Bidik dan tembak. Frasa favorit Eiche. Jika ragu, bidik dan tembak.
Sang pemanah muda tidak lagi ambil pusing―persetan dengan segala keanehan yang terjadi, merebut kembali jiwa Ivesia dan Corylus lebih penting. Ia mengingat-ingat penggunaan batu kuning berisi jiwa keperakan Charcoal (yang tidak ia ingat namanya), memasang batu tersebut ke lantai geladak dan membiarkan pendar keemasan menjalar dari batu ke seluruh kapal, membayangkan sebuah meriam berkaki setinggi mata yang pernah ia lihat di buku sketsa Eiche―senjata tua aneh dari Seilten yang menurut legenda setempat milik seorang ksatria sihir, yang tembakannya dikisahkan lebih kuat daripada panah berdaya lontar terhebat sekalipun dan tidak perlu amunisi―dan memperhatikan lantai geladak meninggi dan berubah sesuai apa yang ia bayangkan.
Selanjutnya tinggal bidik dan tembak.
Tepat di momen ini, Evander membidik senjata dari tangan sang Dracaenus api, lalu menembakkan sinar tajam kebiruan yang terfokus hanya pada titik bidikan. Tepat sasaran; cahaya itu menghantam senjata Alev hingga terjatuh.
Kekehan singkat penuh rasa puas keluar dari seringaian mulut Evander. Puas tertawa, ia menarik napas dan menegangkan pita suara. "Lepaskan saudara-saudaraku atau kepalamu yang berikutnya kena!"
Senjata yang dibawa Aiden―bukan, tapi si sialan Alev itu―pasti berisi Corrie, Evander membatin mantap. Darah hidup brengsek itu tidak mungkin mendengarkan alasan Corrie dulu. Ia hanya akan memperparah ingatan buruk adikku.
Begitu si pemuda berambut merah kembali membidik, ia tertegun―Alev menghilang. Hanya ada Solis di depan jarak pandangnya.
Evander mengedarkan pandangan dengan teropong di atas meriam, memicingkan mata ke rerimbunan pohon dan sisi-sisi tebing batu, tapi tidak terlihat juga sosok Dracaenus berambut lembayung panjang itu. Detik berikutnya, napas Evander tercekat―hawa panas membelai punggungnya seperti panas api unggun yang terbawa angin. Belum sempat berbalik, ada sesuatu yang melingkari dan mencengkeram erat pinggang sang pemanah.
"Kau―" Evander nyaris tersedak ludah sendiri. Mata si pemuda manusia menangkap kelebatan perak di samping orang yang menyergapnya; senjata yang ia tembak, entah bagaimana caranya, telah kembali ke tangan sang pemilik.
"Sekarang waktunya kau mulai latihan, bocah!" Si penyergap, yang tak lain adalah Alev yang menguasai tubuh Aiden, membawa tubuh Evander melesat tinggi menembus tabir-tabir udara. Mulut dan mata si bocah berambut merah seakan terkunci oleh gesekan tajam atmosfer lembab.
Pikiran Evander menjeritkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Semoga saja aku tidak berakhir mati atau cacat fisik dan mental setelah ini!
Mereka berhenti. Evander membuka mata, dan jantungnya seakan ingin keluar dari mulut begitu pemandangan hutan dan danau terhampar di bawah kakinya yang menggantung di ketinggian entah berapa―sepuluh meter? Dua puluh meter? Mencoba menatap permukaan bumi saja mata Evander sudah berkunang-kunang. Napas Evander terasa nyaris putus, tenggorokannya kering dan paru-parunya hampir sesak. Ia meraungkan suara patah-patah tak berarti selagi mencengkeram tubuh dan lengan Alev seperti anak monyet yang menggelantung pada sang induk, memohon untuk tidak dijatuhkan.
"Keluar sekarang, bocah Goblin!" Evander mendengar Alev berseru.
"Apa yang kaulakukan pada adikku? Ia tidak mau menyerang orang lain, jadi biarkan ia seperti itu! Buat dia jadi bahan bakar kapal juga tidak masalah, asal jangan senjata!" Evander berontak sekeras mungkin, tangannya memukul-mukul lengan kokoh yang menyandera tubuhnya, tapi sia-sia belaka. Kumohon kembalilah ke bentuk baik hatimu sekarang juga! Ivy, tolong kami!
KAMU SEDANG MEMBACA
When the Little Sun Strikes
Fantasi[Cerita medieval fantasy pertama] [WARNING! R18. NSFW CONTENT, DON'T LIKE DON'T READ.] [Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan komentar, kritik saran diperlukan] "Berhati-hatilah dengan matahari. Sinarnya menerangi segala bayangan, menidurk...