FLUSTERN 1

12 1 0
                                    


Kaum pembisik, kaum yang di cap paling berbahaya di Negeri Aghrana, bisa dibilang para pembisik sangatlah langka, mungkin lebih tepat dikatakan kaum kami pandai bersembunyi. Negeri dengan sistem Monarki yang amat kental ini diperintah oleh Klan Raja secara turun menurun. Raja Theleathor, menjabat sebagai raja saat ini, terkenal sebagai tirani yang kejam, hobi berperang dan menaklukkan banyak wilayah. Bisa disebut menguntungkan juga, setidaknya wilayah kekaisaran lain tidak berani macam macam dengan negeri ini. . Namun sayang, tepat tadi malam Tiran itu mangkat. Terbunuh di tangan Putranya sendiri. Sang Fedrick Kekaisaran, Putra Mahkkota yang terhormat, Demian. Malam itu ia menjadi Raja Baru setelah memenggal kepala ayah

Tidak sampai disana saja, bersamaan dengan itu, persembunyian Kaum Pembisik ditemukan. Berkat kebodohan kepala desa, tempat persembunyian kaum pembisik ditemukan. Pria bodoh itu mempercayai kata kata muslihat, raja baru kerajaan ini. Demian, putra mahkota alias Sang Fredrick terdahulu menemui kepala desa. Mengiming iminginya dengan kebebasan kaum pembisik. Menjanjikan tanah di ibukota untuk kami semua. Dan meletakkan kaum kami sejajar dengan kaum yang paling dihormati oleh rakyat setelah bangsawan kelas atas, Para pemikir, kumpulan para ilmuan yang menemukan berbagai teknologi baru di negeri ini.

Termakan hasutannya, kepala desa membisiki raja Theleathor untuk tetap diam di tempatnya, Raja itu laksana patung, tidak bergerak walau sedetik setelah dibisiki. Hanya dalam hitungan detik, Demian memenggal kepala ayahnya. Raja Theleathor mati seketika, kepalanya telah terpisah dari tubuhnya.. Namun, jelas itu bukan akhir permasalahan. Demian tertawa keras melihat Ayahandanya yang telah mati. Demian mengalihkan pandangannya pada kepala desa yang telah membantunya. Pedangnya terhunus pada pria tua itu.

"Tentu saja kau juga akan mati, Pak Tua, bisa saja kau membisikiku setelah ini. Para pembisik terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup" ucapnya lalu tertawa terbahak-bahak.

Badan kepala desa bergetar hebat, keringat dinginnya bercucuran deras. Pria dihadapannya telah mengkhianati ayahnya sendiri, tentu tidak berat baginya mengkhianati orag yang telah dimanfaatkannya. . Sadar atas yang ia hadapi , kepala desa melarikan diri, secepat mungkin, secepat yang ia bisa. Menunggangi kuda secepat yang ia bisa. Berharap bisa memberi peringatan pada kaum kecilnya. Namun, malang. Sungguh malang, sesaat setelah ia menginjakkan kainya di tempat persembunyian kami, para kaum pembisik. Prajurit kerajaan tiba. Jangankan memberi peringatan, bicara sepatah katapun ia tidak sempat. Semuanya sudah terlambat

Mereka membunuh, ah tidak, mungkin membantai lebih menggambarkan keadaan malam itu. Pembantaian itu tidak berlangsung lama, namun malam itu bagai malam terpanjang dihidupku. Hanya butuh waktu setengah jam untuk menghabisi kaumku. Percuma menggunakan kekuan bisikan, kekuatan itu tidak bekerja pada para prajurit yang telah memakai gelang perak. Perak, itulah kelemahan kami para pembisik. Semuanya mati malam itu. Itulah yang dipercaya semua orang. Para pembisik benar benar musnah malam itu. Sungguh, sungguh tidak ada yang tahu, Putri kepala desa itu masih bersembunyi di atas pohon rindang desa itu, melihat ayahnya, Sang Kepala Desa dipenggal oleh Putra Mahkota yang baru, Sang Fredrick negeri ini, Elgaar. Pemuda itu Pemimpin para prajurit yang membantai desa itu.

Lorraine Chlistia, Gadis itu memantau dari atas sejak pembantaian itu dimulai. Ingin rasanya ia turun dan melawan Putra Mahkota yang dengan mudah mengayunkan pedangnya membunuh ayahnya. Bahkan walaupun tidak terlalu dekat dengan ayahnya, laki-laki tua itu tetaplah ayahnya. Ia yang awalnya sibuk mengumpulkan tanaman untuk bahan ramuannya mendadak sudah berada di atas pohon. Tak salah lagi, Ayahnya sudah membisikinya. Menggerakkannya untuk memanjat pohon ini. Pak tua itu benar-benar menyiksanya. Membuat ia menyaksikan tontonan penuh darah malam ini. Tapi malam itu, Lorraine tidak menangis. Bahkan setetes pun air matanya tidak runtuh

"Tunggu saja Pak Tua, lain kali aku akan menangis untukmu"

Malam itu berlalu begitu saja. Setelah memastikan tak ada lagi Prajurit Kerajaan, ia melompat turun dari pohon yang melindunginya semalaman. Menguburkan sang Ayah dengan cepat. Penduduk desa? Walaupun sangat ingin menguburkannya, namun itu terlalu mencurigakan. Jika ada yang memeriksa desanya kembali, akan sangat aneh jika semua mayat telah terkubur rapi. Untuk ayahnya, mungkin tidak berlaku. Bahkan setelah mati, Putra Mahkota itu mengoyak tubuh beku ayahnya. Bahkan saat melihat itu, Lorraine tidak boleh mengeluarkan suara sedikit pun. Sepertinya dunia benar benar mengujinya.

Lorraine melangkahkan kakinya ke arah ibukota Kekaisaran, Kota Verhainne. Pusat kekaisaran sekaligus kota dengan teknologi paling maju saat ini. Ia menunggang kudanya dengan cepat. Verhatte, kudanya adalah kuda liar, saat pembantaian jelas ia berada di hutan paling dalam. Ia baru akan datang setelah mendengar siulan Lorraine. Kuda itu terus berlari tanpa lelah, seperti mengerti perasaan tuannya, Verhatte tidak banyak bertingkah seperti biasanya. Jika biasanya ia akan berhenti setiap satu jam berlari karna haus, kali ini ia tetap berlari bahkan dua jam setelahnya.

Sadar akan Verhatte yang mendadak berlari pelan, ia menepuk kepala kudanya dua kali, menyuruhnya berhenti. Lorraine pun menggiring kudanya ke mata air terdekat. Lorraine pun langsung meminum air disana dengan cepat. Begitupun Lorraine, ia minum sekaligus membasuh mukanya yag sudah amat kumal, sepertinya. Ia merenggangkan badannya, melakukan beberapa pemanasan ringan.

"Tunggulah Hat (Panggilan Lorraine untuk Verhatte), aku akan mencari makanan untuk kita"

Lorraine pun mulai menjelajahi hutan, bukan masalah untuknya yang sudah dibesarkan di dalam hutan. Ia memanjat pohon apel dan memetiknya beberapa untuk Verhatte. Setelahnya ia menangkap ikan di sungai. Mudah? Tentu saja, sekali ia melihat ikan itu, ia tinggal membisikinya. Ikan itu akan berenang cepat ke arahnya. Siang ini, ia membuat ikan bakar, seadanya memang. Namun mungkin lebih dari cukup untuk menngganjal perutnya.

Setelahnya, ia kembali menunggangi Verhatte. Perjalanannya bisa dibilang cukup lancar. Ketika matahari tumbang, ia tepat sampai di sebuah desa kecil. Lorraine memesan penginapan di desa itu, meskipun tinggal di tempat terpencil bukan berarti Kaum Pembisik tidak pernah keluar dari persembunyiannya. Jika tidak salah hitung, Lorraine sudah lima kali ke ibukota, cukup sering dibanding penduduk lainnya. Wajar saja, lagipula ayahnya adalah kepala desa. Yaaah, pria bodoh itu adalah ayah kandungnya.

Verhatte tidak pernah mau dititipkan, ia dengan cepat berlari ke arah hutan setelah Lorraine tiba di penginapan. Malam itu, Lorraine tidak bisa tertidur, pembantaian malam itu terus membayangi pikirannya. Lorraine menatap cermin di kamarnya.

"Tidurlah, Lorraine" ucapnya

Tubuh gadis itu luruh begitu saja, tertidur lelap di depan cermin. Tubuhnya memang butuh istirahat, berkuda seharian benar benar menguras gadis malang itu. Namun, sekali lagi. Bahkan setelah masuk ke alam mimpi, Lorraine masih dihantui kejadian berdarah itu. Namun mendadak dalam mimpinya, sinar putih yang amat terang muncul. Jika kalian berharap mimpi indah yang datang setelahnya, kalian salah besar. Hal terakhir yang dilihat Lorraine, adalah wajah ayahnya yang penuh darah.

Lorraine terbangun, keringat dingin mengalir dengan derasnya. Nafas terengahnya menjadi pemecah keheningan malam itu.

FlusternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang