pelanggan-menggeleng tak habis pikir. Zul memang suka ngaco kalau sedang senewen dengan pelanggan."Kamu jadi pergi ke New York, Ai?" Zul yang sedang menuang es batu ke dalam gelas tinggi itu memulai obrolan.
Yang Tya tahu dari cerita Zul dan rekannya, perempuan bernama Aiyla ini memang pelanggan setia. Hampir setiap hari makan, minum, dan menyusun skripsi di meja pojok kafe ini bersama sahabat yang bernama Maria.
Perempuan itu menggeleng ragu. "Mas Zul enggak istirahat siang?"
Mendengar perkataan gadis itu membuat Tya tertohok. Ia seperti dituding kurang manusiawi sebab Zul memang sudah bekerja sejak pagi. "Pergilah istirahat. Saya bisa menggantikanmu sementara." Tya mengambil alih pekerjaan, membuat wanita yang sudah harap-harap cemas menunggu nomor ponsel mendengkus kecewa. Sementara Zul menahan tawa puas seraya menjauh dari meja bar dan menyusul rekan yang lain istirahat di ruang belakang.
"Mas Tya pelit, ih!" celotehnya sembari melempar pandangan sinis ke arah Aiyla.
Tya hanya tersenyum samar yang spontan membuat jajaran kaum hawa di depan meja bar itu kecewa. Para gadis berwajah nelangsa tadi berlalu mencari tempat duduk, meninggalkan meja bar sembari membawa cangkir latte masing-masing.
"Siapa namamu?" Tya menarik sedotan dan mencelupkannya ke segelas choco huzelnut dingin.
Gadis yang menerima uluran minuman menunjuk wajahnya sendiri. "Saya?"
"Mm," deham Tya sambil mengangguk.
"Oh, Aiyla. Mas ...." Aiyla ragu menyebut sapaan Tya.
"Tya. Panggil saya Tya," lanjutnya.
"Iya, Mas Tya pelayan baru di kafe ini?" Aiyla menyeruput sedikit minuman berperisa manis dan gurih kacang hazelnut dalam gelas.
Tya memutar bola mata. "Boleh, deh, disebut begitu."
Dua manik berwarna biru itu berkedip bingung. Namun, ia segera bergegas menoleh ke meja pojok begitu Maria melambaikan ponsel padanya. Benda pipih itu berkedip-kedip di tangan kanan Maria. Aiyla bergegas menghampiri.
Tya masih mengikuti pergerakan gadis itu yang mengangkat telepon ketika ponsel di saku celana jins hitam berdenting dua kali.Abah:
Besok datang ke Solo. Abah sudah mengatur waktu yang tepat untuk pertemuanmu dengan putri Abah.Bibir merah Tya melengkung bersamaan Aiyla memeluk heboh Maria dan berkata, "Aku dapat izin lanjut S2 ke New York!"
"Hah, serius?!" Maria sama histeris.Aiyla mengangguk mantap. "Tapi ada syaratnya kata Ummi. Aku harus pulang ke Solo malam ini, Ria."
"Ya udah, aku bantuin berkemas di kontrakan, yuk!"
Aiyla mengangguk gembira. Keduanya bergegas bangkit, menyandang tas ke bahu kiri, dan menuju meja kasir. Tya menghampiri seraya meraih nota pesanan di dekat meja. Pria berusia 29 tahun itu menghitung total harga makanan dan minuman Aiyla dan Maria.
"Seratus dua puluh lima ribu," tutur Tya.
"Aku yang bayar ya, Ri!" Gadis berwajah tirus itu merogoh selembar uang merah dan biru dalam dompet. Ia menyodorkan pembayaran di meja.
Tak ada yang aneh hingga Tya menemukan gadis itu terpaku sejenak pada uluran uang kembalian. Pemuda bertubuh jangkung itu mengikuti arah pandang Aiyla. Bukan uang kembalian yang menjadi perhatiannya. Bukan pula struk pembelian yang Tya selipkan di bawah uang kembalian. Aiyla sedang terdiam menatap lengan kanan lelaki yang menggulung kemeja panjang sampai siku. Rupanya lingkaran rajah bergambar naga di lengan Tya menjadi hal menarik perhatian.
Begitu Aiyla menerima kembalian, Tya segera menarik uluran tangannya. Ia mulai sadar akan satu hal. Sesuatu yang dulu ia anggap mengagumkan sebagai bentuk seni membuat pandangan negatif tergambar di wajah perempuan itu. Aiyla tersenyum kaku dan bergegas menghampiri Maria yang sudah berada di ambang pintu kafe.
Senyum gadis bermata biru itu membuat perasaan Tya berdesir penuh kecewa. Apa Aiyla juga sama dengan orang-orang di luar sana? Orang yang cepat mengambil kesimpulan hanya dalam sekali tatap saja? Benarkah demikian? Kalau iya, Tya mulai meragukan harapan manis pada esok hari.
**Repost: 17-07-2021
《===🌻🌻🌻===》
Hai, apa kabar hari ini?
Aku up Tya dulu, ya. Nana mungkin baru bisa up dini hari nanti. 🤭
By the way, aku suka lagunya London Pigg yang judulnya Falling in Love At A Coffee Shop. Coba, deh, dengerin lagunya. Klik media di atas. 👆
Emang, sih, enggak begitu pas sama scene di part ini. Tapi seenggaknya setting-nya sama. Coffee shop. Yup, sama, kan? (Maksa harus sama!) 🤣
Terima kasih untuk vote dan komentarnya, ya. I love you. 😘😘
《===🌻🌻🌻===》
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...