JEANKASA | romance, angst, slight fantasy | 0,9k+ words
__________
Sepanjang ingatan pria itu dan sebagaimana penuturan teman-temannya, Jean itu bukan pengingat yang baik. Di balik tampang yang kata orang sangar dan aura lelaki nakal, Jean seringkali sungkan untuk memanggil seseorang yang baru saja dia kenal beberapa menit lalu sebab dia mudah lupa nama.
Tetapi di antara belantara memorinya yang tumpang tindih, ada fragmen yang selamanya kekal dalam ingatan sang pria.
Waktu itu, saat irasionalitasnya mendadak keluar batas, Jean membaringkan tubuhnya di atas halaman rumah, berniat tidur tanpa peduli esok harinya ia akan terkena demam atau lebih-lebih mati dibekuk dingin, dan tepatnya pada hitungan ke dua ratus tiga puluh enam, di bawah garis-garis cahaya yang melesat cepat, hujan meteor Quadrantid, Jean ingat, ia jatuh dalam lelap, entah berapa lama, kemudian matanya terbuka hanya untuk melihat Mikasa di sana.
Berdiri dengan jaket angsa seraya mematri senyum paling anggun sebagaimana mestinya.
Ah, dia ingat. Ini empat hari setelah hari jadi mereka yang kedua tahun. Awal dari mimpi buruknya—mana mungkin aku lupa.
Jean tidak perlu repot-repot menampar dirinya untuk meyakinkan kalau semua ini nyata. Dia hanya percaya, entah mengapa.
Belah bibirnya terbuka, meloloskan tawa tipis. Ternyata masih ada sisa-sisa kebaikan di masa lalu yang membuatnya dihampiri kesempatan seemas ini, sesurealis ini.
"Jean," panggil gadis itu pelan, ada kepul asap tipis yang menggelontor dari bibirnya yang pucat kala bersuara.
Jean tidak suka musim dingin, Mikasa tau itu. Dia lebih memilih membunuh waktu dengan bermain drum di kamar atau menonton Game of Thrones di sofa atau serial apapun, kalau bersama Mikasa dalam rengkuhnya dia pasti menonton itu. Perkara ini sering membuatnya dijadikan bulan-bulanan. Terlalu dimabuk asmara, katanya. Tapi siapa peduli?
Jean tidak suka musim dingin, Mikasa paham itu, tetapi kala suhu di luar membuat pria itu berpikir bahwa dia bisa saja mati karena kedinginan, Mikasa muncul di depan pintu rumahnya, berkata apa dia mau menemaninya berjalan-jalan di sela-sela tebalnya putih salju. Dan sebagaimana hari-hari sebelumnya, ketika wanita melepas pinta, hanya hitungan jari Jean berkata tidak. Lagipula, Mikasa itu wanita yang tidak banyak maunya, dia sederhana, malah cenderung sulit dibawa kemana-mana.
Jadi, ketika jemari lentik wanita itu mencuri spasi di ruas-ruas jemarinya, Jean dengan senang hati membiarkan kendati dirinya dirongrong rasa tak nyaman.
Ada yang aneh, benaknya saat itu.
Kamera. Bola putih. Tapak kaki. Mantel coklat muda.
Suara tawa kecil dan obrolan yang mengudara, kepulan uap dan jejak kaki yang tercipta, bunyi tangkapan kamera dan degup jantung yang menggema. Jean ingat, di pengujung Desember itu Mikasa jadi lebih banyak bicara, di sepanjang jalan licin tumpah ruah akan putih itu Mikasa jadi lebih banyak tertawa.
Mikasa jadi tidak seperti ... Mikasa.
Jean seharusnya bahagia, ia seharusnya bahagia, bukan? Mendengar renyah tawa yang lebih lembut dari lapisan salju, tapi dia tidak. Dia hanya tidak, meski dia ingin. Sangat ingin.
Pikirannya mengeja, kapan terakhir kali Mikasa terlihat sebahagia ini, seberkilau ini?
Wanita itu mengoceh tentang betapa malunya dia karena ketahuan tertidur saat dosen tengah menjelaskan. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah seperti itu. Juga, betapa menyebalkan Eren yang jadi luar biasa malas akhir-akhir ini dan betapa mudah emosinya terpancing karena hal-hal sepele. Mungkin karena dia masih remaja, emosinya masih labil, imbuh Mikasa.
Jean tertawa samar. Padahal, mereka seumuran. Mikasa aneh.
Pria itu tidak tau kenapa, kenapa untuk banyak hal. Kenapa dia terlihat bahagia di saat yang sama matanya seolah sedang menahan luka, kenapa nada bicaranya terdengar begitu menyenangkan tetapi kedua iris legam itu seperti sedang menyesap begitu banyak kesedihan, dan tentang Mikasa yang tersenyum sebaik-baiknya seseorang dapat tersenyum tapi Jean malah ketakutan melihatnya.
Dia, takut.
Wanita bersurai arang itu mendadak berhenti. Jean bisa melihat noda-noda putih yang melekat di rambutnya seperti cipratan cat putih pada kanvas hitam, perlahan berubah menampilkan seraut wajah wanitanya. Ia mengutas senyum, senyum timpang di mana salah satu ujungnya sedikit terlalu menaik, memandangnya dalam siraman salju yang jatuh pelan di antara ruang yang memisahkan keduanya. Mikasa memandang lama, sebelum senyumnya perlahan meluruh, meleleh seperti gumpalan salju yang tidak sempat ia genggam terlalu lama, tergantikan dengan bibir yang bergetar, menggigit belah bawahnya.
Begitu. Sial. Begitu rupanya.
Even in this moment when you look and smile at me
The times before you knew me
I won't seem to make you happier than then
Akal sehatnya mendadak mampu menyusun kepingan puzzle yang ada.
Mikasa tidak aneh. Justru barangkali dialah yang aneh.
Senyum itu, rona bahagia yang merebak, semuanya, itu adalah potret bagaimana dia pertama kali bertemu si wanita.
But your light is becoming
Overshadowed by my darkness
"Jean," panggilnya lirih.
Tidak, jangan. Apapun yang ingin Mikasa katakan, ia tidak siap mendengarnya. Perasaannya bilang ini tidak akan berakhir bagus. Kata-kata sudah berdesakan ingin jatuh dari bibirnya. Namun, nyalinya mendadak menguap kala melihat satu tetes air mata lolos di pipi kiri si wanita.
"Can we end this?" tanyanya lemah. Alih-alih sendu, Mikasa terdengar putus asa.
Tanpa ia sadari, lelaki itu sudah berlari ke arahnya, merengkuhnya dalam dekap erat. Dekap yang tidak wanita sambut balik. Dekap yang membuat kedua lengan wanita itu terayun lemah di samping.
Tangisnya makin memecah, teredam pada bahu sang pria.
"Enggak, Sa. Enggak akan," ucapnya lirih, dahinya mengernyit terluka. "We still can fix this. Kayak sebelum-sebelumnya. Kita ... masih bisa."
Ada dorongan yang coba kedua lengan itu lepaskan, tapi erat rengkuh Jean membuat semuanya percuma. Ia mendekap sang wanita seolah jika dia melepaskan sedikit saja, ia akan kehilangan keseluruhan presensinya.
Di antara isaknya, Mikasa berkata, "Kita udah rusak, Jean."
Jean praktis menggeleng. Genang air mata yang sedari tadi ia tahan kini mulai memunculkan eksistensinya. Dahinya tertaut perih. "No. Please, don't say that.
Lelaki itu memundurkan kepala, mematri seraut wajah sang wanita yang kini ditelan sendu, pipinya basah, pendar matanya meredup, dan melihatnya membuat hatinya dililit nyeri luar biasa.
Dua detik selanjutnya, Jean menemukan dirinya mengecup pelan pipi si wanita yang lembap.
Dia mencintai Mikasa, lebih dari apapun—lebih dari kadar rasionalitasnya sendiri.
Dan meski diberi kesempatan sekali lagi, meski tau segalanya tidak akan berakhir baik, Jean masih tidak kuasa melepaskannya.
—fin.