2. Syarat dari Abah

3.8K 706 12
                                    

“Jadi, menurut Ummi saran Abah itu baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Jadi, menurut Ummi saran Abah itu baik. Enggak ada salahnya, to, kamu menikah sebelum berangkat melanjutkan kuliah S2-mu itu? Kamu jadi ada yang jagain nanti.”

Aiyla masih risau. Gadis berkerudung instan hitam itu bersandar pada sebuah pilar bangunan  rumah joglo, memainkan kuku-kuku jari yang bersih. Obrolan terjeda sejenak ketika beberapa murid latihan membatik datang menyetorkan tugas.

Ummi adalah sosok perempuan terbaik yang Aiyla kenal. Ibunda dari Ali itu teramat lemah lembut dan penyayang. Janda beranak satu ini dinikahi Abah setelah ibu dari Aiyla memilih pulang ke negaranya. Segala petuah Ummi tak ada yang berani membantah, kecuali Aiyla.

“Ai belum ingin menikah, Ummi. Mau kuliah dulu yang tinggi. Entar kalau udah menikah semua serba terbatas. Apa-apa harus izin suami. Kalau suami enggak rida, entar Aiyla dilaknat Allah,” terang gadis itu sembari duduk di kursi kecil sebelah wanita berjilbab lebar.

“Lho, kata siapa? Buktinya Ummi dulu bisa kuliah sambil hamil Mas Ali. Sekarang Ummi masih diizinkan mengajar di pondok pesantren sama Abah.” Ummi mencelupkan canting pada wajan berisi malam yang panas. Bibir perempuan paruh baya itu mengerucut sedikit demi meniup-niup ujung canting untuk kemudian ia goreskan di atas pola kain.

Aiyla mendesah, menyandarkan kepala pada punggung ibu sambung yang begitu menyayanginya. “Memang calon suami Aiyla kayak apa?” Gadis itu tersenyum tipis seraya memilin-milin ujung jilbab Ummi. “Ganteng? Salih? Pintar?”

Ummi terkekeh pelan. “Helah, ganteng ditanyain paling awal!”
Aiyla terkikik sembari menutup mulutnya. Sementara Ummi membenarkan letak kacamata, anak gadis terakhir itu menegakkan tubuh.

“Dia baik. Ummi yakin dia orang yang baik. Pengalaman hidupnya cukup banyak membuat calon suamimu itu menjadi manusia yang tegar.” Perempuan berjilbab abu-abu itu meletakkan canting lalu merangkul bahu Aiyla. “Pergilah tidur. Kamu pasti lelah baru sampai Solo sore tadi.”

Aiyla mengangguk. Bibir tanpa lipstik itu menyunggingkan senyum. Ia mencium punggung tangan Ummi dan beranjak melalui halaman belakang rumah. Halaman yang tampak luas ini menjadi singgasana Ummi ketika sedang asyik menekuni hobi membatik.

Beberapa anak gadis tetangga setiap akhir pekan datang ke rumah untuk belajar membatik. Wanita bersahaja itu piawai melakukan hal apa pun. Meski setiap pagi pergi ke pondok pesantren untuk mengajar sampai pukul 12 siang, wanita berusia 55 tahun itu masih sempat mengurus rumah dan kerap menengok usaha batik keluarga yang sejak suami pertamanya meninggal, Abah menjadi sosok yang tepat mengelola bisnis keluarga.

Meski sibuk, jatah bertelepon bersama ketika Aiyla di Jakarta untuk berkuliah tak pernah bolong. Ummi rajin menyapa setiap hari meski hanya beberapa menit saja. Rasanya Aiyla tak punya alasan untuk membenci Ummi meski hanya berstatus ibu sambung saja.
Gadis itu masuk ke kamar di lantai dua. Hatinya masih tetap resah meski ibu sambungnya sudah berusaha menenangkan. Kalau semisal Aiyla tidak cocok dengan pilihan Abah, apa masih boleh menolak?

Sungguh, ia belum siap kalau harus menikah secepat ini. Masih banyak mimpi yang harus dicapai.  Termasuk keinginannya menjelajah kota di belahan negara lain yang pernah Almarhumah Mira ceritakan melalui panggilan video beberapa tahun lalu sebelum ia meninggal.

**

Suara obrolan di ruang tamu terdengar sayup-sayup dari dapur. Gadis yang duduk di kursi sembari menggigiti buku jarinya terlihat gelisah. Ia belum berani keluar meski Ummi sudah memintanya membantu Mbak Dini—istri Ali—membawakan nampan camilan ke depan.

“Memangnya dia datang sama siapa saja, Ummi?” Aiyla bertanya sembari menatap ke arah tirai yang menutupi ruang tamu.

“Sendiri. Dia selama ini hidup mandiri tanpa kedua orang tuanya di New York.” Ummi menuang teh ke dalam empat cangkir di atas nampan.

Aiyla mengerjap. New York? Benarkah? Pasti Abah sudah mempertimbangkan perihal ini.

“Ndang, bawa ke luar ini minumnya. Entar masmu senewen. Dia paling enggak sabaran kalau ada tamu enggak cepat-cepat dikasih minum.”

Nampan tersodor di hadapan Aiyla. Gadis yang mengenakan tunik merah muda dan kerudung pasmina hitam itu meraih uluran nampan sedikit ragu. “Ummi ajalah, Ai, malu!”

Ummi terbahak. Perempuan bergamis hijau tua itu meminta kembali benda di tangan putrinya. “Ayok, Ummi yang bawa, kamu yang nyuguhin ke meja.”

Aiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single dan berseberangan dengan Abah serta Ali.

“Ini Aiyla, putri Abah.” Suara Abah terdengar semringah.

Ali berdeham, membuat Aiyla melirik ke arahnya dan Dini yang duduk bersebalahan. Begitu ia meletakkan cangkir ke meja, tangan kanan pria itu menggeser teh. Manik biru miliknya mengerjap kembali menemukan tato naga dan ia mendongak cepat.

“Ma-mas Tya?”

Bibir tipis pria bertato yang pernah ditemui di kafe langganan tersenyum kecil. Pria itu mengangguk ramah. “Hai, Ai, apa kabar?”

**

Bagaimana mungkin Abah menjodohkannya dengan laki-laki macam Tya? Melihat tato di lengan kanannya saja sudah membuat Aiyla takut. Lelaki itu memang terlihat ramah dan murah senyum. Ia juga santun bertutur kata di depan Abah dan Ummi. Ali juga tampak akrab dengan Tya.

Tetap saja Aiyla tak habis pikir. Masa iya Abah tega memberikan syarat semengerikan ini? Menikah dengan laki-laki bertato yang entah dari mana asalnya sebab ia datang sendiri tanpa keluarga ke rumah orang tua Aiyla. Apa mungkin Abah sengaja membuat syarat sulit seperti ini agar dirinya berhenti berharap melanjutkan pendidikannya ke New York?

Aiyla mengembuskan napas panjang. Sekali lagi, manik birunya memperhatikan rajah naga di lengan kanan Tya. Kali ini lelaki yang tengah duduk bersamanya—di bangku area Kuliner Galabo Solo—mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru tua. Hanya kepala naga saja yang tampak di punggung tangan.

Ali dan istrinya—Dini—mengajak Aiyla dan Tya jalan-jalan ke Galabo. Istri Ali itu memaksa keluar rumah bersama. Dini sedang hamil empat bulan dan nafsu makannya menggila. Aiyla sudah kenyang makan nasi liwet dan segelas ea teh. Sementara Dini dan Ali masih mau memesan beberapa camilan. Keduanya tampak asyik memilih makanan, meninggalkan Aiyla dan Tya duduk berdua.

“Mas Tya lama tinggal di New York?” Aiyla membuka obrolan.

“Sejak remaja ikut Mama pindah ke sana.” Tya tersenyum dan menggeleng ketika Ali yang sedang memesan kopi di kedai minuman mengacungkan secangkir kopi padanya. “Soal permintaan Abah, saya enggak maksa kamu menerimanya. Saya tahu kamu berhak mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari saya.”

Aiyla terdiam, menatap piring kosong di meja. Masih ada kebimbangan dalam hatinya. Namun, ia tahu Abah bukan orang tua yang gampang menilai seseorang. Untuk itu Aiyla yakin, ada sesuatu dari lelaki ini yang patut dipertimbangkan menjadi pendamping hidup. Gadis di seberang meja Tya itu menunduk dalam lalu mengusap wajah pelan.

“Saya butuh waktu untuk memutuskannya. Izinkan saya mempertimbangkannya malam ini. Boleh Aiyla minta nomor ponsel Mas Tya?” Aiyla memberikan ponsel genggamnya pada lelaki bertato di depannya.

Butuh waktu tak ada semenit untuk Tya mengetikkan nomor ponsel dan menyimpannya. Lalu ia mengembalikan benda pipih itu. Aiyla mengantungi ponselnya setelah sejenak menggenggam benda itu sedikit erat. “Terima kasih,” katanya hampir seperti berbisik.

Hening kembali. Keduanya membisu dan larut dalam pikiran masing-masing. Kalau saja Dini dan Ali tak segera menghampiri kembali, mungkin mereka sudah layaknya patung yang kaku.

**

Tya bisa merasakan kecanggungan itu. Lelaki yang sudah merebah di ranjang hotel tempat menginap dua malam ini pun bisa merasakan ketidaknyamanan Aiyla. Gadis bermata biru itu banyak diam, berjalan paling belakang, dan lagi-lagi sambil memperhatikan punggung tangan kanan Tya. Ia juga memperhatikan pandangan orang sekitar.

Agaknya perempuan yang dipinangnya itu sedikit takut memikirkan pandangan miring sekitar apabila mereka bersanding nanti. Apa kata orang nanti melihat Aiyla, gadis berjilbab, putri dari seorang pengajar pondok dan pengusaha batik yang bersahaja menikah dengan sosok bak berandalan sepertinya?

Tya menghela napas panjang usai memiringkan tubuh dan membenarkan posisi selimut. Ia sempat merendahkan suhu pendingin ruangan lalu berniat tidur. Pukul dua dini hari. Lelaki berkaus hitam polos itu nyatanya tak sanggup tidur sehingga Tya memilih menemani Aiyla yang mungkin masih sama bimbang dan terjaga nun jauh di sana.

Barangkali sedikit berkeluh kesah di atas bentangan sajadah bisa membantunya. Meski Tya sadar diri betapa tak patutnya ketika manusia sehina dirinya meminta petunjuk. Namun, kata Nami, Tuhan itu tak pernah berdiam diri ketika melihat umatnya dipenuhi kebimbangan. Bukan begitu?

Hingga pukul tiga dini hari, bertepatan dengan sajadah di lantai kembali terlipat, ponsel di atas ranjangnya berdenting dua kali. Tya duduk di tepi tempat tidur kemudian membaca sederet pesan dari gadis yang membuatnya terjaga sampai detik ini. Senyum itu merekah ketika hati tersiram kelegaan luar biasa. Secepat ini Aiyla memberi jawaban?

**

Repost: 19-07-2021

《===🌻🌻🌻===》

Yang enggak sabar nungguin up pasti langsung lari ke FB dan baca maraton, nih. 😆

By the way, terima kasih vote dan komentarnya. Maaf belum bisa balas satu per satu. Masih sibuk packing pesanan Lelaki Bertato Naga. 😁

Rencananya Lelaki Bertato Naga mau open PO batch 2. 🙂

Ngomong-ngomomg, yang rindu Nana siapa? 😆

Ini lagi on the way lanjut ngetik. Tunggu, ya. 🥰🤭

《===🌻🌻🌻===》

Lelaki Bertato NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang