Perjalanan yang ditempuh selama hampir delapan jam itu berakhir menjelang subuh. Meski Kereta Eksekutif Luxury yang Aiyla tumpangi memberikan kenyamanan untuk sekadar berselonjor kaki, perempuan itu tetap tak bisa tidur lelap dalam perjalanan. Itu sebab setiap kali habis perjalanan jauh, rasa kantuk selalu menyerang luar biasa.
Namun, waktu masih terlalu pagi kalau harus pulang ke kontrakan. Aiyla memilih mengikuti Tya pulang. Perempuan itu sama sekali tak kepikirian bahwa lantai atas kafe di mana suaminya bekerja adalah sebuah private room. Ruangan itu memiliki gaya rumah tipe studio dengan satu ranjang besar, mini bar di dekat pintu masuk, dan satu kamar mandi.
Semua tertata rapi, tak ada barang tercecer seperti kamar cowok pada umumnya. Tya cukup pandai menjaga kebersihan ruangan ini. Satu lagi yang Aiyla rasa cukup membuatnya nyaman. Wangi. Mungkin karena Tya terbiasa hidup mandiri, menjaga kerapian bukanlah hal yang rumit dan merepotkan.
Aiyla menguap untuk kedua kalinya. Ia memilih meletakkan ransel denim miliknya ke lantai kayu berlapis karpet abu-abu. Tya masih di lantai bawah. Sepagi ini lelaki itu sudah mendapat telepon dari seseorang yang akan mengantar biji kopi.
Bosan dan kantuk membuat Aiyla tergoda mencoba merebah barang sejenak saja di ranjang berseprai putih dengan bantal abu-abu. Sayangnya, kenyamanan itu membawa Aiyla tanpa sadar terlelap terlalu jauh hingga benar-benar tertidur.
**
“Udah sana, Mas, istirahat saja. Aku bisa melakukan ini bareng sama yang lain.” Zul meyakinkan. Pria yang berusia tiga tahun lebih mudah dari Tya itu menepuk dada sampai terbatuk.
Sejak subuh mereka sibuk menata stok biji kopi dan beberapa karton susu segar. Di kafe ini hanya ada empat orang karyawan. Tya sendiri yang membagi-bagi tugas untuk keempat karyawannya dan terkadang—sejak ia kembali ke Jakarta—ia ikut bekerja meracik minuman di balik mesin kopi untuk membuat latte.
Merasa semua bisa berjalan tanpa kehadiran Tya sebagai owner, lelaki yang masih mengenakan pakaian sama sejak baru sampai itu naik ke kamarnya. Sedang apa Aiyla sekarang? Tidur? Sepertinya mata perempuan itu terlihat sangat tak berdaya untuk terjaga.
Tya menutup pintu perlahan dan tersenyum menemukan Aiyla yang bergelung di atas tempat tidur. Orang-orang di bawah sana belum ada yang tahu keberadaan wanita yang tengah tertidur pulas sembari memeluk bantal. Saat tiba di kafe, Zul dan yang lain belum ada yang datang. Meski Tya sudah mengatakan perihal melamar anak gadis orang pada Zul, karyawannya itu belum tahu kalau mereka akan menikah secepat ini.
Takut membuat Aiyla kaget, Tya memilih meraih handuk dalam lemari gantung dan pergi mandi. Tak butuh waktu lama untuk membuang keringat sisa-sisa lelah sehabis membereskan kafe di lantai bawah. Ketika lelaki berambut setengah basah itu mengenakan kaus tipis berwarna putih itu berniat meraih kemeja di gantungan lemari, ponsel dalam ransel Aiyla berdenting-denting.
Perempuan yang masih terbuai kenyamanan di atas ranjang itu menggeliat. Tya terkikik melihat aksi Aiyla yang enggan bangkit dari kasur. Sebelah tangannya menggapai-gapai tas di lantai dekat tempat tidur. Sepertinya perempuan itu belum menyadari keberadaan Tya yang berdiri berkacak pinggang mengamatinya.
“Halo, Ria?” Aiyla menyahut usai memicingkan mata demi melihat nama penelepon.
Entah apa yang disampaikan Maria melalui telepon pada pukul tujuh pagi ini. Yang jelas, Tya bisa melihat tiba-tiba manik biru itu membelalak seolah kembali terisi daya seratus persen.
“Hah?! Sepagi ini?! Aku belum mandi, Ria. Bilangin, Pak Joko tungguin, please!”
Lalu, Aiyla melompat dengan sigap, meninggalkan ranjang. Ia sedikit berjengit terkejut ketika menemukan Tya yang berdiri mengamatinya di dekat lemari. Namun, perempuan itu memilih kembali bergegas merangsekkan tangan kanan ke saku ransel. Benda pipih berukuran mini itu buru-buru ia serahkan pada Tya.
“Tolongin, print file halaman pengesahan skripsi Aiyla. Mau mandi dulu,” pamitnya.
Tya hanya ber-oh-ria sembari mengangguk. Setelah menerima uluran handuk bersih, perempuan itu berlari serampangan dan hampir-hampir terjatuh tersandung kaki ranjang. Meski demikian, Aiyla tetap berlalu dengan kaki terpincang-pincang.
“Emang enggak bisa pelan-pelan aja, Ai?!” tegur Tya dengan nada sedikit tinggi mengingat perempuan itu sudah menutup pintu kamar mandi.
“Telat! Ai buru-buru!” sahutnya sama berteriak.
Lelaki yang menggenggam flashdisk bertali merah jambu itu menggeleng dan mengukir senyum kecil. Ia menyalakan laptop di meja sudut kamar, berusaha membantu sebisanya sampai Aiyla selesai mandi.
Bertepatan dengan perempuan berambut cokelat gandum itu keluar, mesin printer berdesing mengeluarkan beberapa lembar kertas. Sayangnya, fokus Tya pada lembaran kertas itu beralih pada sosok perempuan yang mondar-mandir di kamarnya. Aiyla mengaduk isi ransel sembari menunduk. Merasa risi dengan uraian rambut sebawah bahu, ia menyelipkan ke belakang telinga. Entah apa yang sedang dicari, Tya tak peduli.
“Iih, mana ikat rambutnya?” erangnya frustrasi. Begitu Aiyla menumpahkan isi tas, barulah benda yang dicari menampakkan diri, membuat ia berbinar cerah. “Mas Tya ngeprint berapa lembar?”
“Cuma rangkap dua,” sahutnya tanpa beralih dari sosok yang kini mencondongkan tubuh di depan laptop Tya.
“Kurang dua lagi.” Aiyla menekan tombol Ctrl dan P bersamaan.
Rambut pirang sebawah bahu yang menguarkan wangi lembut itu sontak membuat Tya kembali mengukir senyum. “Ai ....”
“Ya, Mas?”
Perempuan itu masih sibuk menatap layar di depannya sampai akhirnya Tya bertanya, “Hijab kamu ke mana?”
Aiyla bergeming. Sepertinya ia baru sepenuhnya sadar sudah berjalan mondar-mandir di depan suaminya tanpa menutupi rambut cokelat yang sedikit gelap di depan Tya. Deretan gigi putih Aiyla tampak ketika ia tersenyum kaku dan bilang, “Lupa kalau ada Mas Tya.”
Tya tertawa kecil begitu Aiyla yang membungkuk di depannya itu menelungkupkan wajah di atas keyboard laptop. Lelaki berkaus hitam itu hampir mengusap rambut pirang di hadapannya. Namun, urung ketika ponsel Aiyla kembali berdenting.
“Ya, Ria? Bentar, pake kerudung dulu. Jangan biarin Pak Joko pergi!”
Tya menghela napas dan mengembuskannya pelan. Tidak sekarang. Kali ini ia harus bersabar dan menerima hanya menatap perempuan berdarah campuran itu kembali mengikat rambut dan mengenakan pasmina cokelat susu. Cantik. Aiyla cantik ketika mengenakan hijab dan tunik berwarna senada. Namun, Tya mengakui perempuan itu mengagumkan dengan rambut panjang tergerainya.
“Ai, berangkat dulu. Asalamualaikum,” pamitnya tanpa berpikir panjang meraih punggung tangan Tya dan menciumnya kilat.
“Waalaikumsalam,” sahut Tya lirih.
Perempuan itu berlalu, berlarian menuruni anak tangga membawa lembaran kertas yang ia masukkan ke dalam map sambil lalu. Tya mengikutinya sampai ambang pintu, menatap kepergiannya dari anak tangga paling atas. Sampai akhirnya ia menyadari Zul yang terbengong dari balik meja bar kafe.
Agaknya karyawan andalan Tya itu terkaget-kaget Aiyla muncul dari kamar sang owner. Ketika Zul masih saja menatap Tya dan Aiyla yang sudah keluar kafe secara bergantian—sambil menunjuk dengan jari telunjuk—Tya tahu kalau pemuda yang sedang memasukkan biji kopi ke dalam grinder itu butuh penjelasan.
**Repost: 08-09-2021
===🌻🌻🌻===
Sampai sini aku mulai senyum-senyum sendiri kalau baca pasangan ini. Mereka uwuw dan ngegemsin. 😚😚
Iya, enggak, sih? 😆
Ngomong-ngomong, cerita ini sudah pernah ending di Grup FB My Books. Kalau versi yang aku posting di grup FB, ceritanya sad ending. Tapi versi bukunya ... mm ... ada, deh. 🤭
Yang mau order bukunya, harap bersabar menunggu open PO batch 2. 😉
Terima kasih untuk vote dan komentarnya. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...