Pemuda belasan tahun itu mencengkeram kerah pria berambut pirang yang tergolek di lantai. Cairan merah di pelipis meleleh hingga ke pipi. Napasnya tersengal menahan luapan kemauan membunuh pria hidung belang yang beberapa menit lalu ia temui mencumbui ibunya.
“Stop it! Pergi kamu dari sini!”
Lengkingan suara wanita dengan rambut dan pakaian berantakan itu sontak menghentikan kepalan tangan Abi di udara. Pemuda yang sama babak belurnya dengan pria yang sudah tergolek lemah itu melepas cengkeraman di leher. Pria bule berperut tambun itu terbatuk.“Dasar anak pelacur,” kekehnya.
Merasa ada yang salah dengan ucapan pria bajingan di hadapannya, Abi hampir kembali meraih leher lawan. Namun, lemparan vas bunga ke dinding dan teriakan nyalang wanita berambut hitam legam itu—Juwita—menghentikannya.
“Get out from my house!” pekik Juwita.
Abi meraih tas ransel di lantai. Ia sempat menghampiri ibunya sebentar lalu berbisik, “Aku muak dengan semua ini, Ma. Aku pergi.”Debuman pintu terdengar memekak telinga. Meski kemudian terdengar pertengkaran lamat-lamat melalui pintu apartemen yang baru saja ia tutup, Abi tak mau kembali. Cukup sudah telinganya panas mendengar sebutan untuk dirinya sebagai anak pelacur. Cukup sudah hatinya bedenyut sakit setiap kali menemukan wanita yang sudah melahirkannya bergonta-ganti pasangan.
Kalau boleh jujur, keputusannya mengikuti sang mama ke New York adalah kesalahan besar. Nyatanya, bukan hidup nyaman yang Abi dapatkan, tapi luka batin yang justru semakin menganga. Tak ada Papa yang dijanjikan Juwita padanya. Papa tetap sosok yang entah di mana rimbanya. Kehidupan Abi tak ubahnya jurang kegelapan dan ibunya sendiri yang mengantar dalam situasi ini.
Abi bergegas menuruni tangga, berlari ke luar apartemen sendiri. Sesak di dadanya ia abaikan. Sakit di sekujur tubuh ia biarkan terguyur hujan di sepanjang jalanan Kota New York yang tak pernah tidur.
**
“Sampai sekarang Mas Tya enggak pernah ketemu Mama lagi?”
Manik kelabu Tya yang semula menerawang ke arah jendela kedai es krim itu menoleh. Ia tersenyum melihat reaksi perempuan yang sedari tadi menjadi pendengar setia.
“Pernah beberapa kali, kok. Tapi hubungan saya sama Mama memang belum membaik sejak saya memilih pergi dari rumah.” Tya mengaduk sisa es krim dalam gelas, menikmatinya meski mulai mencair.
Aiyla mengulum sendok seraya menatap tak mengerti dengan sosok di hadapannya. Bagaimana mungkin Tya bisa tahan berseteru dengan orang tua kandung sendiri? Apa lelaki berlesung pipi ini tak punya secuil rasa rindu kebersamaan keluarga?
“Mas Tya aneh,” celetuknya usai menurunkan sendok dari kuluman bibir dan berlanjut memotong wafel di piring.
Ah, es krim legendaris Kota Solo ini enak sekali. Kedai es krim yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu di Solo menjadi menu favorit Aiyla setiap ingin mendinginkan diri dengan makanan manis. Es Krim Tentrem, siapa saja pasti tahu es krim aneka rasa dan toping di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Aiyla lama tak pernah memakannya sejak menetap di Jakarta untuk kuliah. Hari ini, Tya bermurah hati mengajaknya jalan-jalan sebelum mereka kembali ke Jakarta.
“Saya hanya berusaha menahan diri untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi Mama, Ai. Rasanya sakit saat tahu Mama tidak pernah berubah.”
Aiyla mengangguk paham. Bukan hal mudah menerima ibu kandung bergonta-ganti pasangan di luar nikah. Pasti sakit. “Kalau Papa?”
Tya mengedik dan tersenyum getir. “Pergi sejak saya berusia empat tahun.”
Perempuan berjaket biru tua itu meletakkan sendok ke piring. Ditinggal pergi orang tua kandung pasti menyakitkan dan Aiyla tahu seberapa perih rasanya. Perlahan ia memberanikan diri mengacungkan telunjuk dan menyentuhkannya pada punggung tangan kanan Tya. Mulanya Aiyla hanya berniat bercanda demi membuang kesedihan. “Ini sudah ada sejak Mas Tya lahir?”
Lelaki itu bergeming menatap telunjuk Aiyla yang menyentuh lembut di punggung tangan. Merasa ada yang salah meski benar, Aiyla buru-buru menarik tangannya kembali dengan melipat kedua tangan di atas meja. Ah, kenapa bisa dirinya bersikap seagresif ini duluan? Perempuan berpasmina hitam itu merutuki ketidakberdayaan diri dan merasa kesal. Namun, ia tak menyangkal ada getaran halus di dada ketika ujung jarinya menyentuh sosok maskulin ini.
Tya berdeham dan meraih gelas air putih di sisi kanan. “Enggaklah, Ai. Ini sisa-sisa pencarian jati diri yang salah,” akunya seraya tersenyum kecil dan penuh penyesalan.
Diam. Keduanya memilih menghabiskan es krim, menatap jalanan Kota Solo yang mulai temaram. Sesekali angkutan beroda tiga yang dikayuh para bapak-bapak lewat, menjadi suatu hal tak asing bagi Aiyla. Namun, demi menghindari bertatapan lama dengan Tya, ia memilih mengikuti arah becak dari ujung jalan sampai hilang dari pandangan.
“Kamu sendiri, ada cerita apa, Ai?”
Aiyla meringis. Tak ada hal yang begitu menarik untuk diceritakan. Meski rumah tangga orang tua kandungnya sempat berantakan, Abah sanggup menutup semua kisah kelam dengan perhatian dan kasih sayang yang tak surut. Lelaki beralis tebal dan berhidung mancung bak turunan Arab itu hampir tak pernah marah-marah. Ia teramat lembut pada Aiyla dan Ummi. Termasuk kepada Mira dan Selena—ibu kandung Aiyla—yang memilih tak kuasa istiqomah.
“Enggak ada yang menarik buat diceritain.” Aiyla menggeleng mantap. Tidak, tidak .... Tya tak perlu tahu peristiwa aneh-aneh pada zaman dirinya menjadi seorang pemberontak.
Lelaki yang selalu mengenakan pakaian lengan panjang itu mencondongkan tubuh ke depan, menatap penuh selidik. “Bohong,” celetuknya lirih.
“Enggak ....” Aiyla mulai menggerak-gerakkan kaki di bawah meja, pertanda ia mulai gelisah.
“Kata Ali, kamu kalau lagi bohong ketahuan dari gerak-geriknya.” Lelaki itu menaikkan kedua alis seraya bersandar relaks ke kursi.
Aiyla segera menghentikan pergerakan kaki berbalut sneakers putihnya. Perempuan itu berdeham sebelum menyerah menceritakan sekelumit aksi pemberontakan yang membuat Abah kerap mengelus dada.
“Ai, suka enggak paham sama perintah ini itu dalam Islam sampai suka mendebat Abah sama Ummi di pengajian. Termasuk soal ini,” terangnya. Telunjuk kanan Aiyla menunjuk hijab yang dikenakan.
“Hah? Kenapa?”
Perempuan itu menghela napas dan mengembuskannya pelan. “Enggak adil. Kenapa cuma perempuan yang harus menutup rapat tubuhnya? Kenapa laki-laki tidak?”
Tya terdiam beberapa saat. Lelaki bermata kelabu itu tampak sedang berpikir. Aiyla tahu lelaki di hadapannya sedang menyiapkan kata-kata yang tepat untuk meluruskan cara pandang wanita ini.
“Ai, kalau keluargamu punya barang berharga serupa berlian, apa mereka akan mempertontonkannya di depan umum?”
Kening Aiyla mengernyit. Laki-laki ini bertanya suatu hal yang aneh. “Jelas disimpanlah, mana mungkin dipamerin ke tetangga, takut hilang nanti.”
“Itu kamu tahu. Karena kamu berharga, Ai. Tidak akan ada keluargamu yang ikhlas saat banyak orang luar melihatmu seenaknya sendiri. Abah dan Ummi mana rela kamu jadi bahan imajinasi liar laki-laki tidak bertanggung jawab.” Tya menatap tegas ke dalam manik biru wanita yang sedang tertegun lalu kembali bicara, “Kamu sebegitu berharga layaknya berlian yang harus dijaga. Berharga untuk Abah, Ummi, dan sekarang saya tentunya.”
Aiyla memutus pandangan. Bukan karena ia tersadar akan perkataan itu. Perempuan itu sudah sadar sejak ia melewati masa remajanya. Hanya saja, cara Tya mengatakan Aiyla berharga baginya membawa perasaan hangat di relung hati. Membuat perempuan itu tertunduk dan kembali tersipu karena teringat sekarang dirinya tak lagi sendiri. Ada Tya yang akan menanggung segala perbuatan Aiyla. Ada Tya yang akan melindunginya ketika ada segelintir orang ingin menyakitinya.
Aiyla berdeham pelan, mengusap hidung sebelum akhirnya ia memilih mengalihkan obrolan. “Jadi ambil tas di penginapan? Sepertinya udah mau magrib. Mas Tya mau ke penginapan sekarang?”
Lelaki itu menilik jam tangan digital di pergelangan tangan kiri. “Boleh. Habis isya kita ke stasiun.”
Mereka bangkit dan mendorong kursi ke belakang. Aiyla mengekor di balik punggung Tya yang menuju kasir membayar es krim. Seperti biasa, lelaki ini lebih memilih mengulurkan tangan kanan, mempersilakan Aiyla jalan dahulu.
Perempuan itu memilih bergeming di tempat. “Kenapa enggak jalan bersama saja?”
Tya tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi seputih mutiara. Aiyla sedikit terkejut ketika lelaki ini memilih merengkuh kedua bahunya dari belakang dan mendorongnya pelan ke luar kedai es krim.
“Takut kamu belum terbiasa dan enggak nyaman jalan sama saya,” terangnya.
Namun, pada akhirnya mereka berjalan bersisian. Aiyla paham, sepertinya Tya takut pandangan miring orang-orang tertuju padanya. Meski tato naga itu tertutup lengan panjang, sosok kepala naga itu masih tampak jelas di punggung tangannya.
“Mas Tya udah dapat tiketnya?”
Langkah Tya terhenti, ia merogoh ponsel di saku celana jins hitamnya. Aiyla kembali melangkah pelan begitu benda pipih berwarna hitam beralih tangan padanya.
“Mas Tya pasti udah banyak tahulah soal pemberontakanku semasa remaja itu. Abah pasti banyak cerita,” gumam Ailya sembari terus menggerakkan jemari di atas layar gawai dan berjalan pelan.
Tya hampir menjawab ketika perempuan yang menyandang tas ransel berbahan denim di punggung itu memelotot.
“Mas, ini kenapa beli tiket Kereta Luxury?”
“Kenapa?”
“Mahal! Gaji Mas Tya bakalan habis cuma buat balik ke Jakarta doang ini,” keluhnya.
“Enggak. Saya mau kamu pulang dengan nyaman. Enggak dosa, kan, membelanjakan uang untuk kenyamanan istri?”
“Ya, enggak, malah pahala, tapi kan ....”
“Keburu azan. Ayo, Ai, enggak baik di jalan pas magrib lewat.”
Tya meraih telapak tangan kanan Aiyla, mengenggamnya lembut sembari berjalan menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Senja semakin memerah, pertanda sore semakin menjelang, dan berubah malam. Aiyla membisu, merasakan genggaman erat di telapak tangan kanannya. Ia menatap tangan kekar itu dan menemukan sederet huruf di sana. Nami? Apa atau siapa itu Nami? Nama perempuankah? Atau singkatan hal-hal yang hanya Tya yang tahu?
**
Repost: 07-09-2021===🌻🌻🌻===
Hai, selamat malam. 😁
Ketemu lagi sama Tya dan Aiyal. By the way, terima kasih vote dan komentarnya. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Bertato Naga
RomanceAiyla menggigit bibir. Ia bangkit dari kursi, mengekor wanita paruh baya di depannya. Perlahan gadis itu membuka tirai, membiarkan Ummi lewat dahulu. Takut tak sesuai bayangan, Aiyla menunduk, enggan menatap pada sosok pria yang duduk di sofa single...