Chapter 9

87 6 20
                                    

Ketika seseorang mati dan jiwanya terisap oleh Batu Tuireadh, ia tak ada bedanya dengan batu itu sendiri―diam, tak mampu bicara atau merasakan apapun, menanti untuk dibangkitkan. Yang mampu membebaskan mereka hanyalah jiwa dari seseorang yang siap mati serta berjuang demi hidup, jiwa seorang ksatria sejati. 

Solis belum pernah menyaksikan fenomena seperti itu sebelumnya, hanya mengetahui dari informasi yang dibawa Aiden, Alev, dan Farrier tentang jiwa ksatria di "markas asal" mereka―ia menghabiskan enam belas tahun hidupnya di Clag an Latha, berlatih sembari ikut mengawasi pergerakan para Taibhse

Kini, puluhan jiwa yang telah dibebaskan berdiri di depan mereka, tanpa luka maupun darah.

Yang berdiri paling depan adalah seorang wanita muda dengan kepangan rambut perak panjang―tadinya berwarna merah menyala, Solis tahu, karena ia baru saja membantu mengkremasi jasadnya. Wanita itu terlihat seperti awan yang dipadatkan, putih dengan garis-garis keperakan dari kepala hingga kaki, sama seperti jiwa-jiwa lain. Ia mengenakan zirah kulit dengan desain sederhana dan tunik serta celana kain panjang. Wajahnya begitu cerah, tidak tampak seperti seseorang yang baru saja terbunuh. Ia melambai ke pemuda berambut merah kuncir kuda di sebelahnya seperti seorang teman lama.

Di sebelahnya, berdiri seorang Goblin laki-laki yang tingginya sedikit di bawah telinga si wanita, kira-kira berusia dua atau tiga tahun lebih muda daripada Solis. Solis ingat, ketika Goblin itu hidup ia memiliki rambut hitam panjang dikepang serta kulit hijau yang sehat, meskipun tadi berlumuran darah akibat serangan Faireog. Kini Goblin itu sewarna dengan jiwa si wanita, dengan wajah yang terlihat kebingungan. Ia tidak bertarung, dan terisap batu sebagai roh mati biasa, sudah pasti ia belum siap mengalami ini.

Melihat keluarganya hidup kembali, pemuda berambut merah bernama Evander Emery itu tentu saja tak mampu menahan keterkejutannya.

"I-Ivy? Corrie? Kenapa―bukankah makhluk brengsek itu membunuh kalian?!" Evander menuding ke arah kedua jiwa yang dikenalnya.

Wanita berkepang panjang itu mengusap belakang kepalanya, baru menyadari sesuatu yang aneh. "Benar juga. Aku ingat kalau aku sudah mati, tapi kemudian sesuatu mengisapku ke dunia yang aneh. Segalanya berwarna kuning keemasan, ada Corrie dan orang-orang lain juga, dan kita sudah berwarna seperti ini." Ia menutup penjelasannya dengan kedikan bahu.  "Aku sendiri sedikit panik saat melihat Corrie. Untungnya ia merespon ketika kupanggil. Setelah itu, kita sudah terlempar keluar seperti ini."

"Aku sendiri tidak tahu ada di mana, tahu-tahu ada rasa hangat yang membuatku bisa bergerak lagi. Rasanya seperti bermimpi kosong, lalu terbangun karena terik matahari." Goblin yang dipanggil Corrie itu menimpali. Jiwa seekor kuda besar di samping si Goblin meringkik singkat seakan mengiyakan. "Oh, ada orang-orang baru! Aku Corylus, biasa dipanggil Corrie. Ini Charcoal, kuda kami, dan ini Ivesia, kakak angkatku, biasa dipanggil Ivy. Dan itu Evander, kami biasa memanggilnya Evan. Hai, Evan!"

"Untuk seseorang yang baru saja mati, semangat mereka boleh juga," Farrier bergumam lirih sebelum ditegur oleh Aiden karena ucapannya terlalu blak-blakan.

"Aku juga merasakan yang seperti itu! Rasa hangat yang tepat seperti yang diceritakan si bocah Goblin... lalu aku terbangun dan sudah seperti ini." Salah satu jiwa, berwujud pria Goblin tua bungkuk, menyahut. Jiwa-jiwa lain pun ikut menyuarakan keheranan mereka.

"Di mana kami sekarang? Bagaimana dengan Meirtenlen?" Jiwa seorang wanita manusia paruh baya bertanya.

"Apakah nanti kami harus ikut bertarung bersama kalian?" Jiwa seorang bocah Goblin perempuan menceletuk.

When the Little Sun StrikesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang