“Jangan begitu dong, Ai, enggak adil buat Mas Tya. Jangan gara-gara kamu enggak mau punya anak duluan, terus mengabaikan hak suamimu.” Maria berceloteh panjang lebar.
Perempuan yang sedang mengemasi buku-bukunya ke dalam kardus itu mengembuskan napas kasar. Ia masih berusaha mengabaikan penuturan Maria yang membantunya berkemas. Aiyla akan memindahkan barang-barang dari kontrakannya ke rumah Tya secara bertahap.
“Kamu tahu, kan, banyak wanita yang mengantre cuma buat liat Mas Tya doang di kafe. Pastilah suamimu itu tersiksa.” Maria menggebrakkan setumpuk buku ke meja belajar Aiyla.
“Tersiksa gimana?”
“Ya Tuhan, Aiyla, kamu kalau Ummi lagi nasihatin lewat telepon dengar enggak, sih? Speaker digedein, aku aja denger, kamunya malah menulikan diri. Laki jelas banyak godaan, kalau enggak lari ke istri mau lari ke mana coba? Itu, kan, inti nasihat dari Ummi akhir-akhir ini?”
Aiyla meringis. Terkadang ia merasa Maria yang bukan seorang muslim saja mau mendengarkan nasihat Ummi, tapi dirinya malah begitu jahatnya tak mau dengar. Bukan karena Aiyla tak mau dengar. Ia malu membahas semua itu dengan orang lain. Mungkin nanti kalau sudah punya keberanian, lebih baik ia bicarakan dengan Tya saja. Tya lebih dewasa tujuh tahun darinya, pastilah laki-laki itu lebih paham bagaimana harus membimbing istrinya ini yang terkadang suka berontak.
Nyatanya, apa yang dikatakan Maria memang benar. Ketika Aiyla kembali ke kafe Tya sebelum jam makan siang, lelaki itu sibuk di balik mesin kopi. Kafe tampak penuh dengan kaum hawa. Aiyla sedikit risi ketika ia berhenti di bawah tangga menemukan seorang wanita dengan mini dress hitam yang duduk menyesap kopi di depan meja bar.
Wanita itu sedikit mencondongkan tubuh ke depan, membuat dadanya yang membusung sedikit terekspose. Meski Tya tetap menyibukkan diri dan tak peduli, Aiyla tetap keberatan melihatnya perempuan berlipstik merah itu, secara sengaja menggenggam tangan suaminya yang menyodorkan kopi ke teman di sebelahnya.
“Bagaimana kalau segelas bloody marry? Malam ini aku ada pesta di kelab malam,” tawarnya.
Tya menarik tangan bertatonya dari genggaman. “Maaf, saya bukan peminum yang baik, Nyonya. Terima kasih.”
Lelaki itu kembali bekerja, meraih buih susu dalam milk jug dan mencampurnya di atas espresso. Wanita itu berdecak pelan dan pergi usai terabaikan.
Aiyla mendekat, meraih latte yang baru saja jadi dari tangan Tya. “Ini punya siapa?”
Pria dengan apron hitam itu menggeleng. “Kalau mau minum aja.”
“Ai heran sama mereka, tiap hari pesan kopi apa enggak asam lambung tuh?” decaknya emosi.
Zul yang baru saja kembali dari dapur membawa dua piring kentang goreng terkikik. Agaknya pemuda ini mengamati Aiyla yang sedari tadi menekuk wajah memperhatikan suaminya. “Resep supaya doyan kopi tanpa gula, minum di depan Mas Tya. Itu semboyan mereka.”
Tya melempar lap kering di meja ke arah Zul. “Jangan ngaco!”
Pemuda tengil itu gesit menangkap kain dan menyampirkannya ke pundak sebelum beranjak mengantar pesanan.
Aiyla menarik kursi, duduk menatap secangkir latte dengan gambar bunga tulip. “Bener kata Aiyla dong, enggak adil kalau cuma perempuan yang memakai jilbab. Nyatanya perempuan juga bisa tergoda sama fisik laki-laki,” celetuknya, masih tak mau menatap Tya yang berdiri di sampingnya.
Ketika Zul sudah kembali ke dapur, lelaki itu baru mau duduk di sisinya dan mulai bicara. “Kamu tahu, kan, dalam Islam itu setiap masalah selalu ada solusi?”
Aiyla menoleh sejenak. “Tahu, kok.”
“Setiap laki-laki yang tiba-tiba terpikat wanita bukan mahram di luar sama, sebaiknya dia segera pulang ke istrinya.” Tya meraih cangkir dari genggaman kedua telapak tangan istrinya dan tersenyum samar.
Lagi, perkataan Ummi dan Maria mengusik nalurinya sebagai istri. Perempuan yang masih terdiam itu berdeham. “Ya udah, kalau gitu. Ai mau naik dulu.”
Perempuan itu bergegas ketika Tya berseru, “Kardusnya enggak usah di bawa, entar saya yang angkat!”
Aiyla batal membungkuk meraih kardus. Ia kembali melangkah menaiki anak tangga.
**
“Kata siapa? Enggak, ih! Mana ada Ai pacaran!” Perempuan yang baru saja menghabiskan sepiring mi ayam dekat kampus itu menyangkal. Ia buru-buru mengalihkan perhatian dengan mengaduk jus jeruk dan meminumnya perlahan.
Manik kelabu Tya mengamati perubahan mimik wajah istrinya. Lagi-lagi setiap kali berbohong, Aiyla akan sibuk mengalihkan pandangan dan kaki bergerak-gerak gelisah.
Tya meneguk air mineral dalam botol di sisi kanan piring lalu mendekatkan wajah ke sisi telinga Aiyla dan berbisik, “Bohong ....”
Sedotan dari sela bibirnya terlepas. Ia menepuk dada pelan karena terbatuk hebat. Tya tersenyum menang.
“Siapa yang bilang begitu? Abah?” tanyanya usai batuk mereda.
“Rahasia.”
Aiyla menunduk sejenak. Sepertinya sebentar lagi akan menyerah. Lelaki yang duduk di sebelah istrinya itu bangkit dari kursi, mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam dari saku belakang celananya.
Sebenarnya Aiyla bersedia memasak untuk makan malam, tapi Tya lebih memilih mengajaknya keluar. Sebagai ganti seharian membiarkan Aiyla menemaninya bekerja di kafe, sepertinya tak apa mengajak makan malam di luar. Nyatanya, perempuan yang sekarang memilih keluar dahulu itu lebih memilih makan di kedai mi ayam langganannya di dekat kampus yang tak jauh dari kafe. Mereka cukup berjalan 100 meter, melewati sebuah tikungan, dan sampai. Bukan rumah makan mewah yang perempuan itu minta, tapi kedai mi ayam biasa dengan bangku dan meja makan panjang di dalamnya.
“Mas Tya marah?”
“Hah?” Tya menoleh menatap Aiyla tak percaya.
Marah? Untuk apa marah? Toh itu sudah menjadi masa lalu. Tya tersenyum sembari terus berjalan bersisian menyusuri jalan yang tak begitu ramai di malam hari.
“Enggak. Enggak usah dibahas lagi. Enggak baik.” Tya menenangkan.
Bukan maksud mengungkit masa lalu. Sepanjang obrolan tadi, Aiyla sendiri yang memulai bertanya-tanya mengenai pergaulan suaminya semasa remaja. Sudah jelas tak ada yang bisa diharapkan. Masa remaja Tya habis disibukkan dengan kerja part time demi bertahan hidup. Siang bersekolah, malam bekerja. Berkencan sesekali sebab di Amerika, siapa saja yang datang ke acara pesta prom tak membawa pasangan sudah pasti mendapat cibiran.
Tya tak pernah serius menjalin hubungan. Hanya formalitas di depan teman-teman semata dan berujung putus karena lelaki itu dinilai dingin dan sibuk dengan kehidupannya sendiri.
“Iya, maaf, Ai salah mulai duluan. Enggak seharusnya tanya-tanya masa lalu.” Aiyla berhenti sejenak. Perempuan yang mengenakan parka biru muda itu menunduk penuh penyesalan.
Tya menghela napas panjang. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket bomber-nya. “Saya enggak marah, kok.”
Ponsel di saku jaket bergetar, membuat lelaki itu kembali menghentikan langkah. “Iya, Zul?”
“Kafe mau tutup. Mas Tya masih lama?”
“Tutup aja, saya bawa kunci sendiri.”
Usai berucap salam, Tya menutup panggilan dan bergegas menyamai langkah Aiyla yang sudah sedikit jauh di depan.
“Soal pekerjaan Mas Tya di kafe, Mas Tya apa nyaman setiap hari harus berhadapan dengan pelanggan perempuan yang cantik-cantik dan banyak maunya?” Aiyla kembali membuka obrolan. Perempuan itu berjalan lebih pelan seolah tak ingin segera sampai.
“Enggak nyaman kalau perempuannya model kayak wanita yang kamu cemburui tadi siang,” celetuk Tya yang mulanya hanya bercanda.
Namun, ketika mereka sampai di depan kafe, Aiyla tampak gelisah tak menentu. Ia memainkan buku-buku jari sembari menunggu Tya membuka rolling door samping. Lelaki itu belum sempat menurunkan tangan kembali ketika istrinya berkata, “Ya udah, kalau gitu ayo!”
“Hah? Apanya?”
Langkah Aiyla terhenti di tengah jajaran kursi dan meja yang sudah tertata rapi. Ia berbalik di hadapan Tya, sedikit berjinjit lalu mengecup singkat pipi kanannya. Tanpa aba-aba sebelum akhirnya lelaki itu paham, Aiyla berlari kilat menaiki anak tangga menuju private room di lantai atas.
Oh, itu, batin Tya. Ia menarik dua sudut bibir ke atas, membentuk lengkungan senyum yang membuat lekuk di kedua pipi semakin kentara. Tanpa pikir panjang lagi, kedua tangannya menurunkan rolling door dan kembali menguncinya.
“Mau salat dulu enggak, Ai?!” serunya dari bawah tangga, masih berusaha memastikan maksud perempuan itu.
Lima detik tak ada jawaban. Namun, dua hitungan berikutnya perempuan di atas menyahut, “Iya!”
Tya menapaki anak tangga tanpa beban. Ia lega Aiyla mau membuka hati untuknya dan mencoba menapaki kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya.
**Repost: 11-09-2021
===🌻🌻🌻===
Ayo, siapa yang mau ikut Mas Tya? 🤣
Duh, ah, nulis cerita ini tuh aku senyum-senyum sendiri. 🤣
Cara Tya itu, lho, enggak maksa, tapi bikin Aiyla berserah dengan sendirinya. 🤭
Yuk, ah, yang mau peluk Mas Tya siapa lagi? Aku cetak terbatas aja soalnya. Enggak selalu ready. 😁
Yang mau ikutan PO silakan WA nomor yang ada di flyer, ya. 👆
Terima kasih. 🥰🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...