10. Rasa Cemburu yang Diperbolehkan

3.2K 636 57
                                    

Mobil berjalan melambat memasuki area kampus. Perempuan di samping Tya itu masih sesekali melirik ke arahnya. Agaknya Aiyla masih merasa bersalah dan kesal secara bersamaan. Seingat Tya, ia sama sekali tak pernah berbohong mengenai statusnya di kafe tempat ia meracik kopi.

“Masih marah sama saya? Saya, kan, memang bekerja sebagai barista. Tukang racik kopi.” Tya menghentikan mobil di area parkir yang sedikit teduh.

Aiyla memeluk ransel denimnya sembari menyandarkan kepala ke kaca mobil. “Mas Tya iya-iya aja waktu disebut pelayan baru di kafe. Bilang jujur apa salahnya. Bahkan pas kita udah nikah, Mas Tya enggak bilang kalau kafe itu punya Mas Tya ....” Ia mengerang serba salah.

Tya mengerjap dengan telunjuk kanan mengetuk-ngetuk setir mobil. “Memangnya selama kamu tinggal sama saya di lantai atas kafe, mikirnya apa? Kita ngontrak?”

Kali ini Aiyla mengerang dengan mata berkaca-kaca. “Mas Tya marah sama Aiyla?”

Lelaki berkemeja hitam motif garis-garis lengan panjang itu hampir menyemburkan tawa, tapi ia tahan. Setelah marah sekarang istrinya merasa bersalah karena merasa telah memandang remeh suaminya.

“Enggak, Aiyla. Saya enggak marah cuma karena masalah sepele. Justru saya bersyukur, tandanya kamu mau menerima lamaran saya karena tulus, bukan karena harta semata.” Tya tak menunggu respons Aiyla. Lelaki itu beranjak turun dan membukakan pintu mobil untuknya.

Usai Aiyla turun, Tya membuka bagasi, mengangkat kardus berisi 5 eksemplar skripsi yang baru saja diambil dari percetakan.

“Ai bawa sendiri ke kantor dosen enggak apa. Tunggu di sini saja. Cuma sebentar, kok.”

Tya mengangguk paham. Perempuan yang mengenakan jilbab hitam dan celana kulot senada itu menerima uluran kardus dari suaminya. Bertepatan sebelum Tya melepas pegangan kardus, ia sedikit membungkuk, dan mengecup singkat puncak kepala Aiyla.
Perempuan itu tertunduk malu, bergerak gelisah dengan lirikan mata mengedar ke seluruh penjuru.

“Enggak ada yang lihat, kok. Enggak dosa juga,”  terang Tya. Bibir yang beberapa detik lalu melekat di puncak kepala Aiyla itu membentuk senyum kecil dengan bahu mengedik. Perlahan pria itu melepas pegangan dari kardus, membiarkan perempuan yang masih tersipu memeluk tumpukan skripsinya.

Aiyla mengangguk cepat sebelum berucap, “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Tya masih saja tersenyum menatap kepergiannya.

Namun, saat perempuan itu sampai di depan gedung, sesosok pria berpakaian perlente menyapa Aiyla. Lelaki itu tampak lebih dewasa dari Tya. Meski demikian, wajahnya terlihat segar dan semringah menyambut kedatangan perempuan berjilbab itu. Tya mengembuskan napas panjang. Tanpa sadar, ia menggigit pipi bagian dalam. Dadanya berdenyut dan resah.

**

“Semoga wisudanya lancar, Ai.” Lelaki berdasi biru tua mengucapkan selamat usai menerima satu eksemplar skripsi mahasiswa bimbingannya.

“Aamiin. Terima kasih, Pak. Sa—”

“Ai,” potong lelaki di balik meja ruang dosen.

“Ya, Pak?”

“Setelah lulus kamu ada rencana apa?” Joko—sang dosen pembimbing—bertanya perlahan.

“Saya mau lanjut S2 insyaallah.”

Joko terdiam beberapa detik. Ia menarik napas dalam dan berkata, “Sehabis wisuda nanti, kalau boleh, saya mau mendatangi orang tuamu.”

Perempuan yang semula menunduk takzim itu tiba-tiba mendongak. “Ma-maksudnya gimana, Pak?”

Manik hitam lelaki berbadan tegap itu menatap dalam pada sosok mahasiswinya selama empat tahun ini. Sementara Aiyla lebih memilih kembali menunduk dan beberapa kali menatap dosen atau mahasiswa lain bersliweran di kantor dosen.

“Saya mau melamar kamu, Ai ....”

Detik itu juga tenggorokan Aiyla serasa tercekat. Dadanya bergemuruh tak keruan. Bagaimana bisa? Dosen idol di fakultas jurusan jurnalistik ini mau melamar dirinya? Aiyla ingin sekali mencubit pipi sendiri, memastikan ini cuma mimpi.

Joko bukanlah orang biasa. Maria bahkan mengaguminya. Lelaki bersahaja dan ramah. Tak ada darah campuran dalam dirinya. Sosok lelaki yang masih menunggu reaksi Aiyla itu murni turunan Jawa seperti Maria. Ia juga sosok lelaki salih yang bijak dalam menghadapi setiap perkara di kampus.

“Kenapa? Kamu ... sudah punya pacar?”

Ah, nilai laki-laki ini mendadak minus di mata Aiyla. Apa karena mentang-mentang mata biru Aiyla dan wajah setengah bulenya membuat Joko memandang mahasiswi ini sebagai wanita barat yang tak keberatan menjalin hubungan khusus seperti pacaran? Serendah itu Joko menilainya?

Aiyla berdeham dan tersenyum seramah mungkin. “Maaf, Pak, terima kasih atas niat baik Bapak, tapi saya sudah menikah seminggu yang lalu. Sekali lagi, maaf. Assalamualaikum.”

Tak peduli dengan mata dosennya yang memelotot kaget, Aiyla beranjak. Ia berjalan tergesa.

Mas Tya mana?! Mana Mas Tya?! Batinnya memekik mencari-cari Tya. Begitu ia menemukan sosok pria yang sedang duduk di atas cap mobil itu, perasaan lega menghampirinya.

**

“Wah, tandanya dosen kamu itu sudah menaruh hati padamu sejak lama, dong.” Tya masih tak mau menatap wanita di sebelahnya. Ia sibuk menata buku-buku Aiyla di rak gantung kamar mereka.

“Mana Aiyla tahu, Mas. Ai syok tadi tuh,” keluh Aiyla sembari menyerahkan buku-buku ke tangan suaminya.

Mereka memang sedang berestafet menata buku dari kardus ke rak gantung yang baru Tya beli kemarin. Ia berdiri di atas kursi sedangkan Aiyla duduk di meja memangku setumpuk buku.

“Coba saya enggak lamar kamu duluan, pasti kamu menerimanya, ya?”

Aiyla mendongak. Ia baru sadar sejak tadi lelaki berkemeja hitam ini sama sekali tak mau menatapnya ketika diajak bicara. “Kok, Mas Tya bilang gitu?”

Lama menunggu uluran buku dari tangan sang istri, Tya memilih meraih sendiri buku dari pangkuan. “Ya, kan, dia orang yang kata kamu tadi bersahaja, salih, mapan, berpendidikan tinggi, dosen idola pula. Sementara saya cuma lulusan SMA, pernah kursus barista aja dibayarin abah kamu, tampang berandalan bertato, lahir dari keluarga enggak jelas lagi.”

“Astagfirullah,” desis Aiyla sembari mengusap wajah pelan.

Ia salah. Seharusnya tadi Aiyla menahan diri dan memilih kalimat yang tepat. Caranya menyinggung latar belakang Joko rupanya membuat Tya sedikit tersinggung.

“Mas, maaf ....” Aiyla meraih tangan kanan Tya yang mengulur hendak meraih buku. “Ai enggak ada maksud membanding-bandingkan Mas Tya sama Pak Joko.”

“Saya enggak marah, kenapa minta maaf?” Tya turun dari kursi dan memilih duduk di meja bersebelahan dengan istrinya.

“Tapi Mas Tya cemburu ...,” tuding Aiyla. Manik birunya menatap sendu pada mata kelabu yang sama menatapnya.

“Cemburu dalam batas wajar itu enggak dosa, kan? Malah dianjurkan. Saya salah kalau cemburu?”

Lama hanya terdiam saling mengunci pandangan, Aiyla menggeleng pelan. Ketika tatapan Tya turun pada bibir ranum tanpa polesan lipstik miliknya, debaran itu muncul. Debaran yang sama menggilanya seperti malam ketika mereka memilih dengan ikhlas memberi dan menerima segenap rasa yang membuncah di dada.

Tya tersenyum samar, membuat wanita itu memilih menutup mata perlahan bersamaan dengan bibir tipis suaminya melekat penuh damba.

**

Repost: 12-09-2021

===🌻🌻🌻===

Aiyla yang mau dicium, kenapa aku yang deg-degan? 🤣🤣🤣

Terima kasih untuk vote dan komentarnya, ya. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain. On proses mau bikin cerita baru, tapi masih banyak pertimbangan.

Menurut kalian, aku cocok nulis cerita apa? Religi kayak Tya-Aiyla, adult romance kayak Amiko-Mei dan Brian-Nana, atau new adult kayak Lalita-Yasa? 🤭

By the way, Sang Perawan aku galau mau lanjut apa enggak. Vulgar banget bahasannya. 😬😬

Terima kasih. Jangan lupa Tya lagi open PO. 🥰

 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lelaki Bertato NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang