4. Akad Nikah dan Secangkir Kopi

3.6K 731 16
                                    

“Boleh, saya bicara sebentar sama kamu sebelum acara?”

Perempuan yang baru saja keluar dari arah dapur dan meletakkan cangkir kopi di meja itu mendongak. Keduanya sempat bertemu pandang sebentar. Namun, gadis yang mengenakan tunik sebatas lutut itu segera kembali menunduk, berpura-pura mencari kesibukan dengan menggeser camilan di meja. Ia buru-buru mengangguk.

Suara Abah dan Ummi yang bersiap dengan para saksi di ruang tamu sebelah kanan membuat Aiyla menoleh sejenak. “Mau bicara di teras?”

Tya mengangguk dan bangkit bersamaan dengan gadis itu merapikan pasminanya. Lelaki itu mengulurkan tangan ke arah pintu, mempersilakan calon istrinya berjalan duluan. Baru sampai di ambang pintu, Aiyla berbalik tiba-tiba, membuat Tya yang berjalan di belakangnya hampir menubruknya kalau tak pandai memperhitungkan langkah.

“Aiyla lupa Mas Tya tukang racik kopi. Kopinya enggak usah diminum, deh, itu kopi instan. Entar Mas Tya berasa aneh, lagi, sama kopi buatan Aiyla,” terangnya dengan mimik wajah cemas bercampur malu.

Tya menaikkan kedua alisnya. Ia pikir kenapa sampai perempuan berwajah oval di depannya segugup ini. Lekuk di kedua pipi Tya muncul bersamaan ia terkikik sembari menutup mulut sejenak dengan punggung tangan. “Enggak apa, Ai. Saya bisa, kok, minum kopi instan.”

“Oh, begitu, ya ....” Aiyla kembali menunduk dan berjalan sembari meremas jemari di depan dada.

Mereka berhenti di pembatas teras depan. Gadis itu bersandar di sana seraya menata ujung sandal busa rumahan yang dikenakan. “Mau bicara apa?”

“Kenapa mau menerima saya?”

Kali ini Aiyla mendongak. Sepasang manik biru dan kelabu itu bertemu pandang sebentar sebelum akhirnya Tya dan Aiyla memilih melempar pandangan ke arah jajaran anggrek milik Ummi.

Gadis itu menggeleng. “Tidak tahu. Tiba-tiba yakin saja kalau Mas Tya orang yang tepat untuk Aiyla.” Ia terdiam beberapa jenak. Lalu kembali berbicara, “Soal maharnya, Mas Tya yakin bisa?”

Kedua bahu lelaki di sisi Aiyla mengedik. “Insyaallah.”

“Ayok, ke masjid. Pak Kyai dan saksi yang lain sudah siap di sana.” Ummi tergopoh membenarkan posisi jilbab lebarnya. Ia sempat tersenyum sebentar pada Tya.

Ibu dan anak itu berjalan dahulu di susul Abah usai menepuk pundak kanan Tya. Sementara Tya berjalan berdampingan dengan Ali.

“Kamu ingat apa kata Abah, kan?”

Perkataan Ali sontak membuat keduanya berhenti melangkah. Tya menatap lurus pada manik sehitam jelaga lelaki di depannya. Mata yang memiliki ketegasan seperti Abah.

“Jangan pernah melepasnya meski kelak Aiyla berontak,” ulang Ali. Lelaki yang mengenakan baju koko putih bercorak abu-abu itu menepuk bahu Tya sedikit keras.

Alih-alih melihat keseriusannya menyampaikan petuah Abah, Tya bisa melihat perihal lain di mata kakak tiri calon istrinya. Cara Ali menatap punggung Aiyla, cukup membuat lelaki bertato itu paham. Kelak ketika Aiyla berontak dengan kenyataan pahit yang harus dihadapi, pria itu—kakak tiri Aiyla—siap memberikan topangan untuk bersandar adiknya.

**

Lantunan Surah Ar Rahman terdengar membuai siapa saja yang mendengar. Tak terkecuali Aiyla sebagai si perempuan yang meminta mahar itu. Tiba-tiba saja dadanya sesak. Ia merasa sudah kelewatan dan bersalah. Perempuan itu terlalu memandang Tya sebelah mata hanya karena masa lalunya.

Penampilan lelaki yang duduk di hadapan Abah itu memang bak berandalan bertato yang menyeramkan. Namun, bukan mustahil jalannya berhijrah mengantarnya sampai seperti sekarang. Lelaki salih yang mapan dan mandiri. Lelaki yang siap bertanggung jawab atas Aiyla sebagai istrinya.

“Maafin Aiyla,” bisiknya dengan suara serak. Perempuan itu tiba-tiba tersedu pelan ketika tiba saat mencium punggung tangan suaminya. Maaf karena sempat meragukanmu, batin Aiyla melanjutkan.

Lelaki berlesung pipi yang merengkuh kedua lengan Aiyla menatap lembut dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Ai,” katanya sama berbisik sebelum akhirnya menjatuhkan kecupan singkat di kening Aiyla.

Perbuatan yang membuat putri bungsu Abah dan Ummi itu sedikit berjengit terkejut karena malu. Ummi tertawa kecil disambut kekehan Abah yang berlanjut terbatuk pelan.

“Selamat ya, Nduk. Semoga menjadi istri yang salih dan keluarga kecilmu sakinah, mawadah, warahmah.” Ummi mengusap puncak kepala putrinya. Sementar Aiyla masih mau berlama-lama bersimpuh mencium punggung tangan wanita yang bertahun-tahun menggantikan kasih sayang ibunya.

Abah sama mengusap puncak kepala Aiyla. Lelaki yang mulai tampak guratan keriput di setiap sudut wajahnya terlihat tenang. Namun, dari cara Abah menatap, siapa pun akan tahu ada sejuta rasa haru ketika seorang ayah harus merelakan  sang putri bersanding dengan pendamping hidupnya.

Tak banyak orang yang hadir. Hanya keluarga dekat yang datang sebagai saksi. Sedikit keanehan yang Aiyla rasakan sebab Tya datang seorang diri. Kesendirian lelaki itu membuat banyak tanda tanya yang mungkin tidak hanya dalam diri Aiyla, tapi juga kerabat Abah dan Ummi.

Meskipun begitu, Tya cukup menjawabnya dengan kalimat yang cukup  diplomatis. Papa dan Mama masih harus menyelesaikan urusan bisnis keluarga di New York. Diam-diam  Aiyla  kembali bertanya-tanya, bisnis apa, sih, yang membuat mereka sampai hati membiarkan putranya sendiri?

**

Lelaki yang baru saja menyesap kopi dingin dalam cangkir itu mengernyitkan kening. Aiyla menggigit bibir, sedikit gelisah membiarkan suaminya meneguk kopi instan. Pasti terasa aneh.

“Jangan diminum, deh, Mas. Pasti aneh rasanya,” pinta  Aiyla.

“Nih, cobain sendiri. Entar kamu tahu rasanya.” Tya menyodorkan bibir cangkir ke hadapan Aiyla. Pria itu menaikkan kedua alis, menanti Aiyla mau mencoba minuman buatannya sendiri.

Perempuan yang masih mengenakan jilbab yang sama sejak sebelum akad itu tertegun sejenak. Namun, tiba-tiba perasaan khawatir itu muncul. Jangan-jangan rasa kopi instan buatannya memang aneh. Mungkin ia lupa menaburkan gula yang terpisah dari bungkus kopi bubuk.

Kening Aiyla berkerut dan kelopak matanya memejam. Tya terkikik melihat ekspresi gadis yang mendadak menjauhkan diri dari cangkir usai menyesap sedikit.

“Pahit!” keluhnya penuh penyesalan. “Kayaknya gulanya kebuang bareng bungkus kopinya, deh. Ai bikinin yang baru lagi.”

Sebelum benar-benar bangkit, Tya sudah lebih dulu menahan lengan Aiyla untuk kembali duduk. “Enggak usah. Saya memang lebih suka minum kopi tanpa gula.”

“Hah, serius?”

Pria berkemeja putih itu menyangga kepala dengan sebelah tangan di atas tumpuan siku kiri. “Iya, tadi cuma ngerjain kamu aja, Ai,” kelakarnya.

“Ih, udah tahu enggak pernah pesan kopi di kafe tempat Mas Tya kerja.” Aiyla menggerutu.

Ia memang tak suka minuman hitam bercita rasa pahit itu. Setelah sekian lama tak pernah menyesap pahit kopi, lelaki ini berhasil mengerjainya mencicipi meski sedikit.

“Habis ini kita mau ke mana?”

Pertanyaan Tya sontak membuat Aiyla berpikir menyusun rencana. “Balik ke Jakarta nanti malam. Mas Tya udah berapa hari izin enggak kerja? Enggak enak sama Mas Zul nanti.”

Mata kelabu Tya berkedip dua kali. Ia menghela napas kemudian merogoh saku ransel di sisi kaki kirinya. Aiyla mendekatkan diri, mengintip jemari panjang Tya mencari tiket perjalanan menggunakan kereta malam ini.

Sejujurnya, Aiyla suka wangi parfum sosok di sampingnya. Tak menyengat, lembut, dan menenangkan. Tubuh ramping yang semakin mencondongkan diri itu spontan menghentikan gerak jemari Tya.

“Saya jadi enggak konsen kalau kamu begini,” celetuknya.

“Eh, iya, maaf ....” Aiyla menegakkan tubuh, menyadari terlalu antusias menilik isi layar ponsel Tya. Oh, bukan layar ponsel, tapi wangi tubuh pria di sisinya. Eh, apa iya begitu? Boleh, ya?

Senyum tipis Tya sontak membuat Aiyla malu. Pipinya memanas seiring semu merah memenuhi wajah. Sementara suaminya kembali fokus mencari tiket kereta, perempuan itu mencari kesibukan lain, dan menjadikan minum sisa kopi Tya di meja sebagai inisiatif menghilangkan kecanggungan. Namun, baru satu sesapan saja, Aiyla memejam dan meletakkan kembali minuman ke meja.

“Astagfirullah, pahit!” erangnya seraya menutup wajah. Ia lupa kopi yang dibuatnya untuk Tya ini tanpa gula.

Tya terkikik pelan. Jemarinya yang semula sibuk menggulir jajaran tiket yang tersisa kembali terhenti. Ia meraih air mineral dalam gelas, menusuk dengan sedotan, dan mengulurkannya ke hadapan Aiyla.

“Maaf membuatmu jadi tidak nyaman,” katanya masih diiringi kikikan geli yang tertahan.

**

Repost: 01-09-2021

===🌻🌻🌻===

Hai, terima kasih vote dan komentarnya. 🥰

Ngomong-ngomong, aku lagi mempertimbangkan cerita ini buat terbit ebook. Tapi masih pikir-pikir lagi. 🤭

Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain, ya. 😉

1. Amiko, Te Amo!
2. 30 Hari Bersama Nana
3. Lentera
4. Lalita's Diary
5. Courier of Love/The Wedding (Radit&Lyla)
6. Luna
7. Selebram in Love (Reinara)

Lelaki Bertato NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang