“Kalau besok pagi Aiyla memutuskan menerima lamaran dari Mas Tya, Abah bersedia menikahkan kami besok siang?”
Keheningan mendadak menyelimuti ruang keluarga. Ummi memelankan suara televisi dan laki-laki bersarung kotak-kotak merah bata di sebelah Aiyla juga sama terdiam. Mereka semua tak ada yang mendesak gadis berkaus lengan panjang kebesaran itu untuk segera menikah. Abah dan Ummi bahkan meminta Aiyla mempertimbangkan baik-baik beberapa hari.
“Bukannya kamu masih harus mengurus wisudamu di kampus, Nduk? Apa tidak sebaiknya kalian menikah setelah kamu wisuda nanti? Toh kamu belum mau berangkat ke Amerika, kan?” Ummi meletakkan remote televisi layar datar ke meja kaca.
Abah menghela napas panjang. “Siap. Abah bersedia kalau memang itu keputusanmu.”
Ummi menjawil lengan suaminya. “Abah, ih, kita belum persiapan apa-apa.”
“Tidak perlu, Ummi. Yang penting syarat akad nikah dan maharnya terpenuhi. Aiyla tidak meminta resepsi besar seperti Mas Ali dan Mbak Dini. Restu dari Abah dan Ummi sudah cukup.” Aiyla bersandar ke sofa sembari memainkan pita bantal di pangkuan.
Pria berambut hampir semuanya kelabu itu meraih gelas air putih di meja dan meneguknya sampai tandas. “Baik, kamu mantapkan hatimu malam ini, Nduk. Semisal kamu bersedia, besok usai salat Subuh, beri tahu Abah dan Ummi.”
Ummi mengembuskan napas pelan lalu tersenyum kecil. Aiyla yakin perempuan bermata sipit yang kini mengusap lengan putrinya tak mungkin menolak kalau Abah sudah mengatakan iya.
Aiyla sama tersenyum meski benaknya masih dipenuhi kebimbangan. Ia bangkit dari kursi dan mencium punggung tangan kedua orang tua sebelum beranjak ke kamar. “Aiyla pergi tidur dulu.”
Perempuan berusia 22 tahun itu melempar senyum dan beranjak menaiki anak tangga menuju kamar. Gadis itu masih bisa mendengar obrolan Ummi dan Abah secara samar-samar meski pintu kamar sudah ia kunci. Aiyla melepas jilbab instan hitam dan meletakkan di sandaran kursi belajar. Gadis bermata biru itu meraih ponsel usai menjepit rambut cokelat gandumnya ke atas.
Sedikit ragu membuka kontak bernama Tya. Ia belum mantap seratus persen. Namun, entah kenapa pikirannya kalang kabut setiap bayangan senyum ramah dari bibir tipis pria itu terlintas di benak. Aiyla mengusap wajah dan memukul-mukul kening dengan punggung tangan.
“Dosa, Ai, dosa! Bukan mahram masa dibayangin mulu, ih!” geramnya sembari menggebrak pelan benda pipih di tangan kanan kiri ke meja belajar. Perempuan yang dilanda kebimbangan itu menelungkupkan wajah di atas lipatan kedua tangan. Hidung bangirnya bisa mencium aroma kayu dari meja di mana ia merebahkan kepala.
Bukan Aiyla tidak tertarik dengan Tya, tapi banyak rahasia yang mungkin belum diketahui dari sosok pria itu. Masa lalunya, keluarga terutama orang tua, pekerjaan yang hanya sebatas pelayan kafe di mana Zul bekerja, dan yang paling penting, jajaran tato di tubuh Tya.
Apa Aiyla sanggup berdampingan dengan pria berpenampilan seperti itu? Apa kata orang nanti? Gadis muslim seperti dirinya menikah dengan lelaki penuh rajah di lengan kanan. Mana Aiyla tahu di bagian tubuh lain masih ada tato berbeda. Meski kata Abah, Tya laki-laki yang baik.
Aiyla menggigit bibir lalu berguling ke atas ranjang berselimut merah muda. Ia gelisah, tak sanggup tidur sampai menjelang dini hari. Bolak-balik gadis berbulu mata lentik itu membuka kontak Tya melalui WhatsApp. Bahkan sesekali bisa ia temukan pria itu sedang dalam mode online.
Tak kuasa menanggung kebimbangan sendiri, Aiyla pergi ke kamar mandi, membasuh sebagian tubuh dengan air dingin, lalu membentangkan sajadah berwarna biru. Ia butuh tempat mengadu, mencari ketenangan barang sejenak sampai kepalanya benar-benar dingin dan sanggup mengambil keputusan.
Ketika Aiyla selesai dari peraduan dan tanpa sadar terlelap di atas sajadah, bayangan itu muncul seperti mimpi. Perempuan berambut cokelat gandum dan bermata biru layaknya Aiyla menggugah benak.Ia masih mau menemukan tempat-tempat yang Mira tunjukkan semasa masih hidup. Bila memang menikahi lelaki itu adalah syarat dari Abah agar mendapat izin menjelajah benua Amerika, Aiyla siap. Ia hanya butuh menguji seberapa serius Tya menginginkannya sebagai pendamping hidup. Aiyla juga butuh tahu seberapa jauh Tya mengenal ilmu agama agar bisa menuntunnya ke jalan yang lurus.
Aiyla bangun dari atas sajadah. Gadis yang tak sengaja tidur usai menjalankan salat itu mengusap wajah sebelum menilik jam dinding di atas pintu kamar. Pukul tiga pagi. Aiyla bergegas melepas mukena, melipat sajadah, dan duduk sembari menggenggam ponsel. Keputusannya sudah bulat meski ia ragu. Apa Tya sanggup memenuhi mahar permintaannya?
**
“Bismillah. Aiyla menerima lamaran Mas Tya. Kalau Mas Tya bersedia memenuhi mahar berupa hafalan Surah Ar Rahman, kita menikah besok siang sebelum kembali ke Jakarta.”
Bibir merah Tya tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi seputih mutiara. Lelaki yang baru saja merapikan kemeja lengan panjang putihnya itu kembali membaca pesan dari Aiyla. Ia sama sekali tak menyangka gadis itu akan meminta mahar berupa hafalan surah dalam kitab suci umat Islam. Agaknya perempuan itu sedang sengaja menguji Tya. Ia sadar betul perempuan itu banyak meragukannya. Masih pukul lima pagi dan lelaki yang baru menghadap Sang Khalik ketika fajar datang berniat mengulang bacaan mahar untuk Aiyla beberapa kali.
Tya duduk di tepi ranjang. Lelaki berambut setengah basah itu menyugar rambut ke belakang. Lama ia berdiam diri menatap kosong pada ransel di atas nakas. Perlahan ia meraihnya dan merangsekkan tangan kanan ke dalam.
Lelaki itu kembali tersenyum menatap buku sekecil kamus saku bersampul merah tua. Pelan-pelan ingatan masa kecilnya berkelindan di kepala, membawa Tya dalam kenangan masa lalu yang membuat rasa syukur itu bermunculan. Namun, semua terasa perih untuk dikenang.
“Kamu baca ini seribu kali juga enggak bakal bikin kita kaya dan papamu kembali!”
Perkataan wanita yang mengalirkan darah dan daging dalam tubuh Tya kembali terngiang.Lelaki itu menghela napas panjang, membuang sesak yang tak berkesudahan bila terus mengenang masa kecilnya. Nyatanya, butuh perjalanan panjang untuk Tya bisa kembali menyentuh dan meresapi isi kalimat-kalimat Illahi. Melalui perkenalannya dengan Nami, berujung dengan pertemuan dengan Ahmad—ayah dari Aiyla yang sudah ia anggap seperti keluarga—Tya bisa kembali menemukan bagian dari hidupnya yang hilang.
Lelaki itu membuka surah Ar Rahman demi memenuhi permintaan gadis yang sedang menunggunya siang nanti. Ia sudah menghafalnya di luar kepala jauh sebelum dirinya berubah menjadi sosok berandalan di Kota New York. Ia sanggup membacanya di bawah tuntunan sang kakek dan di bawah tekanan sang Mama yang memilih memeluk nikmat surga duniawi. Sementara Ahmad hanya berusaha mengembalikan jalan Tya yang mulai berbelok ketika sang kakek dan Nami kembali ke pangkuan-Nya.
**Repost: 31-08-2021
===🌻🌻🌻===
Hai, apa kabar? 😁
Maaf baru posting lagi setelah sekian lama tenggelam di dunia nyata. 🤭Terima kasih untuk vote dan komentarnya, ya. 🥰🥰
Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain.
1. Amiko, Te Amo!
2. 30 Hari Bersama Nana
3. Lentera
4. Lalita's Diary
5. Courier of Love/The Wedding (Radit & Lyla)
6. Luna
7. Selebgram in LoveKetujuh ceritaku sudah ending dan part masih lengkap. Selamat membaca. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...