Ratusan atau ribuan tahun lalu, rasa penasaran para penyihir dan ahli alkimia terhadap jiwa manusia, juga rasa tanggung jawab untuk melindungi kerajaan dari penyihir jahat, membuahkan Logam Vaechny dan Batu Tuireadh. Dari kedua benda ajaib itu, Batu Tuireadh lah yang dinyatakan paling berbahaya. Jika Batu Tuireadh disalahgunakan, akibatnya seperti yang terjadi saat ini; jiwa-jiwa yang terperangkap dalam batu menjadi makanan awetan bagi seseorang seperti Ebherseir.
Tidak banyak catatan yang merekam tentang asal muasal, potensi penuh, dan pembuatan Batu Tuireadh. Hanya para ahli alkimia bergelar Dreyw―tingkat tertinggi pelajar alkimia, diberikan oleh pusat pendidikan tinggi di Realten―yang memiliki hak untuk memperoleh ilmu berharga itu. Gelar Dreyw konon hanya diberikan pada sepuluh orang, semua anonim. Tidak ada pembeda antara mereka dengan masyarakat biasa. Tidak ada yang tahu apakah mereka adalah manusia, Goblin, Dracaenus, atau campuran.
Masalah kenapa kelompok Farrier tahu tentang kekuatan "jiwa ksatria" dalam Batu Tuireadh adalah persoalan lain.
Batu Tuireadh yang kosong tidak berpendar, tetapi jika dipadukan dengan Logam Vaechny, logam ajaib tersebut akan semakin hidup. Logam Vaechny tanpa Batu Tuireadh hanya bisa berubah bentuk dan terbang lambat, sementara yang dipasang Batu Tuireadh mampu berkamuflase, menyamarkan dan memperbesar sihir, serta terbang dengan kecepatan elang laut yang menukik. Jika Batu Tuireadh terisi oleh jiwa ksatria, banyak keajaiban yang terjadi, kadang melebihi prasangka.
Masalahnya, jiwa hidup dalam Batu Tuireadh tetap harus diberi latihan mental dan pikiran. Kalau tidak, koordinasi antara pengguna dan senjata jadi tidak seimbang.
"Apa aku harus ikut menembak?" Corylus menatap Alev dengan mata bulat berkaca-kaca. Bentuk crossbow tempat batunya bertahta belum diubah.
"Berhenti menatapku begitu! Bisa-bisa Aiden makin berontak melihatmu," geram Alev. "Kalau kau tidak mau, sementara ini tutup mata dan kosongkan pikiranmu. Kau toh hanya energi tambahan untuk kakak laki-lakimu nanti."
"Oh... baiklah," gumam Corylus sembari mengangguk kecil. Pernyataan Alev barusan masih tidak membuatnya nyaman.
"Tapi saat pertarungan sesungguhnya, mau tidak mau kau harus waspada, buka mata lebar-lebar dan hadapi bahaya yang mengancam penggunamu." Nada bicara Alev tidak berubah, tapi ada kehampaan di situ, seakan-akan ia sedang merenung sembari bicara. "Kalau kau terus menutup mata dan berlindung di dalam batu, bisa saja penggunamu terbunuh, dan kau yang bertanggung jawab."
Corylus menelan ludah, lalu mengalihkan pandangan, "Aku..." ia bergumam pahit, "...tidak tahu apa nanti aku bisa melukai orang lain atau tidak."
"Melukai?" Alev memuntahkan gejolak emosi yang berusaha ia tahan selama bicara dengan Corylus. Mata hijaunya melotot dan alisnya bertautan, sekilas menggambarkan apa yang terjadi pada wajah Aiden jika―meski nyaris tidak mungkin―kehilangan kesabaran. "Melukai, katamu? Kau khawatir kalau musuhmu terluka karena kau menjalankan peranmu? Kau ini senjata, dan ini adalah peperangan! Kau bukan lagi bocah yang bisa bersembunyi di balik pepohonan atau reruntuhan saat bahaya mengancam! Urusanmu adalah bagaimana agar pemilikmu tidak terbunuh atau tercincang atau terinjak-injak seperti seekor kumbang oleh musuh! Mereka yang menyerang hanya berpikir untuk membunuh penggunamu dan menghancurkanmu menjadi serpihan logam bekas! Kalau kau mengkhawatirkan mereka, sama saja dengan mengkhianati pengguna senjata yang kautempati!"
Kali ini, Alev dan Corylus terhenyak berbarengan. Sang Goblin cilik ingin menangis, tetapi tidak berani, dan memilih untuk membuang muka sembari mengepalkan tangan selagi tubuhnya gemetar. Napas sang Dracaenus menderu panas, ingatannya kembali pada masa-masa yang tak ingin ia kenang lagi. Sebuah suara terngiang dalam kepalanya―bukan suara Aiden, tapi suaranya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Little Sun Strikes
Fantasy[Cerita medieval fantasy pertama] [WARNING! R18. NSFW CONTENT, DON'T LIKE DON'T READ.] [Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan komentar, kritik saran diperlukan] "Berhati-hatilah dengan matahari. Sinarnya menerangi segala bayangan, menidurk...