Chapter 10

99 6 16
                                    

Semua pasti mati jika dibunuh, Evander mengingat-ingat kisah dalam buku bergambar di rumah Eiche. Kisah seorang anak yang harus menerima kenyataan bahwa ayahnya gugur di medan perang, dan tidak mungkin hidup kembali.

Antara penulisnya seorang pembohong, atau tidak pernah melihat roh yang dihidupkan kembali, pikir sang pemuda manusia muram.

Pertama, ia melihat saudara-saudaranya terbunuh. Di siang yang sama, ia melihat mereka hidup sebagai jiwa keperakan. Tak hanya itu, jiwa mereka menjadi bahan bakar hidup kapal logam ajaib yang beresonansi dengan pikiran mereka.

Apa yang terjadi hari ini seperti sebuah mimpi―Evander tidak yakin apakah ini mimpi buruk atau indah, yang jelas semua membuatnya nyaris gila.

Nyaris? Oh, ia merasa sudah separuh gila sekarang. Tawa terbahak yang barusan adalah bukti―ia tak hanya merasa bahagia atau sedih; jutaan emosi berkumpul dalam rongga dadanya dan membuat tubuhnya terasa meledak menjadi serpihan. Ini dunia yang aneh, dengan orang-orang yang tak kalah aneh―Eiche sering bercerita tentang para Dracaenus yang ditemui selama perjalanan, tapi tak satu pun kisahnya menggambarkan orang seperti Aiden atau Solis (atau makhluk seperti Alev―ia yakin tidak ada satu pun orang yang tahu apa Alev itu), juga batu ajaib pengisap jiwa dan roh-roh yang bangkit atau apalah itu. Juga Velent―Eiche pasti terkejut kalau mengetahui humanoid berkulit biru itu tak sepenuhnya punah.

Setidaknya ia sempat melihat sihir gadis Dracaenus bernama Solis itu―mungkin menjadi satu-satunya pemandangan indah yang ia saksikan dalam kurun waktu beberapa jam ini. Ia melihat pusaran cahaya lembut membentuk pilar di dalam ruang kemudi, membawa para jiwa menyeberang bagai awan-awan tipis mengelilingi garis cahaya matahari, begitu hangat dan lembut hingga ia melupakan duka dan kebingungan pribadinya. Sihir Solis terasa seperti mentari pagi; mengingatkan Evander pada fajar di Weilten Utara, saat ia harus bangun pagi untuk berburu dan menebang pohon. Ia berharap bisa melihat sihir itu lagi kalau memungkinkan.

Perjalanan mereka belum selesai. Evander kini menjeritkan seluruh napas dalam paru-parunya, seperti penumpang kapal yang lain. Ia mendengar suara Solis menembus oktaf tertinggi, Aiden yang berusaha―dan gagal―menahan jeritan, serta Farrier yang terbahak-bahak di antara pekikan sendiri. Ia mendengar Ivesia tertawa girang dan Corylus berseru, "Menakjubkan!"―enak sekali menjadi wujud gaib tanpa beban tubuh dan rasa mual.

Mesin dan gesekan udara beradu kencang dengan tumpang-tindih jeritan orang di ruang kemudi. Di depan kapal, dunia memburam dalam garis-garis laju yang memusingkan. Evander menutup mata rapat-rapat; tubuhnya terasa diisap dari belakang, punggungnya seakan menyatu dengan sandaran kursi logam. Mereka melaju dalam kecepatan yang tidak pernah dihitung oleh cendekiawan manapun―mungkin pernah, tapi Evander belum pernah membaca yang seperti ini, dari buku koleksi Eiche pun tidak ada.

Sepuluh detik terasa seperti berjam-jam. Garis-garis laju dunia memudar, menampakkan warna langit siang yang menyilaukan. Warna langit berganti warna bebatuan dan pepohonan, diikuti guncangan keras pada badan kapal. Kepala Evander tersentak ke depan, dadanya menabrak logam pengaman di kursi penumpang―pendaratan darurat! Kapal Clag an Latha menabrak bukit batu, menenggelamkan sebagian moncong dalam warna kelabu dan barisan lumut serta tumbuhan liar.

"Yap. Kita sampai. Kalian baik-baik saja?" Farrier membalikkan badan ke para penumpang. Tidak ada jawaban, semua terlalu sibuk menenangkan kepala dan perut yang tak karuan, berharap tidak muntah sebelum benar-benar mencapai permukaan tanah. Ivesia dan Corylus pun masih menganga takjub. Hanya Charcoal si kuda yang meringkik keras seakan memarahi Farrier.

Pendaratan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Clag an Latha mulai miring ke belakang, dan satu gumaman, "Oh, tidak..." dari Farrier menandakan jatuhnya benda besar dan berat itu, kali ini benar-benar menuju tanah. Bagian belakang kepala Evander menghantam sandaran kursi kapal, membunyikan dentang yang cukup keras―semoga saja tidak berdarah. Dunia memburam di sekitar Evander; bukan karena laju kapal, tapi karena pandangan yang mulai tidak fokus dan menggelap. Kapal mereka berguling, mendarat berulang kali pada bagian bukit yang menjorok ke luar, menghajar sebatang pohon tua, dan berhenti di tanah humus.

When the Little Sun StrikesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang