"Akhir-akhir ini aku merasa ada yang salah dengan hidupku." Wanita berambut pirang yang sedang merebah di sisi Abi itu menerawang pada langit-langit kamar apartemen mereka.
"Maksudmu?" Abi menoleh ke sisi kanan di mana kekasihnya berada.
Bukan perkara sulit memahami ke mana arah pembicaraan Nami selanjutnya. Sebab lelaki bermanik kelabu itu pun merasakan hal yang sama. Bukan berarti Abi tak bahagia memiliki Nami dalam hidupnya. Dua tahun hidup bersama sudah cukup menjadi pembuktian cinta mereka. Namun, sama halnya seperti perempuan ini, Abi juga merasa ini salah.
Kehidupan bebas yang mereka jalani menyenangkan, tapi sisi hati lain dari masa lalu mereka berkata ini bukan jalan yang benar.
Nami menghela napas panjang lalu memiringkan tubuh dan menjadikan lengan kiri sebagai bantal. "Ada sesuatu yang membuatku merasa kehilangan ketenangan, Abi. Aku bingung dengan arah tujuan hidup ini."
Abi mengembuskan napas pelan. Ia melekatkan telapak tangan pada pipi tirus kekasihnya. Lelaki yang sejam lalu baru pulang bekerja itu menatap dalam pada manik biru Nami.
"Kamu mau kalau kita kembali? Ke mana pun tempatnya asal kita bisa menemukan ketenangan itu bersama."
Nami mengangguk antusias. "Kita bisa kembali ke Indonesia, meninggalkan New York dan mencari ketenangan di sana."
"Memangnya keluargamu mau menerimaku?" Abi mengerutkan kening dan sedikit menjauhkan wajah dari Nami. "Aku ini dari keluarga enggak jelas, mantan bartender dengan tubuh penuh tato begini. Mereka pasti ...."
"Pasti mau menerima kita. Aku percaya ayahku orang yang sangat baik. Adikku juga anak yang sangat manis."
"Begitu, ya?" Abi kembali mencari keyakinan dari penuturan perempuan yang kini tersenyum memperlihatkan lekuk di kedua pipi.
"Kalau mereka enggak mau terima kamu, kita bisa mencari tempat lain untuk memperbaiki hidup, Abi. Asal sama kamu."
Abi terkekeh. Ia tak bisa menahan diri untuk mengacak rambut cokelat gandum Nami. Perempuan itu memekik ketika Abi meraih pinggang rampingnya. Mereka tergelak beberapa saat sebelum akhirnya kembali tenang karena mengantuk.
"Sebaiknya mulai besok aku mencari apartemen sendiri. Jangan tinggal bersama begini sebelum menikah."
"Okay, Beib," sahut Abi yang justru memeluknya semakin erat. "Biarkan kita begini untuk yang terakhir sebelum kamu menemukan apartemen baru."
"Aku ... mau pakai hijab lagi ... boleh?"
Kelopak mata Abi yang semula memejam perlahan kembali terbuka. Namun, sosok wanita di hadapannya tiba-tiba tersenyum tipis. Wajahnya memucat. Apa yang Abi lihat mulanya berubah dalam sekejap. Perempuan dalam pelukan itu tiba-tiba berubah sudah berhijab hijau mint lalu Abi bisa merasakan cairan merah dan hangat membasahi kemejanya.
Semua mendadak berputar-putar. Percakapan terakhir mereka berdua pun kembali terdengar berulang bak kaset rusak. Napas Abi tersengal ketika ia berusaha bangkit dan duduk bersimpuh di sisi Nami yang tergolek lemah dengan napas patah-patah. Ia ingin sekali berteriak, meraung sebisanya ketika tubuh wanita itu mengejang. Darah terus mengalir dari perutnya yang sobek, menguarkan bau anyir yang menyesakkan dada. Detik itu juga Abi limbung, berteriak bak orang gila di depan mayat kekasihnya.
**
Tya terbangun dengan napas terengah. Keringat dingin membasahi tubuh. Mimpi buruk itu datang lagi, membuat dadanya sesak terimpit rasa bersalah. Lelaki yang tertunduk sembari meremas rambut itu memejam, berusaha mengatur napas yang masih saja pendek-pendek meski sudah berusaha menarik napas dalam.
Sentuhan tangan di pundak kiri membuat Tya berjengit terkejut.
"Mas Tya enggak apa? Mau Ai ambilin minum?" Perempuan yang tengah menggenggam sajadah itu tampak khawatir.
Tak ada jawaban dari bibir Tya.Begitu manik kelabunya menemukan Aiyla, tatapannya berubah sendu. Perasaan bersalah itu terus berkecamuk. Ia mendadak takut kehilangan untuk kedua kalinya. Tanpa pikir panjang lagi, Tya meraih tubuh Aiyla, memeluk erat seolah tak ingin perempuan ini pergi.
**
Aiyla masih belum mengerti dengan kejadian saat subuh tadi. Apa iya mimpi yang dialami Tya terlalu buruk sampai setakut itu?
Setelah memeluknya begitu lama, lelaki itu tetap membisu. Ia berlalu ke kamar mandi tanpa banyak bicara dan baru membuka suara usai salat Subuh. Itu pun sekadar berucap terima kasih dan bertanya ada acara ke kampus atau tidak. Meski Tya sanggup bekerja seperti biasa, Aiyla bisa merasakan ada kemurungan dalam tatapannya.
Seharian ini perempuan berkaus lengan panjang warna pastel itu hanya berdiam diri di kafe menemani Tya bekerja. Ia duduk di meja pojok kafe sembari mengurus pendaftaran online wisudanya sampai menjelang siang hari.
"Sepertinya Ai masih belum mengenal banyak tentang Mas Tya." Perempuan yang sedang duduk memangku laptop di area belakang kafe itu membuka obrolan.
Menjelang jam istirahat siang, keduanya duduk pada ayunan panjang di halaman belakang kafe. Aiyla baru tahu di balik kafe yang sering ia kunjungi ada tempat seasri ini meski tak begitu luas. Ada kolam air mancur di tengah halaman. Ayunan panjang di teras yang berjajar tanaman bonsai. Juga ada tempat salat khusus karyawan Tya di sini. Sepiring kentang goreng sudah habis tak bersisa mereka lahap. Masih tersisa segelas es choco huzelnut favorit Aiyla dan secangkir espresso.
"Memangnya kamu mau tahu tentang apa soal saya?" Tya menyesap espresso buatannya.
"Banyak, tapi Ai mau tahu soal keluarga Mas Tya dulu. Mas Tya enggak ada keinginan mencari Papa?" Aiyla meletakkan laptop yang masih menyala ke meja kopi dekat ayunan.
"Ada dan sudah tahu keberadaannya. Hanya saja saya masih ragu untuk menemuinya."
"Kenapa?"
Tya menoleh sebentar. "Enggak mudah menerima kembali orang yang sudah meninggalkan kita terlalu lama, Ai."
Kepala Aiyla mengangguk-angguk. Ia tahu bagaimana rasanya. Kalaupun ia masih diberi kesempatan bertemu dengan ibu kandungnya, Aiyla pasti akan bimbang ketika dipaksa harus menemuinya. Selena-ibu kandung Aiyla-menghilang sejak kematian Mira. Abah dan Ummi sudah berusaha menghubungi semua kontak yang berkaitan dengannya. Namun, tak ada kabar baik apa pun yang mereka dapat.
"Mas Tya anak tunggal?"
Lelaki itu bergeming agak lama. Ia menatap kosong pada ikan-ikan di kolam yang sedang berkejar-kejaran. "Mama menikah lagi, tapi bercerai dua tahun kemudian. Dari pernikahannya lahir seorang anak laki-laki."
Aiyla membulatkan bibir ranumnya seraya ber-oh-ria. "Dia tinggal bareng Mama?"
Tya menggeleng dan tersenyum getir. "Dia pecandu."
"Hah? Pecandu?"
Lelaki di sisi Aiyla menegakkan tubuh dan mengembuskan napas kasar. "Dia pecandu narkoba, Ai."
Kali ini Aiyla yang terdiam. Betapa masa lalu suaminya ini terlalu berat. Siapa yang tak putus asa ketika kecil ditinggal sang papa, mamanya berganti-ganti pasangan demi menghibur diri, dan adik tirinya terjebak obat-obatan terlarang.
Empati di dada bermunculan membuat perempuan yang duduk bersila itu tiba-tiba berkeinginan memeluk pria di sisinya. Ketika keduanya mulai larut dalam pelukan, Tya melekatkan kening di bahu Aiyla.
Lalu ia berbisik, "Don't leave me alone."
Rasa sakit itu menular. Aiyla bisa merasakan betapa sakitnya sendirian tanpa ada yang memedulikan. Di sisi lain ia merasa beruntung. Meski ibu dan kakak kandungnya pergi meninggalkannya, Aiyla masih punya Abah yang sangat menyayangi. Lalu hadir Ummi dan Ali yang tak kurang-kurang memberikan perhatian. Mereka semua bersabar mendampingi sehingga putri Ahmad itu tak salah jalan.
**Repost: 10-09-2021
===🌻🌻🌻===
Hai, selamat siang. 😍
Di cerita ini aku pakai alur maju mundur. Jadi bacanya jangan diskip-skip, ya. Harus urut. Kalau banyak yang diskip-skip bisa bikin bingung memahami cerita ini. 😁
Clue cerita aku sebar di mana-mana. 🤭
Ngomong-ngomong, yang mau ikutan PO batch 2, ini dia flyer-nya! 😍
Yang mau ikutan order, silakan hubungi WA-ku: 0821-3342-3992
Dengan format:
Nama:
Alamat:
No. WA:
Jumlah pesan:Aku cetak enggak banyak. Stok terbatas, siapa cepat dia dapat, soalnya ini terbit secara selfpublish. 😁
Yang masih mau baca di Wattpad, silakan. Akan aku post sampai part 20 saja. Versi buku sampai 30 part, ada tambahan epilog dan extra part. 😘
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Aku doakan rezeki kalian lancar dan sehat selalu. Aamiin. 🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...