7. Merasa Bersalah

3.2K 715 23
                                    

“Aku ketiduran di rumah Mas Tya,” ungkap Aiyla. Perempuan itu masih saja melahap nasi lauk ayam goreng di kantin kampus. Sesekali memisahkan daging dari tulang sayap di piring.

Sementara gadis bergaun putih tulang sebatas lutut itu ternganga. Apa ia tidak salah dengar? Tidur? Di rumah Tya? Si Tuan Barista bertato itu?

Maria berdeham. Ia menyeruput es teh manis sebelum memantapkan diri mengulurkan punggung tangan dan menempelkannya di kening perempuan berjilbab ini. “Enggak panas,” gumamnya heran.

Empat tahun satu kontrakan bersama Aiyla di Jakarta yang bebas ini, tak pernah sekali pun mendapati sahabatnya menginap di rumah cowok. Jangankan menginap, sentuhan tangan dengan lawan jenis saja perempuan ini akan bisa senewen dan marah-marah tak jelas. Maria menggelengkan kepala, memilih meraih nasi lauk ayam goreng miliknya.

Aiyla menghentikan kunyahan di mulut. “Jangan salah paham, Ria. Kamu pasti mikir yang enggak-enggak, nih!” tuding Aiyla.

Perempuan berhijab cokelat susu itu menyudahi makannya. Sebab ia pantang makan sambil bicara. Aiyla pergi menuju wastafel, mencuci tangan sebentar sebelum akhirnya duduk kembali.

Maria meringis. Gadis ini memang susah menyembunyikan kekepoan di depan Aiyla. Keduanya sudah sangat dekat meski berbeda keyakinan. “Gimana enggak salah paham, Bu, kalau kamu tiba-tiba memberikan keterangan habis tidur di rumah ....”

“Aku udah menikah sama Mas Tya,” potong Ayla.

Suwiran daging ayam di tangan kanan Maria terhenti di udara. Mulut gadis turunan Jawa itu mendadak kembali bungkam. “Hah? Nikah? Sama laki-laki bertato itu? Kapan?” tanyanya dengan suara lirih.

“Kemarin siang,” sahut Aiyla. Ia menjeda penjelasannya dengan satu tarikan napas. “Abah minta aku menerima lamaran Mas Tya kalau mau lanjut S2 ke New York, Ria.”

“What? Sama Mas Tya? Tapi, tapi dia, kan ....”

“Ah, kamu pasti sama aja kayak aku mulanya. Memandang Mas Tya cuma karena tato di tangan kanannya.” Aiyla menyelipkan sedotan es lemon ke bibir.

“Ya ... gimana gitu ....” Maria menatap nelangsa pada Aiyla yang terdiam menggigiti ujung sedotan.

“Waktu aku minta mahar hafalan Alquran, dia bisa, Ria. Aku enggak ngerti gimana bisa begitu. Yang jelas ternyata dia bukan orang biasa. Dia baik, ramah, dan sopan sama Ummi dan Abah. Sama Mas Ali juga akrab.”

Maria terdiam sejenak. Mendadak ia teringat banyaknya fenomena hijrah yang akhir-akhir ini kerap ditemukan di kota besar. “Aku paham. Semoga lelaki pilihan Abah sama Ummi baik untukmu, Ai.” Maria mengusap lengan Aiyla. “Tapi, ngomong-ngomong Abah kenal Mas Tya dari mana, ya?”

Aiyla mengedik sama bingungnya. Ia memang belum mengorek terlalu jauh mengenai dari mana Tya bisa mengenal Abah dan Ummi. “Dari pesantren tempat Ummi mengajar mungkin. Di sana banyak tuh santriwan yang hafal Alquran.”

Perempuan itu mendesah panjang. Ia membenarkan posisi duduk di kursi panjang yang mereka duduk. Perlahan Aiyla mencengkeram lengan sahabatnya. “Sekarang aku bingung untuk selanjutnya bakalan tinggal di kontrakan sampai wisuda apa mau di rumah Mas Tya.”

Lagi. Maria batal mencocol suwiran ayam ke atas sambal. “Ya ... ke rumah Mas Tya, dong. Masa mau di kontrakan. Aku enggak apa sendirian kali. Santai aja, Ai. Udah segede ini enggak perlu khawatir,” terangnya gamblang.

Aiyla menggigit bibir lalu kembali membenarkan posisi duduk. “Bukan itu, Ria. Ih, gimana sih jelasinnya? Aku malu sama Mas Tya.”

Gadis bermaskara sedikit tebal itu mengerjap. Namun, ia terbahak kemudian. “Aiyla, Aiyla, masa iya sama suami sendiri malu!”

Lelaki Bertato NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang