Prologue

897 66 91
                                    

Ia tidak pernah membenci salju. Tidak juga sekarang, saat semua jalur tertutup lapisan putih tebal dan menggerogoti kulit kakinya dengan sengatan dingin.

Amelten selalu bersalju, bahkan di musim panas—hanya saja bulan ini awan kelabu di atas seakan berpikir, Apa jadinya kalau kutumpahkan seluruh isi tubuhku yang sudah beku ini?  Pemuda bertudung putih tebal itu tidak yakin sekarang sudah tengah hari atau belum; matahari yang tertutup awan membuat dirinya terpaksa menebak-nebak. Ia di tengah hutan sekarang, mencoba mengingat-ingat pepohonan mana yang ia lewati sebelumnya; semua tinggal putih dan hitam, terlihat sama sejauh mata memandang.

Tubuh pemuda itu mulai menggigil—ia dikaruniai ketahanan alami untuk melawan udara dingin, tapi kali ini hawa di luar lebih menusuk dari yang ia duga. Sisik-sisik gelap yang membingkai tulang pipi dan telinga runcingnya menangkap dingin lebih cepat, membuat kulitnya terasa sedikit membara. Ia mengeratkan dekapan di buntalan kain yang ia bawa. Ujung mantel bertudung yang ia kenakan dibasahi salju yang meleleh akibat panas tubuhnya, membuat langkahnya makin berat.

"Setidaknya jejak kita sudah tertutup salju," ia bergumam sendiri. Napasnya membentuk awan tipis di depan wajahnya. Tenggorokannya serak dan bibirnya pecah-pecah—lapisan kemerahan di bawah kulit yang pecah perlahan tumbuh menjadi kulit baru, lalu kembali retak, lalu tumbuh lagi, menghasilkan apa yang bisa dideskripsikan dengan "sisik kulit" di bibirnya.  Ia tidak bisa—tidak boleh—menggunakan sihir api untuk menghangatkan diri. Mereka bisa merasakan sihir, dan pasti segera melacaknya kalau berani-berani memantik api dari jemarinya sekecil apapun.

Kalau saja tidak ada yang membantunya untuk melepaskan semua tahanan serta binatang liar di kastil, membuat para Taibhse—arwah-arwah gelap tanpa pikiran—menyebar tanpa arah, dan membakar kamarnya sendiri untuk mengelabui yang lain, kabur dari Kastil Gaoth Aduaidh sudah pasti menjadi hal yang mustahil. 

Sejak lima puluh tahun silam, setelah kematian Duke Miad dan keluarganya, apa yang mengisi kastil itu hanyalah hantu-hantu gentayangan yang diperintah oleh sang pemilik baru, Ebherseir Dracaena yang lalim. Apa yang pemuda itu bawa kabur saat ini adalah satu-satunya yang mampu melengserkan kekuasaan Ebherseir.

"Untung saja Pak Tua yang bodoh itu lebih banyak memenuhi kastil dengan tahanan dan budak seks," sebuah suara mencibir dari dalam kepala sang pemuda. "Kalau ia dan keluarga sialan itu lebih memikirkan keamanan kastil daripada memperkuat diri mereka dengan arwah-arwah yang mereka tangkap dan siksa, kita akan lebih kerepotan daripada kali ini."

Pemuda itu terdiam.  Ia ingin sekali membebaskan orang-orang yang menderita di kastil itu dan mengajak mereka kabur, tapi dengan keadaan di luar yang seperti dunia kematian, mereka hanya akan menderita. Meski telah dibantu oleh rekan yang kuat, ia hanya mampu menyelamatkan diri dengan yang penting-penting saja. 

"Kita akan berhasil," gumam sang pemuda.  "Kalau ramalan itu benar, kita bisa mengalahkan Ebherseir dan melepaskan semua yang telah menderita dari cengkramannya."

Suara di dalam kepalanya mendecih.  "Kalau saja bayi itu tidak ditakdirkan untuk meruntuhkan keluarga bajingan kita ini, sudah kupecahkan kepalanya dan kubiarkan mayatnya membeku di sini.  Lebih baik begitu daripada hidup membawa nama Dracaena."

"Tolong jangan berkata begitu!" Intonasi kata-kata pemuda itu menajam.

"Ia akan tumbuh menjadi pembunuh," suara itu melanjutkan, nadanya sedikit lirih sekarang, seakan-akan tak menyukai apa yang ia sendiri katakan. "Kita harus melatihnya menjadi seorang pembunuh, sama seperti kita dan yang lain. Hanya itu caranya untuk memastikan ramalan itu berjalan."

"Aku sadar itu!" pemuda itu berseru—suaranya gemetar, dan ia tak yakin itu karena udara dingin atau perasaannya yang tak karuan.  "Aku tahu, dan aku tak bisa mencegahnya..." Ia menarik napas, membiarkan udara dingin melukai tenggorokannya, "Karena itu, setelah ini semua berakhir, akan kupastikan ia hidup bahagia..."

Buntalan di dekapan pemuda itu bergerak sedikit, terdengar rengekan tipis dari situ.  Apa yang ada di dalam buntalan selimut wol kelabu itu adalah seorang bayi berambut pirang tipis—sekilas terlihat seperti manusia, kalau tidak ada yang memperhatikan gigi-gigi tajamnya.  Pemuda itu tersentak mendengar rengekan sang bayi, lalu dengan lembut menimangnya hingga kembali tenang. 

"Maafkan aku, Solis. Kau jadi terbangun," bisiknya sembari tersenyum kecil dan membenahi buntalan sang bayi.  Di musim seperti ini, bertahan hidup di luar sebagai seorang bayi tak berdaya saja sudah luar biasa.  Kalau yang dibawanya adalah bayi manusia, bayi itu pasti sudah mati, atau paling tidak kehilangan sebagian besar anggota tubuhnya karena udara dingin.

"Setelah semua ini berakhir, katamu," suara itu terkekeh pahit. "Bagaimana kalau semua ini berakhir menyedihkan? Seluruh dunia akan tenggelam dalam keegoisan makhluk-makhluk tua itu, dan perlahan mereka juga bakal mati kekurangan sumber daya. Yang terakhir memang hal bagus—sebuah karma untuk mereka—tapi aku tidak mau menunggu selama itu."

Pemuda itu tenggelam dalam pikirannya. Kedua lengannya memeluk bayi berambut pirang itu makin erat. Ia menggigit bibir, mengelupas kulit yang sudah pecah, merasakan asinnya darah yang langsung membeku dari situ. Berusaha keras ditahan keinginannya untuk menangis.

Suara di kepalanya menggeram kembali. "Jangan melamun, bodoh. Semakin lama kita di sini, Solis bisa mati kedinginan. Kauingat apa yang ia katakan waktu itu, bukan? 'Datang ke jantung Hutan Nocte dan hentakkan kaki tiga kali. Kalian akan tahu apa yang akan menemui kalian'."

Pemuda yang berdiri di tengah padang salju itu termenung sesaat, lalu menghentakkan kaki tiga kali sesuai instruksi. Tidak ada yang terjadi. Ia menghitung sampai sepuluh, lalu tersentak karena tanah di bawah kakinya mendadak terguncang. Ia menjerit sedikit, menyentak bayi yang ia gendong hingga menangis kencang. Lantai hutan terasa meninggi; ia melompat ke belakang, dan dengan takjub memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya.

Suara gemuruh keras menandakan retaknya tanah beku di bawah lapisan salju.  Retakan itu membesar dan naik seperti gunung baru, lalu rontok dalam bongkahan, menampakkan sesuatu berwarna keperakan di balik gelapnya humus yang tadi melapisinya. Itu terlihat seperti kerucut besi yang berputar—sebuah bor raksasa yang berputar menembus tanah. 

Di bawah bor, ada sebentuk logam perak persegi sebesar rumah rakyat yang ia lihat di sekitar kastil, lengkap dengan jendela bulat dan pintu. Bor di atas rumah keperakan itu berhenti berputar, alur spiralnya membuka menjadi sebentuk kerangka payung. Dari kerangka itu keluar panel-panel persegi dari logam yang sama, baris demi baris, membentuk atap kerucut lebar.

"Apa yang—" Belum selesai pemuda itu takjub, seseorang keluar dari pintu benda mekanik itu. Yang menyambutnya sekarang adalah seorang makhluk humanoid berkulit biru dan bertubuh penuh otot, serta berambut cokelat gelap yang dipotong sembarangan dan mata bermanik gelap yang mengerlip tertimpa cahaya dari dalam kendaraan perak itu—Velent, makhluk sejenis Goblin yang dikenal sebagai ras pandai besi terbaik. Velent itu mengenakan mantel wol kasar dan pelindung dada kulit, serta senyum lebar yang sedikit menggelikan.

"Kukira kalian tidak akan datang!" sang Velent terkekeh.  "Memang tidak ada ruginya aku memercayai orang itu. Ayo masuk! Kalian bisa menghangatkan diri dengan sihir kalian di dalam sini tanpa takut terdeteksi."

***

When the Little Sun StrikesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang