FLUSTERN 2

13 2 0
                                    


Lorraine terbangun dalam keadaan terengah-engah. Dadanya masih sesak mengingat mimpinya barusan, kepala ayahnya yang penuh darah terus menerus membayanginya. Gadis itu mengela nafas panjang, sambil terus berusaha menormalkan detak jantungnya. Situasinya saat ini bisa dibilang situasi yang paling kacau dalam hidup Lorraine. Bayang bayang ini bisa membuatnya gila.

Lorraine berdiri, melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Membasuh mukanya berkali-kali, setelah itu menampar pipinya sendiri. Sambil menatap cermin yang ada disana dia berkata.
"Kau bukan gadis lemah Lorraine, berhentilah menyesali keadaan dan hadapilah kenyataan" ucapnya pada diri sendiri.
Setelahnya, ia membaringkan badannya di kasur, tertidur di lantai didepan cermin cukup membuat pegal tubuhnya. Sambil menatap langit-langit kamar, otak Lorraine bekerja cepat untuk membalas dendam kaumnya. Alasan yang klise sekali, balas dendam. Namun satu alasan itu cukup untuk membuat Lorraine bertahan. Bertahan? Yaah, setidaknya hingga detik ini alasan tersebut masih berlaku.

Fajar mulai menyingsing tak lama setelahnya, matahari pun mulai terlihat malu-malu. Lorraine membersihkan diri lalu keluar dari penginapan setelah membayar pada ibu ibu tua yang punya penginapan. Gadis itu bersiul, memanggil Varhatte, Kuda itu dengan cepat berlari ke arah Lorraine, meringkih senang melihat tuannya. Kuda itu sudah lebih dari siap untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini berlangsung tanpa hambatan berarti.

Setengah hari berlalu dengan cepat. Gadis itu tidak berhenti walau sedetik sejak mulai berkuda tadi pagi. Hal itu tidak sia-sia, tepat saat matahari berada di atas kepala, Lorraine tiba di ibukota. Kota dengan teknologi paling maju itu menyambutnya. Keramaian kota telah menunggunya, namun sayang sekali Lorraine tidak memiliki waktu untuk menikmati itu semua. Semua keindahan kota tampak tak berarti di mata Lorraine.

Lorraine menunggang Verhatte menuju sebuah rumah. Rumah yang ditunjukkan oleh ayahnya bertahun -tahun yang lalu. Masih teringat jelas di kepala Lorraine kata-kata ayahnya hari itu.
"Kalau aku sudah mati, datang saja ke rumah ini. Mau ataupun tidak, mereka akan tetap menerimamu" Itulah perkataannya, tanpa memberiku penjelasan lebih.
Rumah itu sangat besar, tentu saja, itu Rumah Klan Atas alias bangsawan. Rumah ini milik Keluarga Eudevora, Keluarga Ibunya, hanya itu yang diketahui oleh Lorraine Lorraine terpana sejenak melihat bangunan yang amat megah dihadapannya, tentu saja desa Lorraine tidak sebanding dengan ini. Lorraine pun turun dari kudanya, berniat melangkahkan kakinya ke kediaman itu. Namun ia dicegat oleh dua penjaga, penjaga mana yang akan membiarkan seorang gadis kumal masuk ke rumah keluarga yang terhormat ini. Pedang kedua penjaga itu, kini berada tepat di depan mata Lorraine. Gadis itu sontak mengangkat kedua tangannya, saat ini ia tidak memegang senjata apapun. Lagipula membuat keributan saat ini bukanlah keputusan yang tepat.

"Aku tidak berniat membuat keributan, aku anggota keluarga Eudevora" ucapku, sambil mengeluarkan sebuah kalung dengan dengan mainan sebuah cincin. Cincin itulah tiket masukku ke rumah yang amat besar ini. Penjaga itu meliat cincin itu dan aku bergantian. Siapapun tidak akan percaya bahwa gadis kumal ini adalah seorang Klan Atas yang terhormat.

"Periksa lidahnya" ucap penjaga itu pada temannya

Penjaga itu dengan kasar meraih wajahku, lalu memaksa membuka mulutku. Memperlihatkan tato berbentuk segilima dengan lambang keluarga di tengahnya. Aneh, namun itulah kenyataanya, kasta negeri ini didasarkan pada tato di lidahnya. Tato itu sudah disana sejak kelahiran seseorang. Penentu kehidupanmu di kekaisaran ini. Badan penjaga itu bergetar hebat, lalu berlutut dihadapanku.
"Maafkan saya yang mulia, saya akan mengantar anda ke Ruang Utama menemui Tuan Kepala Keluarga" ucapnya
"Pertama, tentu saja kau harus mengantarku kesana, kedua, untuk perlakuanmu tadi tentu saja kau akan dapat hukuman untuk itu" balasku.

Badan penjaga itu bergetar sejenak, namun tetap memimpin jalan di depanku, membawaku menemui kepala keluarga Eudevora. Therion Atsley Eudevora. Lorraine melangkahkan kakinya ke ruangan yang amat megah itu. Seseorang dengsn rsmbut ysng sudah memutih menyambut Lorraine, aha tidak, tentu saja tidak mungkin seorang kepala keluarga menyambut gadis kumal dari desa antah berantah. Pria berambut putih itu hanya mengalihkan pandangannya dari berkas berkas dihadapannya, lalu menatap Lorraine.

"Kau anak dari Putriku dan Raymond?" tanyanya
Aku menangguk sebagai jawaban dari pertanyaan pria itu. Pria itu menatap Lorraine dari atas hingga bawah, lalu menghembuskan nafas kasar
"Cucuku..., anak dari seorang pengkhianatan kekaisaran. Yang Ikut andil dalam pembunuhan Raja Terdahulu..." ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan perkataannya
"Pergilah ke Istana Avolyn, ibumu berada disana. Terakhir, jangan pernah menemuiku dengan penampilan seperti ini"
Lorraine mengangguk, bahakan walaupun ia tak tahu istana mana yang disebutkan pria berambut putih ini, ataupun tahu bahwa faktanya ibunya masih hidup. Selama hidupnya ia tak pernah memikirkan ibunya. Hidup dengan ayahnya sudah cukup baginya.

"Terimakasih Tuan" Ujar Lorraine sambil membungkukkan badannya, memberi hormat pada Kepala Keluarga. Namun, pria itu mendengus mendengar perkataan Lorraine.
"Lain kali panggil aku Kakek" ucapnya, namun belum sempat menjawab pernyataan Tuan Therion, pria itu melambaikan tangannya ke arah pintu, menyuruh Lorraine keluar dari ruangannya.

Penjaga tadi terus memandunya ke Istana Avolyn, tanpa bicara sepatah kata pun. Ia berjalan dengan tenang di depan Lorraine. Setelah lima belas menit berjalan, penjaga itu berhenti di sebuah bangunan. Tidak sebesar bangunan utama, tapi tentu saja sangat mewah untuk ukuran seorang Lorraine.
"Kita sudah sambai yang mulia. Yang Mulia Grace sudah menunggu di dalam" ucapnya

Lorraine mengangguk, kemudian berjalan perlahan. Meninggalkan penjaga itu tanpa sepatah katapun. Ia lebih tertarik pada nama Grace yang disebutkan penjaga tadi. Wanita macam apa yang menunggunya di balik pintu itu. Pintu itu terbuka, seorang wanita tampak duduk ditemani dengan secangkir teh dan berbagai cemilan didepannya. Saat satu langkah kaikanya masuk ke ruangan itu. Ibunya ataupun Nyonya Grace itu angkat bicara.

"Bersihkan dirimu baru bicara padaku" ucapnya

Beberapa pelayang menggiring Lorraine ke sebuah kamar yang berada di lantai dua. Mengantarkan Lerroine ke sebuah kamar yang mewah, tentu saja. Lampu kristal yang menggantung, belum lagi kasur yang sepertinya telah dilapisi sutra, juga hiasan-hiasan lain yang tampak amat berharga. Sepertinya kekayaan Kakek Lorraine tidak bisa diremehkan. Pelayan itu membawa Lorraine hingga ke kamar mandi.
Satu menit....
Dua menit...
Tiga menit...
Lorraine memandangi pelayan yang tidak ada niat beranjak dari sana.
"Kalian keluar saja, aku bisa membereskan diriku sendiri"ucap Lorraine
"Kami diperintahkan untuk melaya anda, nona" jawab mereka
Lorraine menghembuskan nafasnya kasar, pelayan disini benar benar menyusahkan.
"Setidaknya biarkan aku mandi dengan tenang, setelahnya kan aku serahkan pada kalian" ucap Lorraine, sambil menunjuk pintu keluar, mengusir para pelayan yang amat menyusahkan itu.

Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Lorraaine dibantu berpakaian oleh kedua pelayan tadi. Lorraine harus menahan nafasnya saat korset itu dipasangkan padanya. Kehidupan nona bangsawan sepertinya tidak semudah yang ia kira. Belum lagi gaun yang berlapis-lapis memberatkan tubuhnya. Namun, Lorraine tidak bisa berbuat banyak. Jika ingin menemui ibunya, ia harus mengikuti semua hal yang merepotkan ini.

Satu jam kemudian....

Lorraine kini duduk dihadapan ibunya, wanita yang akan ia panggil ibu itu amat cantik sekaligus anggun dalam waktu yang sama. Namun disisi lain, wanita ini bisa dibilang menelantarkannya selama bertahun-tahun. Wanita berambut pirang inilah yang membuatnya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu selama ini. Ibu Lorraine menatap putrinya dari atas hingga bawah.

"JIka kamu sudah berada disini, berarti suamiku sudah tiada" ucapnya pelan
Ekspresi sedihnya tertangkap oleh netra Lorraine, walau sekilas, mata wanita itu tampak sayu selama beberapa detik
"Lorraine, puriku, sekaligus putri pemberontak. Yang tau mengenai ayahmu hanya aku dan kakekmu serta nenekmu yang sudah tiada. Tutup mulutmu apapun yang terjadi."ucap Grace, Ibu Lorraine

Lorraine menegang di seberang kursi ibunya, namun belum sempat memprotes apapun, ibunya kembali bicara
"Jangan membantah Lorraine, hanya itu caramu untuk hidup. Aku bukan ibu yang baik, namun aku juga tidak akan membiarkan putriku mati dengan mudah. Temui aku jika ada hal yang penting, dan jangan bermimpi mendapat kasih sayang dariku. Urus hidupmu dengan caramu sendiri" sambung Grace lagi
"Aku akan mengurus diriku sendiri, dan aku juga datang kesini bukan untuk menyusahkanmu, Ibu...atau harus kupanggil Yang Mulia Grace?" tanya Lorraine
Grace menatap Lorraine cukup tajam sebelum menjawab pertanyaan itu
"Ibu saja" ucap Grace pendek

Setelahnya, wanita itu berdiri lalu meninggalkan Lorraine sendiri.
"Astaga, ternyata aku punya ibu" Ucap Lorraine pelan

FlusternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang