RIVETRA | romance, fluff | 2,3k+ words
__________
Mungkin hari ini Levi akan meminta varian teh berbeda dan sesuatu yang lain, kalau Petra berkenan.
__________
"Go get her," ujar gadis dengan rambut sewarna kayu yang terjuntai sampai leher dan itu sudah kali kesekian dia mengungkap hal yang sama, sementara pria yang jadi lawan bicaranya malah melempar tatapan skandal. Ekspresi yang kerap muncul kalau disodorkan kalimat semacam tadi.
"Percayalah, itu tidak ada makna lebih. Dia hanya berusaha baik dan untuk bagian dia melihatku terus-terusan, itu hanya sebatas karena dia punya mata, bukan?"
Mata Petra terotasi malas. Kalimat yang sama. Reaksi yang sama. Dia terlalu hafal.
"Kau mencoba meyakinkanku atau dirimu sendiri?" tanyanya atau lebih tepat tuduhnya sembari mengelap cangkir-cangkir porselen berwarna putih. Namun, sebelum Farlan sempat membalas, Petra keburu mengimbuh, "And basically she looked at you with these two hearted eyes whenever you talk to her."
"Kau memperhatikanku?"
Tarikan alis si pria bersurai pasir itu nyaris membuat Petra memutar malas bola matanya untuk kesekian kali, tetapi alih-alih melakukan hal demikian, Petra mendengus cepat. Selagi ruangan diisi konversasi buram para pelanggan yang duduk bersua menikmati tehnya yang kebanyakan datang karena jam makan siang sudah dimulai, ia berucap, "Berhenti membuat dirimu merasa spesial, aku hanya menjadi observator yang baik."
Dan, Petra jelas tau balasan yang luber akan percaya diri tadi cuma didengungkan untuk menutupi fakta bahwa lelaki itu juga sedikit mengakui kebenaran akan pernyataannya barusan tetapi entah kenapa bersikukuh menolaknya.
"Aku tidak berpikir ke arah situ."
Gadis Ral itu mendecak pelan. "Oh tentu saja kau tidak."
Isabel, pelanggan setia Steagma, mahasiswi semester akhir yang selalu menyempatkan dirinya mampir untuk meminum teh nyaris setiap hari itu tidak mungkin tidak memiliki 'apa-apa' jika dilihat dari bagaimana cara dia menatap. Rasanya seperti Farlan terbuat dari berlian. Matanya jadi berbinar. Juga seperti pengumuman olimpiade berjalan, kadang membuat dirinya kelihatan begitu gugup.
Dan jangan mulai dengan fakta bahwa si wanita dengan manik hijau tersebut selalu mencuri pandang serta menanyakan kehadiran Farlan kepadanya tatkala lelaki itu tidak masuk serta percobaannya untuk menggoda Farlan meski kentara sekali dia kelihatan malu-malu.
Kemudian dari sisi Farlan? Oh, Petra tidak pernah ingat mendengar suara semanis madu itu keluar dari si pria.
Tetapi, dalam kamus Farlan, teori Petra itu tidak kredibel, sedangkan dalam kamus Petra, dia menyebutnya insting wanita.
Lagi pula, barangkali memang benar, alur cerita novel romansa yang mengatakan bahwa ketika dua orang jatuh cinta, semua manusia di dunia bisa mengetahuinya kecuali dua orang tersebut.
Suara pintu terbuka mendadak bergaung. Farlan yang berdiri langsung menghadap pintu segera mengetahui sosok yang kini tengah meniti langkah menuju bagian order & pay, praktis membuat senyumnya mengembang.
"Daripada kau mengurusi masalah romansaku, lebih baik urusi masalahmu sendiri," cetusnya.
Petra mengernyit sejenak, sembari memutar tubuh seratus delapan puluh derajat, Farlan menimpali, "Sambut pelanggan favoritmu dengan baik, Nona Ral."
Godaan itu Petra tanggapi dengan rekahan senyum yang Farlan tidak antisipasi akan tertampil.
"Sure, I will."